Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2023
Tentang
Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
- bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara perlu mewujudkan pembangunan nasional yang didukung dengan perekonomian yang tangguh melalui pengembangan dan penguatan sektor keuangan yang lebih optimal;
- bahwa untuk mendukung dan mewujudkan upaya pengembangan dan penguatan sektor keuangan di Indonesia yang sejalan dengan perkembangan industri jasa keuangan yang makin kompleks dan beragam; perekonomian nasional dan internasional yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi; sistem keuangan yang makin maju; serta untuk memperkuat kerangka pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan, diperlukan pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan;
- bahwa upaya pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan, dapat dilakukan perubahan Undang-Undang di sektor keuangan dengan menggunakan metode omnibus guna menyelaraskan berbagai pengaturan yang terdapat dalam berbagai Undang-Undang ke dalam 1 (satu) Undang-Undang secara komprehensif;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan;
Mengingat :
- Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23D, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232);
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223);
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618);
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835);
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. |
Sistem Keuangan adalah suatu kesatuan yang terdiri atas lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran, yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktivitas perekonomian nasional, serta korporasi dan rumah tangga yang terhubung dengan lembaga jasa keuangan. |
2. |
Stabilitas Sistem Keuangan adalah stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. |
3. |
Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
4. |
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
5. |
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
6. |
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. |
7. |
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
8. |
Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan. |
9. |
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. |
10. |
Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. |
11. |
Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah. |
12. |
Pasar Modal adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan:
|
13. |
Pasar Uang adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan:
dalam mata uang Rupiah atau valuta asing. |
14. |
Pasar Valuta Asing adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan transaksi yang melibatkan pertukaran mata uang dari 2 (dua) negara yang berbeda beserta derivatifnya, tetapi tidak termasuk penukaran bank notes yang diselenggarakan oleh kegiatan usaha penukaran valuta asing. |
15. |
Derivatif adalah suatu instrumen yang nilainya merupakan turunan dari aset yang mendasarinya. |
16. |
Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa. |
17. |
Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah. |
18. |
Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang selanjutnya disebut Usaha Bersama adalah badan hukum yang menyelenggarakan usaha asuransi dan dimiliki oleh anggota, yang telah ada pada saat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian diundangkan. |
19. |
Rapat Umum Anggota Usaha Bersama yang selanjutnya disingkat dengan RUA adalah organ yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi Usaha Bersama atau dewan komisaris Usaha Bersama dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. |
20. |
Panitia Pemilihan adalah panitia yang bertugas melakukan pemilihan peserta RUA. |
21. |
Direksi Usaha Bersama adalah organ Usaha Bersama yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengurusan Usaha Bersama untuk kepentingan Usaha Bersama, sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama, serta mewakili Usaha Bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan Undang-Undang ini. |
22. |
Dewan Komisaris Usaha Bersama adalah organ Usaha Bersama yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan Undang-Undang ini, serta memberikan nasihat kepada Direksi Usaha Bersama. |
23. |
Proposal Perubahan Bentuk Badan Hukum yang selanjutnya disebut Proposal adalah dokumen yang memuat data dan informasi berkaitan dengan rencana perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama menjadi perseroan terbatas. |
24. |
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. |
25. |
Dewan Pengawas Syariah adalah pihak yang memiliki tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan perusahaan/badan hukum agar sesuai dengan Prinsip Syariah. |
26. |
Usaha Jasa Pembiayaan adalah kegiatan penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara penyelenggara usaha jasa pembiayaan dan penerima pembiayaan yang mewajibkan pihak penerima pembiayaan untuk mengembalikan dana atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, imbalan, bagi hasil, dan/atau kelebihan pembayaran lainnya, dengan atau tanpa adanya agunan. |
27. |
Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi dana dengan penerima dana dalam melakukan pendanaan baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan internet. |
28. |
Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. |
29. |
Pengendali adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang setara pada pihak tertentu, yaitu penyelenggara infrastruktur pasar keuangan, LJK, emiten atau perusahaan publik, dan/atau kemampuan untuk memengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang setara pada pihak tertentu tersebut. |
30. |
Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha baik yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki saham atau yang setara dengan saham pada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dan/atau mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian atas pihak dimaksud. |
31. |
Pemegang Saham Pengendali Terakhir (ultimate shareholders) yang selanjutnya disingkat PSPT adalah orang perseorangan atau negara yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki saham perusahaan dan merupakan pengendali terakhir atau pemilik manfaat terakhir (ultimate beneficial owner) dari suatu perusahaan atau kelompok usaha. |
32. |
Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam 1 (satu) grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian. |
33. |
Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (Financial Holding Company) yang selanjutnya disingkat PIKK adalah badan hukum yang dimiliki oleh PSP atau PSPT untuk mengendalikan, mengonsolidasikan, dan bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas Konglomerasi Keuangan. |
34. |
Inovasi Teknologi Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat ITSK adalah inovasi berbasis teknologi yang berdampak pada produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis dalam ekosistem keuangan digital. |
35. |
Keuangan Berkelanjutan adalah sebuah ekosistem dengan dukungan menyeluruh berupa kebijakan, regulasi, norma, standar, produk, transaksi, dan jasa keuangan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial dalam pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan pembiayaan transisi menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. |
36. |
Literasi Keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan untuk mencapai kesejahteraan keuangan masyarakat. |
37. |
Inklusi Keuangan adalah ketersediaan akses pemanfaatan atas produk dan/atau layanan pelaku usaha sektor keuangan yang terjangkau, berkualitas, dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan keuangan masyarakat. |
38. |
Konsumen adalah setiap orang yang memiliki dan/atau memanfaatkan produk dan/atau layanan yang disediakan oleh pelaku usaha sektor keuangan. |
39. |
Pelindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan pelindungan kepada Konsumen. |
40. |
Pelaku Usaha Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat PUSK adalah LJK, pelaku usaha infrastruktur pasar keuangan, pelaku usaha di sistem pembayaran, lembaga pendukung di sektor keuangan, dan pelaku usaha sektor keuangan lainnya baik yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan. |
41. |
Pengawasan Perilaku Pasar (Market Conduct) adalah pengawasan terhadap perilaku PUSK dalam mendesain, menyediakan dan menyampaikan informasi, menawarkan, menyusun perjanjian, memberikan pelayanan atas penggunaan produk dan/atau layanan, serta penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa dalam upaya mewujudkan Pelindungan Konsumen. |
42. |
Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis termasuk dalam bentuk elektronik yang ditetapkan secara sepihak oleh PUSK dan memuat klausul baku tentang isi, bentuk, dan cara pembuatan, serta digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal. |
43. |
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat LAPS-SK adalah lembaga yang melakukan penyelesaian sengketa antara Konsumen dan PUSK di luar pengadilan. |
44. |
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah. |
45. |
Profesi Sektor Keuangan adalah bidang pekerjaan yang memberikan suatu jasa keprofesian di sektor keuangan yang memerlukan tingkat keahlian dan kualifikasi tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
46. |
Pelaku Profesi Sektor Keuangan adalah seseorang yang melakukan Profesi Sektor Keuangan. |
47. |
Profesi Penunjang Sektor Keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang memberikan suatu jasa keprofesian pada berbagai industri sektor keuangan untuk mendukung efektivitas sektor keuangan. |
48. |
Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang memberikan suatu keprofesian terbatas pada suatu industri sektor keuangan. |
49. |
Asosiasi Profesi adalah organisasi profesi yang menaungi Pelaku Profesi Sektor Keuangan. |
50. |
Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan sertifikasi profesi yang telah memenuhi syarat dan memperoleh lisensi dari badan atau lembaga yang diberikan wewenang untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
51. |
Setiap Orang adalah orang perseorangan, korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya. |
BAB II
ASAS, MAKSUD, TUJUAN,
DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Undang-Undang ini dilaksanakan berdasarkan asas:
- kepentingan nasional;
- kemanfaatan;
- kepastian hukum;
- keterbukaan;
- akuntabilitas;
- keadilan;
- Pelindungan Konsumen;
- edukasi; dan
- keterpaduan.
Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan
Pasal 3
(1) |
Undang-Undang ini dibentuk dengan maksud mendorong kontribusi sektor keuangan bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, mengurangi ketimpangan ekonomi, dan mewujudkan Indonesia yang sejahtera, maju, dan bermartabat. |
(2) |
Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
|
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 4
Dalam rangka mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup dalam Undang-Undang ini mengatur ekosistem sektor keuangan meliputi:
- kelembagaan;
- perbankan;
- Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing;
- perasuransian dan penjaminan;
- asuransi Usaha Bersama;
- program penjaminan polis;
- Usaha Jasa Pembiayaan;
- kegiatan usaha bulion (bullion);
- Dana Pensiun, program jaminan hari tua, dan program pensiun;
- kegiatan koperasi di sektor jasa keuangan;
- lembaga keuangan mikro;
- Konglomerasi Keuangan;
- ITSK;
- penerapan Keuangan Berkelanjutan;
- Literasi Keuangan, Inklusi Keuangan, dan Pelindungan Konsumen;
- akses pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
- sumber daya manusia;
- Stabilitas Sistem Keuangan;
- lembaga pembiayaan ekspor Indonesia; dan
- penegakan hukum di sektor keuangan.
BAB III
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan kelembagaan otoritas sektor keuangan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872);
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); dan
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223).
Bagian Kedua
Komite Stabilitas Sistem Keuangan
Pasal 6
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||
4. |
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||
5. |
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||
6. |
Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A |
||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||
7. |
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||
8. |
Pasal 10 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||
9. |
Pasal 11 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||
10. |
Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
||||||||||||||||||||||||||
|
Dalam hal Presiden memutuskan kondisi Krisis Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan bersama-sama melaksanakan langkah penanganan Krisis Sistem Keuangan. |
Bagian Ketiga
Lembaga Penjamin Simpanan
Pasal 7
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. |
Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. |
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. |
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. |
Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. |
Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. |
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. |
Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Penjelasan Pasal 16 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. |
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. |
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. |
Penjelasan Pasal 19 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. |
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. |
Pasal 21 dihapus. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. |
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. |
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. |
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. |
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. |
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. |
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. |
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. |
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. |
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. |
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. |
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. |
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. |
Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 50A dan Pasal 50B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50A
Pasal 50B
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. |
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. |
Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. |
Pasal 62 dihapus. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37. |
Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38. |
Pasal 64 dihapus. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39. |
Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40. |
Di antara Pasal 65 dan Pasal 66 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 65A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. |
Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. |
Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. |
Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. |
Pasal 70 dihapus. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. |
Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. |
Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. |
Pasal 73 dihapus. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
48. |
Di antara Pasal 74 dan Pasal 75 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 74A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
49. |
Bagian Ketiga dalam Bab VII dihapus. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
50. |
Pasal 77 dihapus. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
51. |
Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
52. |
Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 79
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
53. |
Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
54. |
Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 82A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
55. |
Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 83A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
56. |
Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
57. |
Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 86
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
58. |
Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
59. |
Pasal 89 dihapus. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
60. |
Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab XA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XA |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
61. |
Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 89A, Pasal 89B, dan Pasal 89C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89A
Pasal 89B
Pasal 89C
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
62. |
Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
63. |
Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
64. |
Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
65. |
Di antara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 95A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95A
|
Bagian Keempat
Otoritas Jasa Keuangan
Pasal 8
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Dalam rangka mencapai tujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Otoritas Jasa Keuangan berfungsi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. |
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. |
Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 8A dan Pasal 8B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
Pasal 8B
Otoritas Jasa Keuangan merupakan satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap debitur yang merupakan Bank, perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, penyelenggara dana perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek, lembaga penilaian harga efek, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, Dana Pensiun, lembaga penjamin, Lembaga Pembiayaan, lembaga keuangan mikro, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek, Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, atau LJK Lainnya yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan Undang-Undang lainnya. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Penjelasan Pasal 9 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. |
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. |
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
Syarat calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf i adalah sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. |
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. |
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. |
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. |
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. |
Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 368 sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
Ketentuan mengenai rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 mulai berlaku untuk tahun anggaran 2025.
Pasal 36B
Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36A diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. |
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. |
Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. |
Di antara Bab IX dan Bab X disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IXA |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. |
Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 38A, Pasal 38B, dan Pasal 38C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38A
Pasal 38B
Pasal 38C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 48A dan Pasal 48B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48A
Pertukaran data dan/atau informasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka kerja sama internasional, termasuk di bidang pengaturan, pengawasan, dan penyidikan, dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 48B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. |
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 53
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. |
Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54
Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan:
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) untuk perseorangan atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) untuk korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya. |
Bagian Kelima
Bank Indonesia
Pasal 9
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
4. |
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
5. |
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 10A dan Pasal 10B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10A
Pasal 10B
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
7. |
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
8. |
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
9. |
Pasal 24 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
10. |
Pasal 25 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Pasal 26 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
12. |
Pasal 27 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
13. |
Pasal 28 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
14. |
Pasal 29 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
15. |
Pasal 30 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
16. |
Pasal 31 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
17. |
Pasal 32 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
18. |
Pasal 33 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
19. |
Pasal 34 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Pasal 35 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
21. |
Di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIA |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35A dan Pasal 35B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A Pasal 35B
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
23. |
Di antara Bab VIA dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIB sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIB |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
24. |
Di antara Pasal 35B dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35C dan Pasal 35D sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35C Pasal 35D
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
25. |
Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38A
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
26. |
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
27. |
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
28. |
Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
29. |
Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
30. |
Ketentuan Pasal 58A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58A
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
31. |
Di antara Pasal 58A dan Pasal 59 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 58B dan Pasal 58C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58B
Pasal 58C
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
32. |
Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
33. |
Pasal 61 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
34. |
Penjelasan Pasal 62 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
35. |
Di antara Pasal 64 dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 64A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64A
|
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
36. |
Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab XA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XA KERAHASIAAN INFORMASI |
||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||
37. |
Di antara Pasal 64A dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 64B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64B
|
Bagian Keenam
Rupiah Digital
Pasal 10
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
|
||||||||||
|
|
||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
|
||||||||||
|
|
||||||||||
3. |
Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
|
||||||||||
|
|
||||||||||
4. |
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
Bank Indonesia wajib melaporkan Pengelolaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 14A secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada DPR. |
Bagian Ketujuh
Pengembangan Sektor Keuangan
Pasal 11
(1) |
Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan melaksanakan pengembangan sektor keuangan. |
(2) |
Dalam melaksanakan pengembangan sektor keuangan, lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan koordinasi dan dapat melibatkan kementerian/lembaga yang lain. |
Bagian Kedelapan
Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme
Pasal 12
(1) |
PUSK wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana pendanaan terorisme terkait dengan nasabah, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi, dan/atau jaringan distribusi. |
(2) |
PUSK wajib memiliki kebijakan, pengawasan, dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan, pengawasan, dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya, dengan mengacu pada undang-undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. |
BAB IV
PERBANKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perbankan dan perbankan syariah, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 34 72) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); dan
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841).
Bagian Kedua
Perbankan
Pasal 14
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. |
Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 7A dan Pasal 7B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A
Pasal 7B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. |
Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. |
Ketentuan Pasal 12A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. |
Di antara Pasal 12A dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. |
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. |
Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13A |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. |
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. |
Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. |
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. |
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. |
Pasal 19 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. |
Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. |
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. |
Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 20A dan Pasal 20B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 20B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. |
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. |
Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. |
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. |
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. |
Di antara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 30A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. |
Pasal 31 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. |
Ketentuan Pasal 3 lA diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31A |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. |
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. |
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. |
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Pasal 36 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. |
Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 36A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. |
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. |
Di antara Pasal 37B dan Pasal 38 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 37C, Pasal 37D, dan Pasal 37E sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37C
Pasal 37D
Pasal 37E
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37. |
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38. |
Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 40A, Pasal 40B, dan Pasal 40C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40A
Pasal 40B
Pasal 40C |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39. |
Pasal 41 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40. |
Ketentuan Pasal 41A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. |
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. |
Ketentuan Pasal 42A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42A |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. |
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. |
Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43A |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. |
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. |
Ketentuan Pasal 44A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. |
Di antara Pasal 44A dan Pasal 45 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 44B dan 44C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44B Pasal 44C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
48. |
Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
49. |
Di antara Pasal 45 dan Pasal 46, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 45A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
50. |
Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
51. |
Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
52. |
Ketentuan Pasal 47A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
53. |
Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
54. |
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
55. |
Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
56. |
Ketentuan Pasal 50A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50A |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
57. |
Di antara Pasal 50A dan Pasal 51 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 50B, Pasal 50C, dan Pasal 50D sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50B
Pasal 50C
Pasal 50D
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
58. |
Pasal 51 dihapus. |
Bagian Ketiga
Perbankan Syariah
Pasal 15
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. |
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. |
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. |
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. |
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. |
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. |
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. |
Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. |
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. |
Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. |
Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. |
Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 21A, Pasal 21B, dan Pasal 21C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21A
Pasal 21B
Pasal 21C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. |
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. |
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. |
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Pasal 28 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. |
Pasal 29 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Pasal 30 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. |
Pasal 31 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. |
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. |
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. |
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. |
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. |
Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 41A, Pasal 41B, dan Pasal 41C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41A
Pasal 41B
Pasal 41C |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. |
Pasal 42 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. |
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. |
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. |
Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. |
Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 45A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. |
Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. |
Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37. |
Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38. |
Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 48A, Pasal 488, dan Pasal 48C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48A
Pasal 48B
Pasal 48C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39. |
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40. |
Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. |
Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. |
Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. |
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. |
Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. |
Di antara Pasal 54 dan Pasal 55 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 54A dan 54B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 54B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. |
Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. |
Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
48. |
Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
49. |
Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
50. |
Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut. Pasal 63
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
51. |
Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
52. |
Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
53. |
Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut. Pasal 66
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
54. |
Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 66A, Pasal 66B, dan Pasal 66C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66A
Pasal 66B
Pasal 66C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
55. |
Di antara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 67A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
56. |
Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut. Pasal 68
|
BAB V
PASAR MODAL, PASAR UANG, DAN PASAR VALUTA ASING
Bagian Kesatu
Infrastruktur Pasar
Pasal 16
(1) |
Penyelenggaraan pasar di sektor keuangan harus didukung oleh infrastruktur pasar yang mengikuti perkembangan teknologi. |
(2) |
Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) |
Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia berkoordinasi untuk mendorong pengembangan infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) |
Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselenggarakan oleh otoritas sektor keuangan atau perusahaan berbadan hukum Indonesia yang telah memperoleh izin atau ditunjuk oleh otoritas sektor keuangan. |
(5) |
Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f kecuali huruf d, dapat digunakan dalam penyelenggaraan antarpasar setelah memperoleh izin dari otoritas asal infrastruktur dan persetujuan otoritas pengawas dari instrumen keuangan yang akan menggunakan infrastruktur pendukung. |
(6) |
Dalam hal infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan dalam penyelenggaraan antarpasar, otoritas asal infrastruktur pasar dan otoritas pengawas dari instrumen keuangan yang akan menggunakan infrastruktur pendukung harus melakukan koordinasi, paling sedikit dalam rangka:
|
(7) |
Dalam hal ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan hasil pengawasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, dilakukan tindakan hukum dan/atau pengenaan sanksi terhadap penyelenggara infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau pelaku pasar oleh otoritas asal masing-masing infrastruktur pasar sesuai dengan kewenangannya. |
(8) |
Sarana pengelola informasi transaksi (trade repository) instrumen keuangan dan/atau Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e harus menyediakan data yang akurat, mencukupi, dan tepat waktu kepada publik dan kepada otoritas terkait sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. |
(9) |
Penyelenggaraan infrastruktur pasar harus memenuhi prinsip tata kelola perusahaan yang baik, prinsip kehati-hatian, dan manajemen risiko yang efektif, memenuhi prinsip keamanan, efisiensi, dan keandalan. |
(10) |
Dalam rangka pengaturan dan pengawasan, otoritas dapat menetapkan kategori infrastruktur pasar berdasarkan tingkat risiko. |
Pasal 17
(1) |
Dalam hal penyelenggara infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menggunakan penyedia jasa pendukung infrastruktur, penyelenggara infrastruktur pasar memastikan kemampuan dan ketahanan operasional infrastruktur pasar dalam rangka meminimalisir risiko Stabilitas Sistem Keuangan. |
(2) |
Otoritas di sektor keuangan dan penyelenggara infrastruktur pasar memiliki akses informasi yang diperlukan terhadap penyedia jasa pendukung infrastruktur. |
Pasal 18
(1) |
Dalam hal terdapat instrumen keuangan dan/atau transaksi atas instrumen keuangan yang memiliki:
masing-masing otoritas menetapkan standar pengaturan dan pengawasan yang setara. |
(2) |
Standar pengaturan dan pengawasan yang setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
|
(3) |
Dalam rangka pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), otoritas Pasar Modal, otoritas Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, serta otoritas perdagangan berjangka komoditi melakukan koordinasi. |
Pasal 19
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perdagangan berjangka komoditi, Undang-Undang 101 mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232).
Pasal 20
Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
Komoditi yang dijadikan subjek Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak termasuk efek, instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan.
Bagian Kedua
Pasar Modal
Pasal 21
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor Pasar Modal, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608).
Pasal 22
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608) diubah:
1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. |
Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal SA, Pasal SB, Pasal SC, dan Pasal SD sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A
Pasal 5B
Pasal 5C
Pasal 5D
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. |
Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. |
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. |
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. |
Setelah Bagian Kedua BAB IV ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Ketiga sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. |
Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 29A dan Pasal 29B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29A
Pasal 29B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. |
Ketentuan BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB V |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kesatu
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. |
Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 42A dan Pasal 42B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42A
Pasal 42B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. |
Ketentuan BAB VIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIII |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. |
Ketentuan Bagian Kesatu diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kesatu |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. |
Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. |
Di antara Pasal 55 dan Pasal 56 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 55A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. |
Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. |
Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Ketentuan Bab IX diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IX |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. |
Ketentuan Bagian Kesatu diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kesatu |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 690 sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69A
Pasal 69B
Pasal 69C
Pasal 69D
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. |
Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. |
Di antara Pasal 70 dan Pasal 71 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 70A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. |
Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. |
Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. |
Di antara Pasal 84 dan Pasal 85 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 84A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. |
Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 86
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. |
Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 87
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. |
Di antara Pasal 87 dan Pasal 88 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 87A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 87A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. |
Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XA |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. |
Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 89A, Pasal 89B, dan Pasal 89C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89A
Pasal 89B
Pasal 89C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. |
Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. |
Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. |
Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. |
Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37. |
Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38. |
Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39. |
Di antara BAB XII dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XIIA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XIIA |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40. |
Di antara Pasal 100 dan Pasal 101 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 100A, Pasal 100B, Pasal 100C, dan Pasal 100D sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100A
Pasal 100B
Pasal 100C
Pasal 100D
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. |
Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. |
Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. |
Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. |
Di antara Pasal 104 dan Pasal 105 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 104A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. |
Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. |
Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. |
Di antara Pasal 106 dan Pasal 107 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 106A, Pasal 106B, dan Pasal 106C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106A
Pasal 106B
Pasal 106C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
48. |
Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
49. |
Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
50. |
Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
51. |
Di antara Pasal 109 dan Pasal 110 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 109A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
52. |
Pasal 110 dihapus. |
Bagian Ketiga
Bursa Karbon
Pasal 23
(1) |
Perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon. |
(2) |
Unit karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan efek berdasarkan Undang-Undang ini. |
Pasal 24
(1) |
Perdagangan karbon dalam negeri dan/atau luar negeri dapat dilakukan dengan mekanisme bursa karbon. |
(2) |
Bursa karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu sistem yang mengatur perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon. |
(3) |
Bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. |
(4) |
Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan, penyelenggara pasar dapat mengembangkan kegiatan atau produk berbasis unit karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(5) |
Perdagangan karbon melalui bursa karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
(6) |
Pengembangan infrastruktur perdagangan karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan secara terkoordinasi antara kementerian/lembaga dengan otoritas pengawas bursa karbon. |
(7) |
Pusat bursa karbon berkedudukan di Indonesia. |
Pasal 25
Perdagangan karbon melalui bursa karbon wajib memenuhi persyaratan dan telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 26
(1) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai perdagangan karbon melalui bursa karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR. |
(2) |
Dalam rangka penyusunan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan kementerian dan/atau lembaga berwenang lain terkait. |
Bagian Keempat
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
Pasal 27
(1) |
Dalam rangka mendukung kebijakan moneter, Bank Indonesia berwenang melakukan pengaturan, pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan transaksi derivatifnya. |
(2) |
Dalam melaksanakan kewenangan pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan transaksi derivatifnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan pembahasan bersama dengan Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Pasal 28
(1) |
Kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing meliputi:
|
(2) |
Setiap penerbitan instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. |
Pasal 29
(1) |
Kewenangan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 untuk mengatur kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak berlaku bagi Pihak yang melakukan penawaran instrumen Pasar Uang yang diterbitkan dan dijamin oleh Pemerintah Indonesia. |
(2) |
Dalam hal terdapat instrumen keuangan yang merupakan kewenangan otoritas lain ditransaksikan di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing, Bank Indonesia dan otoritas lain melakukan koordinasi dalam harmonisasi pengaturan dan koordinasi pengawasan. |
Pasal 30
(1) |
Kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat dilakukan penerbitan dan transaksinya baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah. |
(2) |
Instrumen Pasar Uang berdasarkan Prinsip Syariah wajib memenuhi Prinsip Syariah yang ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. |
Pasal 31
Dalam penyelenggaraan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, pembentukan harga acuan wajib dilakukan secara transparan, menggunakan cara dan/atau metode yang kredibel, serta memenuhi ketentuan yang berlaku di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
Pasal 32
(1) |
Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing meliputi:
|
(2) |
Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing harus menerapkan prinsip kehati-hatian, manajemen risiko, mematuhi pedoman perilaku dan kode etik pasar, serta melakukan Pelindungan Konsumen dan investor. |
Pasal 33
Sarana kliring (central counterparty) di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing melaksanakan fungsi kliring untuk transaksi yang dilakukan secara over-the-counter di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dan transaksi Derivatif, baik tanpa novasi maupun dengan novasi sehingga bertindak sebagai pembeli bagi penjual dan sebagai penjual bagi pembeli.
Bagian Kelima
Pengembangan Pasar Keuangan
Paragraf 1
pengelolaan Instrumen Keuangan dan/atau Pengelolaan Dana Perwalian
Pasal 34
(1) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) merupakan badan usaha khusus yang dibentuk untuk melakukan kegiatan sekuritisasi dan/atau melakukan kegiatan pengelolaan dana perwalian yang mencakup kegiatan:
|
||||||||||||||||||||||
(2) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) berbentuk perseroan terbatas dengan karakteristik tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. |
||||||||||||||||||||||
(3) |
Pengelola dana perwalian (trustee) dapat berbentuk badan hukum atau orang perseorangan. |
||||||||||||||||||||||
(4) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan pengelola dana perwalian (trustee) wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dan dapat memulai kegiatan usahanya sejak memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. |
||||||||||||||||||||||
(5) |
Dalam hal badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) melakukan kegiatan di bidang atau sektor yang menjadi kewenangan di luar Otoritas Jasa Keuangan, badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) wajib memperoleh izin dari otoritas yang membawahi instrumen atau layanan yang menjadi kegiatan usaha sesuai dengan kewenangannya, dan dapat memulai kegiatan usahanya sejak memperoleh izin. |
||||||||||||||||||||||
(6) |
Karakteristik tertentu badan yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
||||||||||||||||||||||
(7) |
Karakteristik tertentu badan yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||||||||||||||||||||
(8) |
Kegiatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dapat dilakukan baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah. |
||||||||||||||||||||||
(9) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dapat membantu kegiatan penerbitan sukuk. |
||||||||||||||||||||||
(10) |
Kegiatan usaha badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) diatur dan diawasi oleh otoritas yang membawahi instrumen atau layanan yang menjadi kegiatan usaha sesuai dengan kewenangannya. |
Pasal 35
(1) |
Dalam melaksanakan fungsinya, pengelola dana perwalian (trustee) wajib menjaga kerahasiaan data dan transaksi pemilik aset dan penerima manfaat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjaga tata kelola yang baik (good governance). |
(2) |
Terhadap pengelola dana perwalian (trustee) yang berbentuk orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) berlaku tata kelola sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang:
suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh keuntungan ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas asetnya. |
(4) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) wajib melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya bagi badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee). |
(5) |
Pemegang saham badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang menyuruh anggota dewan komisaris, anggota direksi, pegawai/pejabat dari badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee), atau pihak yang bertindak untuk dan atas nama badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(6) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang:
|
Pasal 36
(1) |
Permohonan pailit badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Aset yang dialihkan hak, manfaat dan risikonya badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) bukan merupakan bagian dari aset kreditur/pemilik aset asal (originator) dan dicatat terpisah dari aset badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee). |
(3) |
Dalam hal kreditur/pemilik aset asal (originator) dipailitkan, semua aset yang hak, manfaat dan risikonya telah dialihkan sepenuhnya kepada badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) tidak termasuk dalam harta pailit (boedel pailit) kreditur/pemilik aset asal (originator). |
Pasal 37
Dengan berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36:
a. |
pihak atau badan hukum sejenis yang melakukan kegiatan penitipan dan pengelolaan (trust) dan/atau kegiatan sekuritisasi yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan |
b. |
ketentuan mengenai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dapat berlaku mutatis mutandis terhadap pihak atau badan hukum sejenis yang melakukan kegiatan penitipan dan pengelolaan (trust) dan/atau kegiatan sekuritisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a. |
Pasal 38
(1) |
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada setiap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 37 dan peraturan pelaksanaannya. |
(2) |
Ketentuan sanksi dalam peraturan perundang-undangan lainnya berlaku terhadap badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 38 dan perlakuan perpajakannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Penyelesaian Transaksi
Pasal 40
(1) |
Penyelesaian transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan menganut prinsip:
|
(2) |
Transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan yang terjadi sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang wajib diselesaikan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. |
(3) |
Transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan yang telah memenuhi persyaratan wajib diselesaikan dan tidak dapat dibatalkan. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas di sektor keuangan. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur oleh otoritas terkait sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. |
Pasal 41
(1) |
Penyelesaian transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan dengan mekanisme netting. |
(2) |
Dalam hal terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak yang bertransaksi, penyelesaian transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sepanjang dipersyaratkan atau diperjanjikan dalam perjanjian induk transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting). |
(3) |
Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan proses pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) terhadap transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang diperjanjikan dalam kontrak, transaksi tersebut wajib diselesaikan. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi dan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. |
Pasal 42
(1) |
Pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dapat dilakukan baik sebelum maupun sesudah terjadi kepailitan. |
(2) |
Pelaksanaan pengakhiran transaksi keuangan di pasar keuangan yang dilakukan berdasarkan perjanjian induk transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) oleh debitor pailit tidak dapat dibatalkan pengadilan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. |
(3) |
Pelaksanaan pengakhiran transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memerlukan permohonan perjumpaan utang sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. |
Pasal 43
Kurator tidak dapat membatalkan atau menganggap tidak sah suatu pembayaran atau transfer kolateral yang terjadi sehubungan dengan penyelesaian yang diakhiri dengan menghitung nilai bersih (netting) dari nilai atau jumlah hak atau kewajiban dengan pihak yang mengalami wanprestasi (defaulting party) kecuali terbukti bahwa pembayaran atau transfer kolateral terjadi karena fraud.
Pasal 44
(1) |
Dalam perjanjian pada transaksi di Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing termasuk transaksi instrumen Derivatif, para pihak dapat menggunakan kontrak pintar (smart contract) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. |
(2) |
Kontrak pintar (smart contract) dan/atau hasil cetaknya dapat menjadi alat bukti hukum yang sah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai informasi dan transaksi elektronik. |
(3) |
Penggunaan kontrak pintar (smart contract) diikuti penyimpanan kesepakatan yang paling sedikit memuat syarat dan ketentuan mengenai otomasi pelaksanaan hak dan kewajiban berdasarkan smart contract. |
(4) |
Pengaturan mengenai kontrak pintar (smart contract) mengacu kepada pengaturan lebih lanjut oleh otoritas di sektor keuangan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. |
Pasal 45
(1) |
Penerbitan, penatausahaan, pencatatan, dan pengalihan kepemilikan efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan tanpa warkat (scripless). |
(2) |
Efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang diterbitkan tanpa warkat (scripless) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk proses penatausahaan, pencatatan, dan pengalihannya, dapat menjadi alat bukti hukum yang sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. |
Bagian Keenam
Instrumen Keuangan Surat Utang Negara
Pasal 46
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan instrumen keuangan surat utang negara, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236).
Pasal 47
Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Surat Utang Negara diterbitkan untuk tujuan:
a. |
membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; |
b. |
menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam 1 (satu) tahun anggaran; |
c. |
mengelola portofolio utang negara; dan |
d. |
membiayai pembangunan proyek. |
Bagian Ketujuh
Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing
Pasal 48
(1) |
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan penukaran valuta asing ke rupiah dan penukaran rupiah ke valuta asing, dapat diselenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta asing. |
(2) |
Kegiatan usaha penukaran valuta asing dapat diselenggarakan oleh:
|
Pasal 49
(1) |
Penyelenggaraan kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a merupakan bagian dari kegiatan usaha bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah. |
(2) |
Pengaturan, perizinan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi terhadap kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 50
(1) |
Bank Indonesia melakukan pengaturan, perizinan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi terhadap kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh badan hukum bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf b. |
(2) |
Badan hukum bukan Bank yang melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh badan hukum bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. |
BAB VI
PERASURANSIAN
Pasal 51
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perasuransian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618).
Pasal 52
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. |
Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. |
Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal SA sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. |
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. |
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. |
Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal ISA sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. |
Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 21A dan Pasal 218 sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21A
Pasal 21B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. |
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. |
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. |
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. |
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. |
Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. |
Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. |
Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. |
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Di antara Pasal 62 dan Pasal 63 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 62A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. |
Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. |
Di antara Pasal 72 dan Pasal 73 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 72A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. |
Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 73A, Pasal 73B, dan Pasal 73C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73A
Pasal 73B
Pasal 73C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. |
Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. |
Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. |
Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 82A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. |
Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 87
|
BAB VII
ASURANSI USAHA BERSAMA
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup dan Prinsip Usaha Bersama
Pasal 53
(1) |
Usaha Bersama mempunyai ruang lingkup di bidang usaha asuransi jiwa. |
(2) |
Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan usahanya:
|
Pasal 54
(1) |
Usaha Bersama wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik termasuk penataan investasi, manajemen risiko, dan pengendalian internal dalam melakukan kegiatan usaha. |
(2) |
Dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Usaha Bersama wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesionalitas, dan kewajaran. |
(3) |
Usaha Bersama wajib menyusun sistem pengendalian internal dan prosedur internal mengenai pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) |
Usaha Bersama dalam menetapkan dan mengelola premi dari pemegang polis harus menghitung risiko dan manfaat yang akan didapat oleh pemegang polis atau tertanggung untuk memastikan tidak terjadi kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban kepada pemegang polis atau tertanggung. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Kedua
Anggaran Dasar Usaha Bersama
Pasal 55
(1) |
Anggaran dasar Usaha Bersama minimal memuat:
|
(2) |
Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam RUA. |
(3) |
Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. |
(4) |
Dalam hal perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, anggaran dasar yang berlaku adalah anggaran dasar yang telah berlaku sebelumnya. |
(5) |
Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. |
(6) |
Usaha Bersama wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(7) |
Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Usaha Bersama untuk melakukan perubahan anggaran dasar guna mewujudkan penyelenggaraan usaha yang sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. |
(8) |
Usaha Bersama wajib menjalankan perintah dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (7). |
(9) |
RUA wajib menetapkan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8). |
(10) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai muatan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tata cara perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tata cara persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan tata cara penyampaian bukti pengumuman kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Ketiga
Keanggotaan Usaha Bersama
Pasal 56
(1) |
Anggota Usaha Bersama terdiri atas:
|
(2) |
Dalam hal pemegang polis merupakan badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, keanggotaan dalam Usaha Bersama diwakili oleh pengurus atau pihak yang ditunjuk oleh pemegang polis. |
(3) |
Keanggotaan pada Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir apabila:
|
(4) |
Anggota Usaha Bersama berhak:
|
(5) |
Anggota Usaha Bersama wajib:
|
(6) |
Usaha Bersama wajib menyatakan secara jelas hak dan kewajiban anggota di dalam polis. |
Bagian Keempat
Organ Usaha Bersama
Pasal 57
Organ Usaha Bersama terdiri atas RUA, Direksi Usaha Bersama, dan Dewan Komisaris Usaha Bersama.
Paragraf 1
RUA
Subparagraf 1
Wewenang RUA
Pasal 58
(1) |
RUA mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi Usaha Bersama atau Dewan Komisaris Usaha Bersama dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. |
(2) |
RUA berwenang:
|
(3) |
Peserta RUA wajib menjalankan wewenangnya sebagai RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama, serta sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama. |
Subparagraf 2
Penyelenggaraan RUA
Pasal 59
(1) |
Penyelenggaraan RUA dapat dilaksanakan secara fisik dan/atau melalui media telekonferensi, konferensi video, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUA saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. |
(2) |
Dalam hal penyelenggaraan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara fisik, RUA diadakan di tempat kedudukan Usaha Bersama atau di tempat Usaha Bersama melakukan kegiatan usahanya. |
(3) |
Tempat pelaksanaan RUA secara fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terletak di wilayah Negara Republik Indonesia. |
(4) |
Usaha Bersama memberitahukan agenda dan materi yang akan dibicarakan dan diputuskan dalam RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 60
(1) |
RUA terdiri atas RUA tahunan dan RUA luar biasa. |
(2) |
Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan dilakukannya RUA luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kepentingan Usaha Bersama. |
(3) |
RUA dinyatakan sah jika memenuhi kuorum. |
(4) |
RUA dinyatakan memenuhi kuorum jika peserta RUA yang hadir telah mencapai 2/3 (dua per tiga) dari peserta RUA. |
(5) |
Pemenuhan kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dihitung berdasarkan kehadiran secara fisik dan/atau keikutsertaan peserta RUA melalui media telekonferensi, konferensi video, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUA saling melihat dan mendengar secara langsung, serta berpartisipasi dalam rapat. |
(6) |
Keputusan RUA diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. |
(7) |
Dalam hal keputusan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak dari peserta RUA yang hadir. |
(8) |
Keputusan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dituangkan dalam risalah RUA yang disetujui dan ditandatangani oleh peserta RUA yang hadir. |
(9) |
Risalah RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) wajib dinyatakan dalam akta notaris. |
(10) |
Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (9) harus disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(11) |
Keputusan RUA dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. |
(12) |
Otoritas Jasa Keuangan berwenang membatalkan keputusan RUA dalam hal:
|
(13) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (12) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 3
Kepesertaan RUA
Pasal 61
(1) |
Peserta RUA berhak:
|
(2) |
Peserta RUA dilarang:
|
(3) |
Peserta RUA bertanggung jawab secara pribadi dan tanggung renteng atas kerugian Usaha Bersama dalam hal yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 62
(1) |
Peserta RUA berjumlah ganjil paling sedikit 11 (sebelas) orang dan paling banyak 15 (lima belas) orang. |
(2) |
Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perwakilan anggota dari setiap wilayah pemilihan. |
(3) |
Jumlah wilayah pemilihan disesuaikan dengan jumlah peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) |
Jumlah peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pembagian wilayah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam anggaran dasar. |
Subparagraf 4
Pemilihan Peserta RUA
Pasal 63
(1) |
Setiap anggota di setiap wilayah pemilihan berhak dipilih menjadi peserta RUA. |
(2) |
Penentuan anggota di setiap wilayah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada data domisili terakhir yang tercatat pada sistem Usaha Bersama. |
(3) |
Untuk dapat dipilih menjadi peserta RUA, anggota harus memenuhi persyaratan umum sebagai berikut:
|
(4) |
Selain harus memenuhi persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggota juga harus memenuhi persyaratan khusus sebagai berikut:
|
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 64
(1) |
Pemilihan peserta RUA dilakukan oleh Panitia Pemilihan yang dibentuk oleh Dewan Komisaris Usaha Bersama. |
(2) |
Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib membentuk Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan sebelum masa kepesertaan RUA periode sebelumnya berakhir. |
(3) |
Dalam hal tidak terdapat Dewan Komisaris Usaha Bersama atau Dewan Komisaris Usaha Bersama tidak membentuk Panitia Pemilihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi Usaha Bersama wajib membentuk Panitia Pemilihan. |
(4) |
Anggota Panitia Pemilihan berjumlah ganjil paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 7 (tujuh) orang. |
(5) |
Panitia Pemilihan terdiri atas unsur:
|
(6) |
Panitia Pemilihan bertugas untuk melakukan seleksi terhadap bakal calon peserta RUA dari setiap wilayah pemilihan. |
(7) |
Panitia Pemilihan menetapkan dan menyampaikan kepada Direksi Usaha Bersama urutan calon peserta RUA dari setiap wilayah pemilihan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) dan ayat (4). |
(8) |
Direksi Usaha Bersama menyampaikan calon peserta RUA kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. |
(9) |
Persetujuan oleh Otoritas Jasa Keuangan diberikan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada calon peserta RUA. |
(10) |
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan verifikasi atas pelaksanaan proses pemilihan peserta RUA. |
(11) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) dan penilaian kemampuan dan kepatutan dan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 5
Masa Tugas dan Pemberhentian peserta RUA
Pasal 65
(1) |
Peserta RUA memiliki masa tugas selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali. |
(2) |
Status sebagai peserta RUA berakhir apabila peserta RUA:
|
(3) |
Status peserta RUA berakhir karena diberhentikan sebelum masa tugasnya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, apabila peserta RUA:
|
(4) |
Penetapan pemberhentian peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keputusan RUA berlaku sejak tanggal keputusan RUA atau tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUA. |
(5) |
Dalam hal status peserta RUA berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3), peserta RUA dilarang melakukan tindakan yang berkaitan dengan wewenang dan hak sebagai peserta RUA. |
(6) |
Dalam hal status peserta RUA berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kedudukannya digantikan oleh calon peserta RUA dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (9). |
(7) |
Peserta RUA pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) melanjutkan sisa masa tugas dari peserta RUA yang digantikan. |
(8) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 66
(1) |
Peserta RUA merupakan Pengendali. |
(2) |
Dalam hal terdapat Pengendali selain peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan Pengendali lain. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 2
Direksi Usaha Bersama
Subparagraf 1
Pengurusan Usaha Bersama
Pasal 67
(1) |
Untuk kepentingan Usaha Bersama, pengurusan Usaha Bersama dilaksanakan oleh Direksi Usaha Bersama. |
(2) |
Usaha Bersama wajib memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang Direksi Usaha Bersama yang salah seorang di antaranya diangkat sebagai direktur utama berdasarkan keputusan RUA. |
(3) |
Paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan risiko sesuai dengan bidang usaha dari Usaha Bersama. |
Subparagraf 2
Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Direksi Usaha Bersama
Pasal 68
(1) |
Anggota Direksi Usaha Bersama diangkat dan diberhentikan oleh RUA. |
(2) |
Anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(3) |
Anggota Direksi Usaha Bersama diangkat untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. |
(4) |
Pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi Usaha Bersama ditetapkan dalam keputusan RUA. |
(5) |
Anggota Direksi Usaha Bersama yang telah diangkat oleh RUA hanya dapat menjalankan tugas dan wewenangnya setelah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. |
(6) |
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan. |
(7) |
Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa keuangan. |
(8) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 3
Masa Tugas dan Pemberhentian Direksi Usaha Bersama
Pasal 69
(1) |
Anggota Direksi Usaha Bersama hanya dapat menjabat selama 2 (dua) periode berturut-turut dan dapat diangkat kembali setelah paling singkat 1 (satu) periode berikutnya. |
(2) |
Anggota Direksi Usaha Bersama berakhir masa jabatannya apabila:
|
(3) |
Anggota Direksi Usaha Bersama yang jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, tetap bertanggung jawab terhadap tindakannya yang belum diterima pertanggungjawabannya oleh RUA. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberhentian anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 4
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Direksi Usaha Bersama
Pasal 70
(1) |
Direksi Usaha Bersama bertugas untuk menjalankan pengurusan Usaha Bersama untuk kepentingan Usaha Bersama. |
(2) |
Pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi Usaha Bersama ditetapkan berdasarkan keputusan RUA. |
(3) |
Dalam hal RUA tidak menetapkan pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi Usaha Bersama ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi Usaha Bersama. |
(4) |
Anggota Direksi Usaha Bersama wajib melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama, serta sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama. |
(5) |
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Usaha Bersama berwenang untuk menetapkan kebijakan dalam batas yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar. |
(6) |
Direksi Usaha Bersama bertanggung jawab kepada RUA dalam menjalankan pengurusan Usaha Bersama. |
(7) |
Anggota Direksi Usaha Bersama:
|
(8) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 71
(1) |
Anggota Direksi Usaha Bersama wajib mengungkapkan:
|
(2) |
Pengungkapan kepemilikan oleh anggota Direksi Usaha Bersama kepada Otoritas Jasa Keuangan disampaikan dalam laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan perasuransian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. |
Paragraf 3
Dewan Komisaris Usaha Bersama
Subparagraf 1
Pengawasan Usaha Bersama
Pasal 72
(1) |
Pengawasan Usaha Bersama dilaksanakan oleh Dewan Komisaris Usaha Bersama. |
(2) |
Dewan Komisaris Usaha Bersama paling sedikit terdiri atas 3 (tiga) orang anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama yang salah seorang di antaranya diangkat sebagai ketua Dewan Komisaris Usaha Bersama berdasarkan keputusan RUA. |
(3) |
Paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama merupakan komisaris independen. |
(4) |
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris Usaha Bersama. |
Subparagraf 2
Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama
Pasal 73
(1) |
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama diangkat dan diberhentikan oleh RUA. |
(2) |
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(3) |
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama independen juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(4) |
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama diangkat untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. |
(5) |
Pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama ditetapkan dalam keputusan RUA. |
(6) |
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama yang telah diangkat oleh RUA hanya dapat menjalankan tugas dan wewenangnya setelah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. |
(7) |
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan. |
(8) |
Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa keuangan. |
(9) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 3
Masa Tugas dan Pemberhentian
Dewan Komisaris Usaha Bersama
Pasal 74
(1) |
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama hanya dapat menjabat selama 2 (dua) periode secara berturut-turut dan dapat diangkat kembali setelah paling singkat 1 (satu) periode berikutnya. |
(2) |
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama berakhir masa jabatannya apabila:
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pemberhentian Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 4
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab
Dewan Komisaris Usaha Bersama
Pasal 75
(1) |
Dewan Komisaris Usaha Bersama bertugas:
|
(2) |
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama serta sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama. |
(3) |
Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Komisaris Usaha Bersama berwenang untuk:
|
(4) |
Dewan Komisaris Usaha Bersama bertanggung jawab kepada RUA atas pelaksanaan tugas dan wewenangnya. |
(5) |
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama:
|
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, dan tanggungjawab anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 76
(1) |
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib mengungkapkan:
kepada Usaha Bersama, peserta RUA, dan Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Pengungkapan kepemilikan oleh anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama kepada Otoritas Jasa Keuangan disampaikan dalam laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan perasuransian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. |
Bagian Kelima
Perubahan Bentuk Badan Hukum
Pasal 77
(1) |
Usaha Bersama dapat melakukan perubahan bentuk badan hukum menjadi perseroan terbatas. |
(2) |
Perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan prinsip:
|
(3) |
Perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diusulkan oleh:
|
(4) |
Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib melakukan pengawasan proses perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama. |
(5) |
Rencana perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Proposal dan harus mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. |
(6) |
Proposal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus mendapatkan persetujuan RUA terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(7) |
Perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama mengakibatkan:
|
(8) |
Pada saat Usaha Bersama berubah menjadi badan hukum baru, Usaha Bersama dinyatakan bubar tanpa likuidasi. |
(9) |
Proses pendirian badan hukum baru dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(10) |
Direksi Usaha Bersama wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait:
|
(11) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (10) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Keenam
Pembubaran Usaha Bersama
Pasal 78
(1) |
Pembubaran Usaha Bersama dilakukan apabila izin usaha dari Usaha Bersama dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Usaha Bersama:
|
(3) |
Pembubaran Usaha Bersama karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUA untuk melakukan penghentian kegiatan usaha. |
(4) |
Status badan hukum Usaha Bersama berakhir sejak tanggal pengumuman berakhirnya likuidasi dalam Berita Negara Republik Indonesia. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembubaran Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
BAB VIII
PROGRAM PENJAMINAN POLIS
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Program Penjaminan Polis
Pasal 79
(1) |
Berdasarkan Undang-Undang ini diselenggarakan program penjaminan polis. |
(2) |
Penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk melindungi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya akibat mengalami kesulitan keuangan. |
(3) |
Program penjaminan polis dapat menggunakan Prinsip Syariah. |
Bagian Kedua
Kepesertaan
Pasal 80
(1) |
Setiap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. |
(2) |
Untuk menjadi peserta program penjaminan polis pada saat pertama kali, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan tertentu. |
(3) |
Kriteria persyaratan tingkat kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan setelah dikoordinasikan dengan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 81
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi peserta program penjaminan polis wajib:
|
||||||||||||||||||||||||||
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan. |
Pasal 82
(1) |
Iuran awal kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf b dibayarkan 1 (satu) kali pada saat Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah menjadi peserta. |
(2) |
Iuran berkala penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf c dibayarkan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun untuk:
|
(3) |
Iuran berkala penjaminan untuk masing-masing periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan paling lambat tanggal:
|
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai iuran awal kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan iuran berkala penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah dikonsultasikan dengan DPR. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan. |
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup dan Mekanisme Penjaminan
Pasal 83
(1) |
Program penjaminan polis hanya menjamin unsur proteksi dari produk asuransi pada lini usaha tertentu. |
(2) |
Program asuransi sosial dan program asuransi wajib dikecualikan dari program penjaminan polis. |
(3) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta program penjaminan polis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) wajib membentuk dana jaminan. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai lini usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian program asuransi sosial dan program asuransi wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 84
(1) |
Program penjaminan polis dilaksanakan atas polis asuransi yang masih aktif atau belum berakhir dan klaim polis asuransi dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya. |
(2) |
Pelaksanaan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
|
(3) |
Terhadap polis yang dilakukan pengalihan portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menerima pengalihan dinyatakan tetap berlaku sepanjang Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya masih dalam proses penanganan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka pelaksanaan program penjaminan polis. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. |
Pasal 85
(1) |
Batas maksimal penjaminan program penjaminan polis diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. |
(2) |
Batas maksimal penjaminan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan keberlanjutan program penjaminan polis dan cakupan program penjaminan polis. |
Bagian Keempat
Penyelenggara Program Penjaminan Polis
Pasal 86
Program penjaminan polis diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 87
(1) |
Lembaga Penjamin Simpanan wajib menerapkan tata kelola yang baik termasuk penataan investasi, manajemen risiko, dan pengendalian internal dalam melakukan kegiatan usahanya. |
(2) |
Dalam menerapkan tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesionalisme, dan kewajaran. |
(3) |
Lembaga Penjamin Simpanan menyusun sistem pengendalian internal dan prosedur internal mengenai pelaksanaan tata kelola yang baik. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan setelah dikonsultasikan dengan DPR. |
Pasal 88
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menyampaikan data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk menentukan polis yang layak dibayar. |
(2) |
Dalam rangka menjalankan tugas untuk melaksanakan program penjaminan polis, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta. |
(3) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta yang disampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) |
Penyampaian data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan perasuransian. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan. |
Pasal 89
(1) |
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Lembaga Penjamin Simpanan dapat meminta data, informasi, dan/atau dokumen kepada pihak lain. |
(2) |
Setiap pihak yang dimintai data, informasi, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan. |
Bagian Kelima
Penanganan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah Bermasalah
Paragraf 1
Mekanisme Penanganan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah Bermasalah
Pasal 90
(1) |
Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis kepada Lembaga Penjamin Simpanan setiap penetapan status pengawasan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. |
(2) |
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menetapkan status pengawasan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dapat berdampak pada pencabutan izin usaha, Lembaga Penjamin Simpanan melakukan langkah persiapan pelaksanaan program penjaminan polis. |
(3) |
Dalam melakukan langkah persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Penjamin Simpanan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. |
(4) |
Otoritas Jasa Keuangan memberikan data dan informasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam status yang dapat berdampak pada pencabutan izin usaha kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(5) |
Jenis, bentuk, dan tata cara pemberian data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam nota kesepahaman antara Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. |
Pasal 91
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah karena tidak dapat disehatkan, Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis dan menyerahkan penyelesaiannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
Paragraf 2
Likuidasi
Pasal 92
Dalam rangka likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya, Lembaga Penjamin Simpanan melakukan tindakan sebagai berikut:
a. |
menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham dan rapat umum pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama; |
b. |
menjual dan/atau mengalihkan aset dan/atau kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah kepada pihak lain tanpa persetujuan debitur, kreditur, atau pihak manapun; |
c. |
memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dan talangan pesangon pegawai sebesar jumlah minimum pesangon sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; |
d. |
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebelum proses likuidasi dimulai; dan |
e. |
memutuskan pembubaran badan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan status Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. |
Pasal 93
Terhitung sejak izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan, seluruh hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham dan rapat umum pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama beralih kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 94
(1) |
Pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilakukan oleh tim likuidasi. |
(2) |
Dengan terbentuknya tim likuidasi, tanggung jawab dan kepengurusan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dilaksanakan oleh tim likuidasi. |
(3) |
Dalam melaksanakan tugasnya, tim likuidasi berwenang mewakili Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. |
(4) |
Pengawasan atas pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan. |
Pasal 95
(1) |
Keputusan pembubaran badan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf e wajib:
|
(2) |
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat pula pernyataan bahwa seluruh aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi berada dalam tanggung jawab dan pengurusan tim likuidasi. |
Pasal 96
(1) |
Untuk kepentingan aset atau kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi, tim likuidasi dapat meminta pembatalan kepada pengadilan niaga atas segala perbuatan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha. |
(2) |
Perbuatan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang wajib dilakukan berdasarkan Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Pasal 97
(1) |
Pengendali, pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta pegawai dan mantan pegawai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi wajib memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh tim likuidasi. |
(2) |
Pengendali, pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta pegawai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dilarang secara langsung atau tidak langsung menghambat proses likuidasi. |
Pasal 98
(1) |
Pembayaran kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah kepada para kreditur dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
|
(2) |
Segala biaya yang berkaitan dengan likuidasi dan tercantum dalam daftar biaya likuidasi menjadi beban aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dan dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil pencairannya. |
(3) |
Honorarium tim likuidasi yang termasuk salah satu komponen dalam biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. |
(4) |
Dalam hal seluruh kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi telah dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masih terdapat sisa hasil likuidasi, sisa tersebut diserahkan kepada pemegang saham lama atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama. |
(5) |
Dalam hal seluruh aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah telah habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah terhadap pihak lain, kewajiban tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama yang terbukti menyebabkan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dicabut izin usahanya. |
Pasal 99
Setelah menerima pertanggungjawaban tim likuidasi, Lembaga Penjamin Simpanan:
a. |
meminta tim likuidasi:
|
b. |
membubarkan tim likuidasi. |
Pasal 100
Status badan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dilikuidasi hapus terhitung sejak tanggal pengumuman berakhirnya likuidasi dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a angka 1.
Pasal 101
(1) |
Likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menghentikan kegiatan usahanya dilakukan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan. |
(2) |
Lembaga Penjamin Simpanan tidak membayar penjaminan polis dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya karena menghentikan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Bagian Keenam
Pengelolaan Aset dan Kewajiban
Pasal 102
(1) |
Lembaga Penjamin Simpanan bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan aset dan kewajiban penyelenggaraan program penjaminan polis. |
(2) |
Lembaga Penjamin Simpanan memisahkan pencatatan aset dan kewajiban penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari pencatatan aset dan kewajiban penyelenggaraan penjaminan simpanan. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan penatausahaan aset dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Pasal 103
(1) |
Seluruh dana yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka pelaksanaan program penjaminan polis merupakan biaya penyelesaian penjaminan polis bagi Lembaga Penjamin Simpanan. |
(2) |
Dalam hal terdapat selisih kurang antara biaya penyelesaian penjaminan polis dan dana yang diterima Lembaga Penjamin Simpanan, selisih kurang tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara. |
BAB IX
PENJAMINAN
Pasal 104
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor penjaminan, Undang-Undang ini mengubah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835).
Pasal 105
Ketentuan Pasal 62 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 62
(1) |
Dalam hal Perusahaan Penjaminan memiliki unit syariah, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan Penjaminan dimaksud wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah. |
(2) |
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta pemisahan unit syariah menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah dalam rangka konsolidasi penjaminan. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan dan konsolidasi serta sanksi bagi Perusahaan Penjaminan yang tidak melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR. |
(4) |
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
BAB X
USAHA JASA PEMBIAYAAN
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 106
(1) |
Ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan meliputi:
|
(2) |
Selain melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat melakukan kegiatan lain setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) |
Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat mengelola dana ventura dalam bentuk kontrak investasi bersama. |
(4) |
Ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. |
(5) |
Tidak termasuk dalam ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan berdasarkan Undang-Undang ini, merupakan kegiatan Usaha Jasa Pembiayaan yang dilakukan oleh:
|
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 107
(1) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang mengelola dana ventura dalam bentuk kontrak investasi bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Untuk memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang mengelola dana ventura dalam bentuk kontrak investasi bersama harus memenuhi persyaratan minimal mengenai:
|
(3) |
Badan yang dibentuk melalui kontrak investasi bersama dana ventura dipersamakan sebagai badan hukum. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dana ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Kedua
Bentuk Badan Hukum, Kepemilikan, Kepengurusan dan Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan, dan Sumber Dana Penyertaan
Paragraf 1
Bentuk Badan Hukum
Pasal 108
Bentuk badan hukum penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan terdiri atas:
a. |
perseroan terbatas; dan |
b. |
koperasi. |
Paragraf 2
Kepemilikan
Pasal 109
(1) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, hanya dapat dimiliki oleh:
|
(2) |
Kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e hanya dapat dilakukan dalam bentuk kemitraan bersama:
|
(3) |
Kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f hanya dapat dilakukan melalui transaksi di Pasar Modal. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Paragraf 3
Kepengurusan dan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 110
(1) |
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, Dewan Pengawas Syariah, PSP, anggota pengurus, anggota pengawas, atau pengelola dari penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang melaksanakan kegiatan Usaha Jasa Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atas rekomendasi dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. |
Pasal 111
(1) |
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, Dewan Pengawas Syariah, PSP, anggota pengurus, anggota pengawas, dan pengelola dari penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 4
Sumber Dana Penyertaan
Pasal 112
(1) |
Sumber dana penyertaan bagi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan ditetapkan berdasarkan ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106. |
(2) |
Sumber dana penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang:
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sumber dana penyertaan bagi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Ketiga
Perizinan
Paragraf 1
Izin Usaha
Pasal 113
(1) |
Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 wajib memperoleh izin usaha sebagai penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali apabila diatur dengan undang-undang tersendiri. |
(2) |
Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan memenuhi persyaratan minimal:
|
(3) |
Persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan sesuai dengan lingkup usaha yang akan dijalankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 114
(1) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat melakukan pembukaan kantor cabang. |
(2) |
Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 2
Konversi dan Pembentukan Unit Usaha Syariah
Pasal 115
(1) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha secara konvensional dapat melakukan konversi menjadi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha sesuai dengan Prinsip Syariah. |
(2) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat mendirikan unit usaha syariah. |
(3) |
Konversi dan pendirian unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan. |
(4) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang memiliki unit usaha syariah wajib melakukan pemisahan unit usaha syariah apabila memenuhi kriteria tertentu. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai konversi dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Keempat
Penyelenggaraan Usaha
Pasal 116
(1) |
Perjanjian Usaha Jasa Pembiayaan wajib dituangkan dalam perjanjian tertulis. |
(2) |
Perjanjian Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan penyusunan perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 117
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilarang:
a. |
menghimpun dana secara langsung dari masyarakat berbentuk giro, tabungan, deposito, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan penghimpunan dana masyarakat; |
b. |
memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; dan |
c. |
menerbitkan surat sanggup bayar (promissory note), kecuali sebagai jaminan atas utang kepada krediturnya. |
Pasal 118
(1) |
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilarang:
|
(2) |
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilarang:
|
(3) |
Pemegang saham dan/atau pihak terafiliasi Usaha Jasa Pembiayaan dilarang menyuruh anggota direksi, anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota pengurus, pengelola, pegawai Usaha Jasa Pembiayaan, dan/atau pihak terafiliasi lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Usaha Jasa Pembiayaan tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Usaha Jasa Pembiayaan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya bagi Usaha Jasa Pembiayaan. |
Pasal 119
Sertifikat jaminan fidusia yang diterima oleh penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagai jaminan dalam rangka pemenuhan kewajiban konsumen sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial.
Pasal 120
(1) |
Setiap pihak yang menyerahkan barang bergerak sebagai jaminan atau barang titipan kepada penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dianggap sebagai pemilik. |
(2) |
Dalam hal di kemudian hari diduga atau terbukti bahwa kepemilikan atau penguasaan barang jaminan berasal dari kejahatan atau perbuatan melanggar hukum lainnya, penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan tidak dapat dituntut atas tindak pidana yang berhubungan dengan penerimaan barang jaminan atau barang titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) |
Pembebasan dari tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan telah melakukan penerapan prinsip mengenal pengguna jasa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 121
(1) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib melaksanakan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. |
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 122
(1) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif yang minimal mencakup:
|
(2) |
Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib memiliki pedoman penerapan manajemen risiko. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan prinsip manajemen risiko pada Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 123
(1) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan. |
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Kelima
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan
Pasal 124
(1) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan usaha berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Keenam
Pencabutan Izin Usaha
Pasal 125
(1) |
Pencabutan izin usaha penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
||||||||||
(2) |
Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan:
|
||||||||||
(3) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan likuidasi atau penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan izin usaha dan pembubaran atas penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Ketujuh
Asosiasi Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 126
(1) |
Setiap penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menjadi anggota salah satu asosiasi yang sesuai dengan jenis usahanya. |
(2) |
Asosiasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) |
Otoritas Jasa Keuangan mendorong peran asosiasi Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk membangun pengawasan berbasis disiplin pasar dalam rangka penguatan dan/atau penyehatan industri Usaha Jasa Pembiayaan. |
Bagian Kedelapan
Profesi Penunjang Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 127
(1) |
Profesi penunjang pada Usaha Jasa Pembiayaan terdiri atas:
|
(2) |
Untuk dapat menyediakan jasa bagi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan, profesi penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menggunakan jasa dari profesi penunjang yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran profesi penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Kesembilan
Pengawasan dan Pelaporan
Pasal 128
(1) |
Pengawasan terhadap penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menyampaikan laporan bulanan, laporan keuangan tahunan dan/atau laporan lain secara benar kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) |
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan sebagaimana diatur pada ayat (1) dan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 129
(1) |
Dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan berbadan hukum perseroan terbatas mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta:
|
(2) |
Dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan berbadan hukum koperasi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta:
|
(3) |
Dalam hal menurut Otoritas Jasa Keuangan tindakan penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan. |
(4) |
Setelah Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat umum pemegang saham atau rapat anggota wajib memproses likuidasi atau penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
BAB XI
KEGIATAN USAHA BULION (BULLION)
Pasal 130
Kegiatan usaha bulion (bullion) merupakan kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas dalam bentuk simpanan, pembiayaan, perdagangan, penitipan emas, dan/atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh LJK.
Pasal 131
LJK yang melakukan kegiatan usaha bulion (bullion) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 132
Ketentuan mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha bulion (bullion) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang paling sedikit memuat:
a. |
pentahapan pelaksanaan kegiatan usaha bulion (bullion); |
b. |
tata kelola; |
c. |
manajemen risiko; |
d. |
prinsip kehati-hatian; dan |
e. |
sanksi administratif. |
BAB XII
DANA PENSIUN, PROGRAM JAMINAN HARI TUA, DAN PROGRAM PENSIUN
Pasal 133
Dalam rangka memperbaiki sistem pensiun di Indonesia guna meningkatkan pelindungan dan kesejahteraan masyarakat di hari tua, meningkatkan produktivitas dunia usaha, meningkatkan kepercayaan masyarakat atas penyelenggaraan program pensiun, dan mempercepat akumulasi dana jangka panjang, perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai penyelenggaraan program pensiun.
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 134
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. |
Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. |
2. |
Dana Pensiun Pemberi Kerja adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh pendiri bagi kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja. |
3. |
Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh LJK tertentu, selaku pendiri, yang ditujukan bagi karyawan yang diikutsertakan oleh pemberi kerjanya dan/atau perorangan secara mandiri. |
4. |
Manfaat Pensiun adalah manfaat yang diterima oleh peserta baik secara berkala dan/atau sekaligus sebagai penghasilan hari tua yang dikaitkan dengan usia pensiun, masa kerja, dan/atau masa mengiur. |
5. |
Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan yang berisi ketentuan yang menjadi dasar penyelenggaraan program pensiun bagi suatu Dana Pensiun. |
6. |
Program Pensiun adalah setiap program yang mengupayakan Manfaat Pensiun bagi peserta. |
7. |
Program Pensiun Iuran Pasti adalah Program Pensiun yang iurannya ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan seluruh iuran serta hasil pengembangannya dibukukan pada rekening masing-masing peserta sebagai Manfaat Pensiun. |
8. |
Program Pensiun Manfaat Pasti adalah Program Pensiun yang manfaatnya ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun atau Program Pensiun lain yang bukan merupakan Program Pensiun Iuran Pasti. |
9. |
Peserta adalah orang perseorangan yang memenuhi persyaratan mengikuti Program Pensiun. |
10. |
Usia Pensiun Normal adalah usia normal ketika Peserta berhak mendapatkan Manfaat Pensiun. |
11. |
Disabilitas adalah keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik yang menyebabkan seseorang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan yang memberikan penghasilan yang layak diperoleh sesuai dengan pendidikan, keahlian, keterampilan, dan pengalamannya. |
12. |
Manfaat Pensiun Normal adalah Manfaat Pensiun yang mulai dibayarkan pada saat Peserta telah mencapai Usia Pensiun Normal atau sesudahnya. |
13. |
Manfaat Pensiun Dipercepat adalah Manfaat Pensiun yang dibayarkan apabila Peserta berhenti bekerja pada usia tertentu sebelum Usia Pensiun Normal. |
14. |
Manfaat Pensiun Disabilitas adalah Manfaat Pensiun yang mulai dibayarkan pada saat Peserta berhenti bekerja karena Disabilitas. |
15. |
Pensiun Ditunda adalah hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta yang berhenti bekerja sebelum mencapai Usia Pensiun Normal dan yang ditunda pembayarannya sampai dengan paling cepat pada saat Peserta memasuki usia tertentu sebelum Usia Pensiun Normal. |
16. |
Pemberi Kerja adalah Setiap Orang yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya. |
17. |
Pendiri adalah badan hukum yang membentuk Dana Pensiun Pemberi Kerja dan/atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan. |
18. |
Mitra Pendiri adalah Pemberi Kerja yang menyertakan sebagian atau seluruh karyawannya ke dalam Program Pensiun yang diselenggarakan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja. |
19. |
Bank Kustodian adalah bank umum dan bank umum syariah yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai kustodian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pasar modal. |
20. |
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. |
21. |
Pengurus adalah organ Dana Pensiun yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengelolaan Dana Pensiun untuk kepentingan Dana Pensiun, sesuai dengan maksud dan tujuan Dana Pensiun serta mewakili Dana Pensiun di dalam dan di luar pengadilan. |
22. |
Dewan Pengawas adalah organ Dana Pensiun yang bertugas memberikan nasihat dan saran serta melakukan pengawasan terhadap pengelolaan Dana Pensiun kepada Pengurus. |
23. |
Pihak yang Berhak adalah pihak yang memiliki hak atas Manfaat Pensiun dalam hal Peserta meninggal dunia, yaitu janda/duda, anak, atau pihak yang ditunjuk oleh Peserta apabila Peserta tidak memiliki janda/duda atau anak. |
24. |
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. |
25. |
Setiap Orang adalah orang perseorangan, korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya. |
26. |
Janda/Duda Peserta Program Pensiun yang selanjutnya disebut Janda/Duda adalah istri/suami yang sah dari Peserta atau pensiunan yang meninggal dunia, yang telah terdaftar pada Dana Pensiun. |
Bagian Kedua
Dana Pensiun
Paragraf 1
Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Dana Pensiun
Pasal 135
Dana Pensiun memiliki status sebagai badan hukum dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 136
Setiap Orang yang menjalankan Program Pensiun wajib memperoleh pengesahan sebagai Dana Pensiun dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali Program Pensiun yang didasarkan pada undang-undang tersendiri.
Paragraf 2
Ruang Lingkup Usaha Dana Pensiun
Pasal 137
(1) |
Jenis Dana Pensiun terdiri atas:
|
(2) |
Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dibentuk oleh Pemberi Kerja dan atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) |
Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dibentuk oleh badan hukum yang telah memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai:
dan atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 138
(1) |
Dana Pensiun Pemberi Kerja dapat menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti dan/atau Program Pensiun Iuran Pasti. |
(2) |
Dana Pensiun Lembaga Keuangan hanya dapat menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti. |
(3) |
Dana Pensiun dapat menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah dalam bentuk:
|
(4) |
Dalam hal tertentu, Dana Pensiun dapat memberikan manfaat lain sebagai tambahan dari Program Pensiun. |
(5) |
Dana Pensiun tidak dapat menyelenggarakan program yang hanya memberikan manfaat lain, tanpa menyelenggarakan Program Pensiun. |
(6) |
Dalam hal Dana Pensiun menyelenggarakan manfaat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku ketentuan:
|
(7) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Pensiun dan manfaat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 3
Pembentukan Dana Pensiun
Pasal 139
(1) |
Pembentukan Dana Pensiun harus didasarkan pada:
|
(2) |
pernyataan tertulis Pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, wajib memuat keputusan untuk membiayai penyelenggaraan Dana Pensiun sesuai dengan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya serta Peraturan Dana Pensiun. |
(3) |
Dana Pensiun Pemberi Kerja dapat didirikan untuk lebih dari 1 (satu) Pemberi Kerja. |
(4) |
Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan setiap perubahannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) |
Dana Pensiun memiliki status sebagai badan hukum dan dapat memulai kegiatannya sebagai suatu Dana Pensiun sejak tanggal pengesahan pembentukan Dana Pensiun oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(6) |
Pengurus wajib mengumumkan pembentukan Dana Pensiun dengan menempatkan pengesahan Otoritas Jasa Keuangan atas Peraturan Dana Pensiun pada Berita Negara Republik Indonesia. |
(7) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pembentukan Dana Pensiun serta materi muatan Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 140
(1) |
Pendiri mengajukan permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) |
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan pengesahan pembentukan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 141
(1) |
Pemberi Kerja dapat menjadi Mitra Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi Kerja yang telah berdiri. |
(2) |
Dana Pensiun yang telah berdiri dapat menggabungkan diri dengan Dana Pensiun lain atau memisahkan diri menjadi 2 (dua) atau lebih Dana Pensiun. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai Mitra Pendiri, penggabungan, atau pemisahan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 142
(1) |
Pendiri mengajukan permohonan pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak permohonan pengesahan diterima secara lengkap. |
(3) |
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. |
(4) |
Perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi Manfaat Pensiun yang sudah menjadi hak Peserta yang diperoleh selama kepesertaannya sampai pada saat pengesahan Otoritas Jasa Keuangan. |
(5) |
Hak Peserta sebelum perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dipenuhi sampai saat pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(6) |
Seluruh perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilaksanakan apabila telah mendapat pengesahan Otoritas Jasa Keuangan. |
(7) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 4
Penyelenggaraan Dana Pensiun
Pasal 143
(1) |
Dana Pensiun wajib menerapkan:
dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. |
(2) |
Dana Pensiun wajib dikelola dengan mengutamakan kepentingan Peserta serta Pihak yang Berhak atas Manfaat Pensiun sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(3) |
Dana Pensiun wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola Dana Pensiun yang baik dan manajemen risiko yang efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 144
(1) |
Pengurus dan Dewan Pengawas ditunjuk oleh dan bertanggung jawab kepada Pendiri. |
(2) |
Pendiri dapat memberhentikan dan mengubah susunan Pengurus dan Dewan Pengawas. |
(3) |
Pengurus dilarang merangkap jabatan sebagai Pengurus Dana Pensiun lain, direksi, atau jabatan eksekutif pada badan usaha lain. |
(4) |
Pengurus dan Dewan Pengawas yang ditunjuk harus memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai terkait bidang yang menjadi tanggung jawabnya. |
(5) |
Pendiri Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (3) wajib menunjuk Dewan Pengawas Syariah atas rekomendasi lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. |
(6) |
Pendiri dapat memberhentikan dan mengubah susunan Dewan Pengawas Syariah. |
(7) |
Pengurus, Dewan Pengawas, dan Dewan Pengawas Syariah wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan kemampuan dan kepatutan serta ketentuan dan persyaratan lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(8) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengurus, Dewan Pengawas, dan Dewan Pengawas Syariah Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 5
Kepesertaan Dana Pensiun
Pasal 145
(1) |
Setiap karyawan pada Pemberi Kerja berhak menjadi Peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja apabila telah memenuhi syarat kepesertaan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(2) |
Dalam hal Dana Pensiun Pemberi Kerja menetapkan adanya iuran Peserta, karyawan berhak untuk tidak menjadi Peserta. |
(3) |
Dalam hal karyawan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memutuskan menjadi Peserta, karyawan harus menyatakan kesediaannya untuk dipotong upah atau gajinya setiap bulan. |
(4) |
Kepesertaan dalam Dana Pensiun Lembaga Keuangan terbuka bagi:
|
(5) |
Pemberi Kerja yang mengikutsertakan sebagian atau seluruh karyawan pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b membuat perjanjian tertulis dengan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. |
Pasal 146
(1) |
Usia Pensiun Normal untuk pertama kali ditetapkan paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun. |
(2) |
Usia Pensiun Normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direviu dan ditetapkan secara berkala paling lama setiap 3 (tiga) tahun sekali dengan mempertimbangkan angka harapan hidup dan kondisi makroekonomi. |
(3) |
Penetapan Usia Pensiun Normal dalam Peraturan Dana Pensiun mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara reviu dan penetapan Usia Pensiun Normal secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Pasal 147
(1) |
Dana Pensiun wajib merahasiakan data pribadi Peserta. |
(2) |
Kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undanga.n |
Paragraf 6
Iuran dan Manfaat Pensiun
Pasal 148
(1) |
Iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun berupa:
|
(2) |
Iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun Pemberi Kerja tidak boleh hanya berupa iuran Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 149
(1) |
Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a wajib ditetapkan dalam laporan aktuaris yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dihitung berdasarkan standar praktik aktuaria Dana Pensiun yang berlaku di Indonesia. |
(3) |
Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti, besaran iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a wajib ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(4) |
Dalam hal terdapat iuran Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b pada Dana Pensiun Pemberi Kerja, besaran iuran Peserta ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 150
(1) |
Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a wajib dibayarkan secara berkala dengan angsuran paling sedikit 1 (satu) kali setiap bulan. |
(2) |
Dalam hal terdapat iuran Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b, berlaku ketentuan:
|
(3) |
Bagi peserta mandiri pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (4) huruf a, iuran Peserta disetorkan langsung kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan berdasarkan perjanjian antara Peserta dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. |
(4) |
Dalam hal Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi Kerja tidak mampu memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan secara berturut-turut, Pengurus wajib memberitahukan hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(5) |
Dalam hal Mitra Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi Kerja tidak mampu memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan secara berturut-turut, Pengurus wajib memberitahukan hal tersebut kepada Pendiri. |
(6) |
Berdasarkan pemberitahuan Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pendiri dapat menetapkan:
|
(7) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran iuran Pemberi Kerja dan iuran Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 151
(1) |
Dalam hal berdasarkan laporan aktuaris yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan diketahui Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti memiliki aset melebihi kewajibannya, kelebihan aset atas kewajiban yang melampaui batas tertentu diperhitungkan sebagai iuran Pemberi Kerja. |
(2) |
Ketentuan mengenai batas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 152
(1) |
Kewajiban Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dihitung dengan menggunakan metode dan asumsi aktuaria yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan. |
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai metode dan asumsi aktuaria yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 153
(1) |
Dalam hal iuran Dana Pensiun Pemberi Kerja terdiri atas iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja, Pemberi Kerja wajib menyetor seluruh iuran kepada Dana Pensiun. |
(2) |
Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, Pemberi Kerja wajib menyetor seluruh iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. |
(3) |
Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja yang belum disetor setelah melewati 1 (satu) bulan sejak jatuh tempo, dinyatakan:
|
(4) |
Bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah, iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja yang belum disetor setelah melewati 1 (satu) bulan sejak jatuh tempo, dinyatakan sebagai utang Pemberi Kerja dan dikenai sanksi (ta’zir) berupa denda yang dihitung sejak hari pertama dari bulan jatuh tempo penyetoran iuran. |
(5) |
Dana yang berasal dari sanksi (ta’zir) berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk dalam aset Dana Pensiun dan hanya dapat digunakan untuk kepentingan sosial. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan imbal hasil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan sanksi (ta’zir) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 154
(1) |
Dana Pensiun harus menjaga kondisi pendanaan agar berada dalam keadaan dana terpenuhi (fully funded). |
(2) |
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti dinyatakan dalam keadaan dana terpenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila aset yang diperhitungkan untuk mendanai seluruh Manfaat Pensiun tidak kurang dari kewajiban atas pembayaran seluruh Manfaat Pensiun kepada Peserta. |
(3) |
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti dinyatakan dalam keadaan dana terpenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila iuran bulanan yang jatuh tempo telah disetorkan. |
(4) |
Dalam hal Dana Pensiun Pemberi Kerja dalam keadaan dana tidak terpenuhi, Pemberi Kerja bertanggung jawab agar Dana Pensiun Pemberi Kerja baik secara langsung maupun bertahap mencapai keadaan dana terpenuhi. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan dana terpenuhi pada Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 155
(1) |
Peserta berhak atas Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun Disabilitas, Manfaat Pensiun Dipercepat, atau Pensiun Ditunda. |
(2) |
Dalam hal Peserta meninggal dunia, baik pada saat sedang mendapatkan Manfaat Pensiun maupun masih aktif bekerja, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada Janda/Duda. |
(3) |
Dalam hal Janda/Duda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, meninggal dunia, atau kawin lagi, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada anak. |
(4) |
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ada, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada pihak yang telah ditunjuk oleh Peserta. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun Disabilitas, Manfaat Pensiun Dipercepat, dan Pensiun Ditunda kepada Janda/Duda, anak, atau pihak yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 156
(1) |
Hak terhadap setiap Manfaat Pensiun yang dibayarkan oleh Dana Pensiun dilarang untuk digunakan sebagai jaminan pinjaman, dialihkan, dan/atau disita. |
(2) |
Penyerahan, pembebanan, pengikatan, pembayaran Manfaat Pensiun sebelum jatuh tempo, atau tindakan menjaminkan Manfaat Pensiun yang diperoleh dari Dana Pensiun akibat dilakukannya larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan batal demi hukum. |
(3) |
Pembayaran Manfaat Pensiun kepada Peserta atau Pihak yang Berhak yang dilakukan oleh Dana Pensiun membebaskan Dana Pensiun dari tanggung jawab atas pembayaran Manfaat Pensiun dimaksud. |
(4) |
Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 157
(1) |
Besarnya hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Manfaat Pasti dihitung berdasarkan rumus yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(2) |
Besarnya hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Iuran Pasti merupakan himpunan:
|
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Manfaat Pasti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Iuran Pasti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 158
(1) |
Peserta yang berhenti bekerja pada Usia Pensiun Normal atau setelahnya berhak atas Manfaat Pensiun Normal. |
(2) |
Peserta yang berhenti bekerja paling cepat 5 (lima) tahun sebelum Usia Pensiun Normal berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat. |
(3) |
Peserta yang berhenti bekerja dan memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga) tahun berhak atas himpunan iuran Peserta yang bersangkutan ditambah hasil pengembangannya. |
(4) |
Nilai hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Peserta yang mengikuti Program Pensiun Manfaat Pasti setiap tahunnya wajib paling sedikit sebesar imbal hasil deposito bank umum milik pemerintah dengan jangka waktu 1 (satu) tahun. |
(5) |
Peserta yang mengikuti Program Pensiun Manfaat Pasti apabila berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan paling singkat 3 (tiga) tahun, tetapi belum berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berhak atas Pensiun Ditunda yang besarnya sama dengan jumlah yang dihitung berdasarkan rumus Manfaat Pensiun bagi kepesertaannya sampai pada saat berhenti bekerja. |
(6) |
Peserta yang mengikuti Program Pensiun Iuran Pasti apabila berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan paling singkat 3 (tiga) tahun, tetapi belum berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berhak atas Pensiun Ditunda yang besarnya sama dengan iurannya sendiri dan iuran Pemberi Kerja beserta hasil pengembangannya. |
Pasal 159
Dalam hal terdapat pengalihan dana awal Pemberi Kerja atau pengalihan dana dari Dana Pensiun lain kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (3) tidak berlaku dan hak Peserta diperhitungkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 157 ayat (2).
Pasal 160
(1) |
Peserta mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (4) huruf a dapat mengalihkan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (2) huruf c kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan lainnya atau Dana Pensiun Pemberi Kerja. |
(2) |
Dalam hal Peserta berhak atas Pensiun Ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (5) dan ayat (6), hak atas Pensiun Ditunda dapat dibayarkan oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan/atau Dana Pensiun Pemberi Kerja yang bersangkutan atau dapat dialihkan kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan lainnya dan/atau Dana Pensiun Pemberi Kerja lainnya, dengan ketentuan yang bersangkutan masih hidup dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berhenti bekerja. |
(3) |
Pemberi Kerja yang menanggung sebagian atau seluruh iuran Program Pensiun bagi karyawannya dapat mengalihkan kepesertaan. karyawannya kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan lain atau Dana Pensiun Pemberi Kerja lain. |
(4) |
Dalam hal Peserta turut menanggung sebagian iuran Program Pensiun, pengalihan kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan dengan terlebih dahulu memperhatikan pendapat dari Peserta. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan hak dan kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 161
(1) |
Dana Pensiun dilarang melakukan pembayaran apa pun, kecuali pembayaran yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(2) |
Pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta, Janda/Duda, atau anak harus dilakukan secara berkala. |
Pasal 162
(1) |
Dana Pensiun dilarang melakukan pembayaran Manfaat Pensiun kepada Peserta yang belum mencapai usia paling rendah 5 (lima) tahun sebelum Usia Pensiun Normal kecuali untuk:
|
(2) |
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, Manfaat Pensiun bagi Peserta atau bagi Janda/Duda harus dibayarkan secara berkala dengan nilai tetap atau meningkat yang pembayarannya dilakukan untuk seumur hidup. |
(3) |
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, Manfaat Pensiun bagi anak dibayarkan secara berkala sampai dengan anak mencapai batas usia tertentu. |
(4) |
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti, Manfaat Pensiun bagi Peserta, Janda/Duda, atau anak dibayarkan secara berkala untuk periode tertentu. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 163
(1) |
Pembayaran Manfaat Pensiun secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (2) dapat dilakukan dengan cara:
|
(2) |
Tata cara pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta atau Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan pengaturan terkait tata cara pembayaran Manfaat Pensiun dalam Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 164
(1) |
Manfaat Pensiun bagi Peserta atau Pihak yang Berhak dapat dibayarkan secara sekaligus dengan ketentuan:
|
(2) |
Peraturan Dana Pensiun dapat memuat ketentuan yang mengatur pilihan pembayaran Manfaat Pensiun pertama kali secara sekaligus paling banyak 20% (dua puluh persen) dari Manfaat Pensiun. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 165
Peserta tidak dapat mengundurkan diri atau menuntut haknya dari Dana Pensiun dalam hal masih memenuhi syarat kepesertaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 166
(1) |
Dana Pensiun wajib melakukan pencatatan tersendiri atas dana yang dikategorikan sebagai dana tidak aktif. |
(2) |
Sampai dengan jangka waktu tertentu, dana tidak aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialihkan kepada balai harta peninggalan. |
(3) |
Dalam jangka waktu tertentu setelah dialihkan kepada balai harta peninggalan, dana tidak aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialihkan kepada Negara. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan tersendiri dana tidak aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalihan dana tidak aktif dan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Paragraf 7
Aset Dana Pensiun dan Pengelolaannya
Pasal 167
(1) |
Aset Dana Pensiun dihimpun dari:
|
(2) |
Aset Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikecualikan dari setiap tuntutan hukum atas aset Pendiri. |
Pasal 168
(1) |
Pengurus Dana Pensiun wajib melakukan pengelolaan aset Dana Pensiun sesuai dengan ketentuan mengenai investasi yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Dengan persetujuan Pendiri dan Dewan Pengawas, pengelolaan aset Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihkan oleh Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja kepada lembaga keuangan yang memenuhi ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) |
Bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah, pengalihan pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan Dewan Pengawas Syariah. |
(4) |
Dalam hal pengelolaan aset Dana Pensiun Pemberi Kerja dialihkan kepada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja wajib bertanggung jawab atas kepatuhan lembaga keuangan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan aset dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(5) |
Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Dana Pensiun menyimpan dan/atau menatausahakan sebagian atau seluruh aset Dana Pensiun pada Bank Kustodian. |
(6) |
Aset Dana Pensiun yang disimpan pada Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat ditarik atau dialihkan atas perintah Pengurus. |
(7) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 169
(1) |
Dana Pensiun Pemberi Kerja dilarang mengembalikan asetnya kepada Pemberi Kerja. |
||||||||
(2) |
Dana Pensiun dilarang:
|
||||||||
(3) |
Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Pensiun Lembaga Keuangan dilarang mengalihkan pengelolaan aset kepada pihak ketiga. |
||||||||
(4) |
Dana Pensiun wajib menerapkan prinsip tata kelola Dana Pensiun yang baik dan manajemen risiko yang efektif dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. |
||||||||
(5) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga berlaku bagi lembaga keuangan yang mengelola aset Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (2). |
||||||||
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian atas larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 170
(1) |
Penyewaan atau jual beli tanah, bangunan, atau harta tetap lainnya milik Dana Pensiun kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf b, hanya dapat dilakukan sepanjang menggunakan harga pasar wajar. |
(2) |
Harga pasar wajar atas:
untuk tanah, bangunan, atau harta tetap lainnya milik Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh penilai independen. |
(3) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf b tidak berlaku bagi investasi Dana Pensiun pada instrumen keuangan yang tercatat atau diperdagangkan di Pasar Modal dan Pasar Uang, dengan memenuhi ketentuan perundang-undangan mengenai arahan investasi atau pengelolaan aset Dana Pensiun. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan harga pasar wajar dalam aktivitas penyewaan tanah, bangunan, atau harta tetap lainnya oleh Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan pengecualian investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 8
Perlakuan/Insentif Perpajakan
Pasal 171
Penyelenggaraan Program Pensiun dan manfaat lain oleh Dana Pensiun dapat diberikan perlakuan/insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Paragraf 9
Pengaturan, Pengawasan, dan Pelaporan Dana Pensiun
Pasal 172
(1) |
Pengaturan dan pengawasan atas Dana Pensiun dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyelenggaraan Program Pensiun, termasuk penyelenggaraan atas manfaat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (4), dan pengelolaan aset Dana Pensiun. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan pengaturan dan pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 173
(1) |
Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
||||||||||||||||||||
(2) |
Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
||||||||||||||||||||
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 174
(1) |
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf e dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu. |
(2) |
Setiap Pendiri, Mitra Pendiri, Pengurus, Dewan Pengawas, Dewan Pengawas Syariah, dan lembaga atau profesi penunjang Dana Pensiun, serta pihak lain terkait dengan kegiatan Dana Pensiun wajib memberikan keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan Dana Pensiun yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) |
Setiap Orang yang pernah menjadi Pengurus, Dewan Pengawas, Dewan Pengawas Syariah, dan lembaga atau profesi penunjang Dana Pensiun, serta pihak lain terkait dengan kegiatan Dana Pensiun, wajib memberikan keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan Dana Pensiun yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Pasal 175
Setiap Orang dilarang:
a. |
membuat atau menyebabkan adanya laporan, informasi, data atau dokumen Dana Pensiun yang tidak benar, palsu, atau menyesatkan; |
b. |
menghilangkan, tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun; dan |
c. |
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun. |
Pasal 176
(1) |
Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf h diberikan dalam hal Otoritas Jasa Keuangan berkesimpulan bahwa Dana Pensiun:
|
(2) |
Dana Pensiun dan/atau pihak tertentu wajib mematuhi perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) |
Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijadikan alasan oleh pihak yang melakukan perjanjian dengan Dana Pensiun untuk membatalkan atau menolak perjanjian, menghindari kewajiban yang ditentukan di dalam perjanjian, atau melakukan hal yang dapat mengakibatkan kerugian bagi Dana Pensiun. |
(4) |
Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak mendapatkan ganti kerugian dari Dana Pensiun dalam hal menderita kerugian yang disebabkan oleh perintah tertulis yang diberikan kepada Dana Pensiun. |
(5) |
Ketentuan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku apabila pihak yang bersangkutan merupakan pihak terafiliasi atau pihak yang terkait dengan keadaan yang menyebabkan dikeluarkannya perintah tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 177
(1) |
Otoritas Jasa Keuangan dapat menonaktifkan anggota Pengurus, anggota Dewan Pengawas, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah, dalam hal:
|
(2) |
Pengelola statuter yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf g mempunyai tugas:
|
(3) |
Pada saat pengelola statuter mulai melakukan pengambilalihan kepengurusan Dana Pensiun:
|
(4) |
Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif dilarang mengundurkan diri selama fungsi kepengurusan diambil alih oleh pengelola statuter. |
(5) |
Otoritas Jasa Keuangan setiap saat dapat memberhentikan pengelola statuter. |
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelola statuter serta hak dan kewajiban Pengurus, Dewan Pengawas dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 178
(1) |
Pengelola statuter dalam melaksanakan tugasnya wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun. |
(2) |
Pengelola statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mematuhi setiap perintah tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan mengenai pengendalian dan pengelolaan kegiatan usaha dari Dana Pensiun. |
(3) |
Pengelola statuter mengambil alih pengendalian dan pengelolaan Dana Pensiun terhitung sejak tanggal penetapan sebagai pengelola statuter. |
(4) |
Pengelola statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari Dana Pensiun. |
(5) |
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengelola statuter juga memiliki kewenangan untuk membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh Dana Pensiun dengan pihak ketiga, yang menurut pengelola statuter dapat merugikan kepentingan Dana Pensiun, Peserta, dan Pihak yang Berhak. |
(6) |
Pengelola statuter bertanggung jawab atas kerugian Dana Pensiun dan/atau pihak ketiga jika kerugian disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau kesengajaannya untuk tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun. |
(7) |
Pengendalian dan pengelolaan Dana Pensiun oleh pengelola statuter berakhir apabila Otoritas Jasa Keuangan memutuskan:
|
(8) |
Pengelola statuter wajib mempertanggungjawabkan segala keputusan dan tindakannya dalam mengendalikan dan mengelola Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 179
Dalam menetapkan pengelola statuter, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf g, Otoritas Jasa Keuangan:
a. |
mempertimbangkan ketersediaan tenaga individu yang akan ditunjuk sebagai pengelola statuter; |
b. |
melakukan penunjukan pengelola statuter melalui uji kelayakan dan kepatutan; dan/atau |
c. |
mempertimbangkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 180
Dalam hal terjadi kerugian yang tidak disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau kesengajaan pengelola statuter untuk tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (6), Pendiri wajib bertanggung jawab atas hak keuangan Peserta.
Pasal 181
(1) |
Dana Pensiun wajib menyampaikan laporan berkala mengenai kegiatannya kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti wajib memiliki laporan aktuaris dan menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun atau sewaktu waktu dalam hal dilakukan perubahan terhadap Peraturan Dana Pensiun yang mengakibatkan perubahan dalam pendanaan dan Manfaat Pensiun. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyampaian laporan berkala dan laporan aktuaris oleh Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 182
(1) |
Dana Pensiun wajib mengumumkan kondisi keuangan dan perhitungan hasil usaha secara transparan kepada Peserta. |
(2) |
Dana Pensiun wajib menyampaikan keterangan kepada Peserta mengenai hal yang timbul terkait kepesertaannya. |
(3) |
Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat informasi mengenai jumlah dana yang telah terkumpul dan/atau proyeksi besaran manfaat yang akan diterima. |
(4) |
Dana Pensiun wajib menyampaikan informasi setiap perubahan Peraturan Dana Pensiun secara transparan kepada Peserta. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman kondisi keuangan dan perhitungan hasil usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyampaian keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 183
(1) |
Pembubaran Dana Pensiun terjadi dalam hal:
|
||||||
(2) |
Dalam rangka pembubaran Dana Pensiun, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan:
|
||||||
(3) |
Dalam hal pembubaran Dana Pensiun terjadi karena kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Otoritas Jasa Keuangan menunjuk dan menetapkan likuidator. |
||||||
(4) |
Pengurus, likuidator Pendiri, dan/atau pihak lain dapat ditunjuk sebagai likuidator. |
||||||
(5) |
Dewan Pengawas tidak dapat ditunjuk sebagai likuidator. |
||||||
(6) |
Biaya yang timbul dalam rangka pembubaran Dana Pensiun dibebankan pada Dana Pensiun, Pendiri, dan/atau Mitra Pendiri. |
||||||
(7) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembubaran Dana Pensiun dan penunjukan likuidator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 184
(1) |
Sebelum proses likuidasi Dana Pensiun selesai, Pemberi Kerja tetap bertanggung jawab atas iuran yang terutang sampai pada saat Dana Pensiun dibubarkan sesuai dengan ketentuan mengenai pendanaan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Dalam hal iuran yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilunasi oleh Pemberi Kerja kepada Dana Pensiun sampai dengan jangka waktu tertentu, iuran yang terutang dimaksud dialihkan hak tagihnya dari hak tagih Dana Pensiun menjadi hak tagih Peserta kepada Pemberi Kerja. |
(3) |
Pada saat proses likuidasi, Dana Pensiun dilarang mengembalikan aset Dana Pensiun kepada Pemberi Kerja. |
(4) |
Setiap kelebihan kekayaan atas kewajiban pada saat pembubaran harus dipergunakan untuk meningkatkan Manfaat Pensiun bagi Peserta sampai jumlah maksimum yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(5) |
Dalam hal masih terdapat kelebihan dana sesudah peningkatan manfaat sampai jumlah maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sisa dana tersebut harus dibagikan kepada Peserta dan Pihak yang Berhak atas Manfaat Pensiun. |
(6) |
Dalam pembagian aset Dana Pensiun yang dilikuidasi, hak Peserta dan/atau Pihak yang Berhak mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lain kecuali dalam hal kewajiban kepada negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) |
Pendiri dan/atau pemegang saham dari Pendiri wajib bertanggungjawab terhadap pelaksanaan penyelesaian proses likuidasi Dana Pensiun yang dilaksanakan oleh likuidator. |
(8) |
Dewan Pengawas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyelesaian proses likuidasi Dana Pensiun yang dilaksanakan oleh likuidator. |
(9) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai proses likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 185
(1) |
Likuidator wajib melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian likuidasi Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Likuidator wajib mengumumkan hasil penyelesaian likuidasi Dana Pensiun yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam Berita Negara Republik Indonesia. |
(3) |
Status badan hukum Dana Pensiun berakhir terhitung sejak tanggal pengumuman hasil penyelesaian likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan pelaksanaan dan penyelesaian likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengumuman hasil penyelesaian likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 10
Asosiasi Dana Pensiun
Pasal 186
(1) |
Setiap Dana Pensiun wajib menjadi anggota salah satu asosiasi Dana Pensiun yang sesuai dengan ruang lingkup usahanya. |
(2) |
Asosiasi Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Ketiga
Program Jaminan Hari Tua Sistem Jaminan Sosial Nasional
Pasal 187
Dalam rangka peningkatan perlindungan hari tua, serta pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan sistem jaminan sosial nasional, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841).
Pasal 188
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||
|
|
||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
Bagian Keempat
Program Pensiun
Paragraf 1
Harmonisasi Program Pensiun
Pasal 189
(1) |
Pemerintah mengharmonisasikan seluruh Program Pensiun sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum. |
(2) |
Harmonisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pengaturan Program Pensiun yang bersifat wajib. |
(3) |
Program Pensiun yang bersifat wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup program jaminan hari tua dan program jaminan pensiun yang merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional. |
(4) |
Selain program jaminan hari tua dan jaminan pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat melaksanakan Program Pensiun tambahan yang bersifat wajib yang diselenggarakan secara kompetitif bagi pekerja dengan penghasilan tertentu dalam rangka mengharmonisasikan seluruh Program Pensiun sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(5) |
Dalam rangka harmonisasi Program Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan koordinasi antara kementerian/lembaga dan otoritas terkait. |
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai harmonisasi seluruh Program Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. |
Paragraf 2
Pengelolaan Aset dan Liabilitas Program Pensiun
Pasal 190
(1) |
Pengelola Program Pensiun merupakan profesional yang wajib memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai. |
(2) |
Aset dan liabilitas Program Pensiun wajib dikelola dengan menerapkan prinsip tata kelola yang baik dengan minimal menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi, dan kewajaran. |
(3) |
Pengelolaan aset dan liabilitas Program Pensiun bertujuan untuk memberikan manfaat yang optimal bagi pemangku kepentingan khususnya Peserta dan/atau Pihak yang Berhak memperoleh Manfaat Pensiun. |
(4) |
Setiap keputusan dan tindakan terkait pengembangan aset yang dilakukan oleh pengelola Program Pensiun wajib didasarkan pada analisis pengembangan aset yang objektif, independen, dan rasional. |
(5) |
Analisis pengembangan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib didokumentasikan dan tertuang dalam kertas kerja analisis yang memadai. |
(6) |
Pengelola Program Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti wajib memberikan penjelasan kepada Peserta dan/atau Pemberi Kerja mengenai pilihan alokasi aset secara lengkap dan transparan. |
(7) |
Peserta dan/atau Pemberi Kerja berhak menentukan pilihan alokasi aset pada Program Pensiun Iuran Pasti sebagaimana dimaksud pada ayat (6). |
(8) |
Pengelola Program Pensiun wajib menyampaikan pengukuran kinerja atas pengelolaan aset Program Pensiun kepada Peserta dengan ketentuan minimal:
|
(9) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan aset dan liabilitas Program Pensiun bagi Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(10) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan aset dan liabilitas Program Pensiun bagi pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Pasal 191
(1) |
Untuk memberikan kemungkinan imbal hasil yang lebih optimal dan mencegah kerugian yang lebih besar, anggota direksi atau yang setara pada pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara dapat melakukan cut loss atas aset yang dikelola dengan ketentuan:
|
(2) |
Kerugian atas aset investasi yang dilakukan cut loss sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan kerugian negara atau kerugian lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
Tindakan cut loss yang dilakukan oleh pengelola Program Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipermasalahkan secara hukum. |
(4) |
Dalam hal terdapat penurunan nilai aset yang dikelola, anggota direksi atau yang setara pada pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian dari penurunan nilai aset dimaksud dengan ketentuan:
|
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai cut loss dan penurunan nilai aset yang dikelola oleh pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Paragraf 3
Pembentukan Unit Aktuaria
Pasal 192
(1) |
Otoritas Jasa Keuangan dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan membentuk unit aktuaria yang mendukung tugas dan fungsi yang memerlukan analisis aktuaria paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(2) |
Unit aktuaria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi untuk melakukan analisis aktuaria minimal mengenai:
|
(3) |
Pembentukan unit aktuaria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada:
|
Bagian Kelima
Sanksi Administratif Terkait Dana Pensiun
Pasal 193
(1) |
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (6) huruf a dan huruf b, Pasal 139 ayat (6), Pasal 142 ayat (5), Pasal 143 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 144 ayat (3), ayat (5), dan ayat (7), Pasal 147 ayat (1), Pasal 149 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 150 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 153 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), Pasal 158 ayat (4), Pasal 160 ayat (4), Pasal 166 ayat (1), Pasal 168 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 169 ayat (1), ayat (21 huruf c dan huruf d, ayat (3), dan ayat (4), Pasal 174 ayat (21 dan ayat (3), Pasal 176 ayat (2), Pasal 177 ayat (3) huruf b dan ayat (4), Pasal 178 ayat (1), ayat (2), dan ayat (8), Pasal 180, Pasal 181 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 182 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 184 ayat (3), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 186 ayat (1), serta Pasal 190 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (8). |
(2) |
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(3) |
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf d, dan huruf f tidak berlaku terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 190 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) oleh penyelenggara Program Pensiun selain Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. |
(4) |
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai kondisi Dana Pensiun membahayakan kepentingan Peserta dan/atau Pihak yang Berhak, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi pembubaran Dana Pensiun tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain. |
(5) |
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. |
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk sanksi administratif, besaran denda administratif, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Keenam
Ketentuan Pidana Terkait Dana Pensiun
Pasal 194
Setiap Orang yang menjalankan Program Pensiun, tidak memperoleh pengesahan sebagai Dana Pensiun dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 195 Anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun yang dengan sengaja melakukan pembayaran selain yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 195
Anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun yang dengan sengaja melakukan pembayaran selain yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 196
Anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun yang dengan sengaja meminjamkan atau mengagunkan aset Dana Pensiun kepada pihak manapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 197
Anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun yang dengan sengaja menginvestasikan aset Dana Pensiun baik secara langsung maupun tidak langsung, pada surat berharga yang diterbitkan, atau pada tanah dan/atau bangunan yang dimiliki atau yang dipergunakan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf b dan dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 170 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Pasal 198
Setiap Orang yang dengan sengaja:
a. |
membuat atau menyebabkan adanya laporan, informasi, data atau dokumen Dana Pensiun yang tidak benar, palsu, atau menyesatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 huruf a; |
b. |
menghilangkan, tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 huruf b; dan/atau |
c. |
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 huruf c, |
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Pasal 199
Dalam hal anggota direksi atau yang setara pada pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara melakukan cut loss tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan/atau menyebabkan penurunan nilai aset tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (4) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 200
(1) |
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 dan Pasal 199 dilakukan oleh badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, asosiasi, atau kelompok terorganisasi, tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap:
|
(2) |
Terhadap badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, asosiasi, atau kelompok terorganisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). |
(3) |
Terhadap orang perseorangan yang memberi perintah untuk melakukan dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). |
BAB XIII
KOPERASI DI SEKTOR JASA KEUANGAN
Pasal 201
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, Undang-Undang ini mengubah dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841).
Pasal 202
Di antara Pasal 44A dan Pasal 45 dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 44B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44B
(1) |
Koperasi dapat melaksanakan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) |
Koperasi yang melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
(3) |
Perizinan, pengaturan, dan pengawasan Koperasi yang berkegiatan di dalam sektor jasa keuangan dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan Undang-Undang. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, pengaturan, dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
BAB XIV
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
Pasal 203
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan lembaga keuangan mikro, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394).
Pasal 204
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
4. |
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
5. |
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
6. |
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
7. |
Judul Bab X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB X |
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
8. |
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
9. |
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
10. |
Di antara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 30A, Pasal 30B, dan Pasal 30C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30A
Pasal 30B
Pasal 30C
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
12. |
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
13. |
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
14. |
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
15. |
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
16. |
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
18. |
Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 38A dan Pasal 38B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38A
Pasal 38B
|
BAB XV
KONGLOMERASI KEUANGAN
Pasal 205
(1) |
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan LJK yang signifikan dan berada dalam 1 (satu) grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian sebagai Konglomerasi Keuangan. |
(2) |
Selain dengan mempertimbangkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan LJK sebagai 1 (satu) Konglomerasi Keuangan tersendiri dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan. |
(3) |
Dalam hal perusahaan induk dari suatu konglomerasi bukan merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan, tetapi memiliki anak perusahaan yang merupakan LJK, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan LJK yang signifikan berada dalam 1 (satu) grup atau kelompok dimaksud sebagai Konglomerasi Keuangan. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 206
(1) |
Setiap Orang yang mengendalikan Konglomerasi Keuangan wajib membentuk PIKK. |
(2) |
PIKK dimiliki oleh PSP/PSPT Konglomerasi Keuangan. |
(3) |
Pihak yang mengendalikan Konglomerasi Keuangan dapat menunjuk perusahaan yang bertindak sebagai PIKK dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. |
(4) |
PIKK bertanggung jawab untuk seluruh aktivitas Konglomerasi Keuangan. |
(5) |
PIKK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan untuk Konglomerasi Keuangan dengan kriteria tertentu. |
(6) |
PIKK diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(7) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan PIKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Konglomerasi Keuangan dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 207
(1) |
Kegiatan usaha PIKK meliputi:
|
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha PIKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 208
(1) |
Dalam melaksanakan kegiatan usaha, PIKK wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian. |
(2) |
Ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 209
(1) |
Direksi dan dewan komisaris PIKK wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 210
(1) |
Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk meminta data dan informasi termasuk melakukan pemeriksaan terhadap pihak terelasi dalam Konglomerasi Keuangan dan/atau pihak lain yang terkait dengan Konglomerasi Keuangan. |
(2) |
Pihak terelasi dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi permintaan data dan informasi serta hal lain yang diperlukan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 211
Pembentukan PIKK, termasuk juga proses pengalihan aset dalam pembentukan PIKK, dapat diberikan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.
Pasal 212
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 sampai dengan Pasal 211, Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan/atau kementerian/lembaga terkait.
BAB XVI
INOVASI TEKNOLOGI SEKTOR KEUANGAN
Pasal 213
Ruang lingkup ITSK meliputi:
a. |
sistem pembayaran; |
b. |
penyelesaian transaksi surat berharga; |
c. |
penghimpunan modal; |
d. |
pengelolaan investasi; |
e. |
pengelolaan risiko; |
f. |
penghimpunan dan/atau penyaluran dana; |
g. |
pendukung pasar; |
h. |
aktivitas terkait aset keuangan digital, termasuk aset kripto; dan |
i. |
aktivitas jasa keuangan digital lainnya. |
Pasal 214
(1) |
ITSK dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan ekonomi dan keuangan termasuk yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. |
(2) |
Kegiatan ekonomi dan keuangan yang menggunakan ITSK berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti Prinsip Syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. |
Pasal 215
(1) |
Pihak yang menyelenggarakan ITSK terdiri atas:
|
(2) |
Penyelenggara ITSK berbentuk:
|
(3) |
Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerapkan prinsip:
|
Pasal 216
(1) |
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sesuai dengan ruang lingkup kewenangan masing-masing. |
(2) |
Pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip:
|
(3) |
Ruang lingkup pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
|
Pasal 217
(1) |
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dapat berkoordinasi dalam rangka pengaturan, pengawasan, dan penyelenggaraan ITSK. |
(2) |
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
|
(3) |
Dalam rangka pengaturan, pengawasan, dan pengembangan ITSK, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dapat berkoordinasi dengan kementerian, lembaga, dan pihak lain. |
(4) |
Mekanisme dan tata cara penyelenggaraan ruang uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) ITSK diatur oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Pasal 218
Penyelenggara ITSK wajib memenuhi ketentuan perizinan yang diatur oleh Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pasal 219
(1) |
Otoritas berwenang melakukan evaluasi dan/atau tindak lanjut hasil uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) terhadap penyelenggara ITSK. |
(2) |
Terhadap suatu produk, aktivitas, layanan, atau model bisnis dari penyelenggara ITSK yang telah lulus proses uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) dan mendapatkan perizinan dari otoritas sektor keuangan terkait, pengaturan, pengawasan, dan pengenaan sanksi tunduk pada ketentuan industri yang bersangkutan. |
Pasal 220
(1) |
Setiap penyelenggara ITSK wajib memenuhi ketentuan kepesertaan dalam asosiasi penyelenggara ITSK yang disetujui dan diatur oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(2) |
Dalam menjalankan pengaturan bagi anggotanya, asosiasi penyelenggara ITSK harus mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(3) |
Asosiasi penyelenggara ITSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan pembinaan dan pemantauan terhadap setiap penyelenggara ITSK yang terdaftar sebagai anggota asosiasi sejalan dengan fungsi dan tugas yang diamanatkan oleh otoritas sektor keuangan. |
(4) |
Pengaturan terkait koordinasi antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dengan asosiasi penyelenggara ITSK diatur oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Pasal 221
(1) |
Penyelenggara ITSK wajib menyampaikan data, informasi, dan/atau laporan berkala atau sewaktu-waktu kepada Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan fungsi dan/atau kewenangan masing-masing. |
(2) |
Terhadap data, informasi, dan/atau laporan berkala atau sewaktu-waktu yang diterima, Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemrosesan, pertukaran, dan diseminasi, melalui sistem informasi digital dan/atau mekanisme lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data, informasi, dan/atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
BAB XVII
PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN
Bagian Kesatu
Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Pelaku Usaha Sektor Keuangan,
Emiten, dan Perusahaan Publik
Pasal 222
(1) |
PUSK, emiten, dan perusahaan publik menerapkan Keuangan Berkelanjutan dalam kegiatan usahanya. |
(2) |
PUSK, emiten, dan perusahaan publik dalam rangka menerapkan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan:
|
(3) |
PUSK, emiten, dan perusahaan publik harus membangun kapasitas dalam rangka menerapkan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) |
PUSK, emiten, dan perusahaan publik menyusun laporan keberlanjutan sebagai bagian dari akuntabilitas kinerja penerapan Keuangan Berkelanjutan. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur oleh otoritas sektor keuangan dan Menteri sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. |
Bagian Kedua
Kebijakan, Dukungan, dan Mekanisme Koordinasi
Pengembangan Keuangan Berkelanjutan
Pasal 223
(1) |
Dalam rangka pengembangan Keuangan Berkelanjutan, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia melakukan:
|
(2) |
Ketentuan mengenai taksonomi berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Pasal 224
(1) |
Untuk mendukung pengembangan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223 ayat (1), Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia membentuk komite Keuangan Berkelanjutan. |
(2) |
Menteri bertindak sebagai koordinator dalam komite Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai komite Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
BAB XVIII
LITERASI KEUANGAN, INKLUSI KEUANGAN, DAN PELINDUNGAN KONSUMEN
Bagian Kesatu
Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan
Pasal 225
(1) |
Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi untuk meningkatkan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi inklusif. |
(2) |
Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan bersinergi melakukan penyusunan strategi, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan strategi Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan yang berkelanjutan. |
Pasal 226
(1) |
PUSK wajib melaksanakan kegiatan dalam rangka meningkatkan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan kepada Konsumen dan masyarakat. |
(2) |
Dalam rangka peningkatan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan, Pemerintah membentuk komite nasional yang mengoordinasikan peningkatan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan dalam rangka peningkatan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan serta komite nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Kedua
Prinsip dan Tujuan Pelindungan Konsumen
Pasal 227
PUSK dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip Pelindungan Konsumen.
Pasal 228
Pelindungan Konsumen di sektor keuangan menerapkan prinsip:
a. |
edukasi yang memadai; |
b. |
keterbukaan dan transparansi informasi produk dan/atau layanan; |
c. |
perlakuan yang adil dan perilaku bisnis yang bertanggung jawab; |
d. |
pelindungan aset, privasi, dan data Konsumen; |
e. |
penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien; |
f. |
penegakan kepatuhan; dan |
g. |
persaingan yang sehat. |
Pasal 229
Pelindungan Konsumen di sektor keuangan diselenggarakan dengan tujuan:
a. |
menciptakan ekosistem Pelindungan Konsumen yang mewujudkan kepastian hukum serta penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien; |
b. |
menumbuhkan kesadaran PUSK mengenai perilaku bisnis yang bertanggung jawab, perlakuan yang adil; memberikan pelindungan aset, privasi, dan data Konsumen; serta meningkatkan kualitas produk dan/atau layanan PUSK; dan |
c. |
meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian Konsumen mengenai produk dan/atau layanan PUSK serta meningkatkan pemberdayaan Konsumen. |
Bagian Ketiga
Cakupan Pelindungan Konsumen di Sektor Keuangan
Pasal 230
PUSK merupakan pihak yang menyelenggarakan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan yang menyelenggarakan usaha baik di luar jaringan maupun dalam jaringan.
Pasal 231
Objek dalam penyelenggaraan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan meliputi perilaku PUSK dalam:
a. |
melakukan perancangan, menyusun dan menyampaikan informasi, dan melakukan penawaran atas produk dan/atau layanan di sektor keuangan; |
b. |
membuat perjanjian dan memberikan pelayanan atas penggunaan produk dan/atau layanan di sektor keuangan; dan |
c. |
melakukan penanganan pengaduan. |
Pasal 232
Ruang lingkup pengaturan Pelindungan Konsumen sektor keuangan meliputi:
a. |
wewenang pengaturan dan pengawasan dalam rangka Pelindungan Konsumen di sektor keuangan; |
b. |
hak dan kewajiban Konsumen serta hak, kewajiban, dan larangan bagi PUSK; |
c. |
ketentuan Perjanjian Baku; |
d. |
pelindungan data Konsumen; |
e. |
Literasi Keuangan; |
f. |
pembinaan dan pengawasan; |
g. |
penanganan pengaduan; |
h. |
penyelesaian sengketa sektor keuangan; |
i. |
LAPS-SK; |
j. |
sanksi administratif; dan |
k. |
ketentuan pidana. |
Bagian Keempat
Wewenang Pengaturan dan Pengawasan dalam rangka Pelindungan Konsumen
di Sektor Keuangan
Pasal 233
(1) |
Otoritas sektor keuangan berwenang melakukan pengaturan dalam rangka Pelindungan Konsumen dan masyarakat di sektor keuangan. |
(2) |
Otoritas sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengatur mengenai:
|
(3) |
Pelindungan Konsumen di sektor keuangan tunduk pada Undang-Undang ini. |
Pasal 234
(1) |
Otoritas sektor keuangan melakukan Pengawasan Perilaku Pasar (Market Conduct) untuk memastikan kepatuhan PUSK dalam menerapkan ketentuan Pelindungan Konsumen dan masyarakat secara langsung dan/atau tidak langsung sesuai dengan fungsi, tugas, dan wewenang otoritas sektor keuangan yang diberikan berdasarkan Undang-Undang. |
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha Sektor Keuangan
Pasal 235
(1) |
Dalam penyelenggaraan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan, Konsumen memiliki hak dan kewajiban. |
(2) |
Hak Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) |
Kewajiban Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Pasal 236
(1) |
Dalam penyelenggaraan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan, PUSK memiliki hak, kewajiban, dan larangan yang harus dipatuhi. |
(2) |
Hak PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) |
Kewajiban PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(4) |
PUSK dilarang:
|
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak, kewajiban, dan larangan PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Pasal 237
Setiap Orang dilarang melakukan:
a. |
penghimpunan dana dari masyarakat dan/atau untuk disalurkan kepada masyarakat; |
b. |
penerbitan surat berharga yang ditawarkan kepada masyarakat; |
c. |
penyediaan produk atau jasa sistem pembayaran; dan |
d. |
kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan penghimpunan dana, penyaluran dana, pengelolaan dana, keperantaraan di sektor keuangan, dan penyediaan produk atau jasa sistem pembayaran, |
selain yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan diwajibkan memiliki izin dari otoritas sektor keuangan.
Bagian Keenam
Ketentuan Perjanjian Baku
Pasal 238
(1) |
PUSK memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen. |
(2) |
Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk perjanjian tertulis. |
(3) |
Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk Perjanjian Baku yang memuat klausul baku, kecuali yang dilarang berdasarkan Undang-Undang ini. |
(4) |
PUSK dilarang membuat dan menggunakan Perjanjian Baku yang memuat klausul baku yang berisi:
|
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perjanjian Baku sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Bagian Ketujuh
Pelindungan Data Konsumen
Pasal 239
(1) |
PUSK wajib menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi Konsumen. |
(2) |
Kewajiban PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menerapkan prinsip dasar pemrosesan pelindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan data pribadi. |
(3) |
Dalam hal PUSK bekerja sama dengan pihak lain untuk mengelola data dan/atau informasi Konsumen, PUSK wajib memastikan pihak lain tersebut menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Pasal 240
(1) |
Dalam penggunaan data dan/atau informasi Konsumen, PUSK dapat melakukan pertukaran data dan/atau informasi Konsumen dengan pihak lain dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan data pribadi dan peraturan perundang-undangan lain yang ditetapkan oleh otoritas sektor keuangan. |
(2) |
Pertukaran data dan/atau informasi Konsumen di sektor keuangan dapat dilakukan langsung oleh PUSK dan/atau melalui infrastruktur pengelolaan data secara terintegrasi yang difasilitasi oleh otoritas sektor keuangan. |
(3) |
Pertukaran data dan/atau informasi Konsumen di sektor keuangan dapat dilakukan dalam hal:
|
Pasal 241
(1) |
PUSK dapat melakukan transfer data dan/atau informasi Konsumen kepada pihak lain di luar wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan data pribadi dan peraturan perundang-undangan lain yang ditetapkan oleh otoritas sektor keuangan. |
(2) |
Penyelenggaraan transfer data dan/atau informasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan data pribadi. |
Pasal 242
Dalam pelaksanaan kegiatan usahanya, PUSK wajib memastikan keamanan sistem informasi dan ketahanan siber sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keamanan sistem informasi dan ketahanan siber, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang ditetapkan oleh otoritas sektor keuangan.
Pasal 243
Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dalam rangka Pelindungan Konsumen di sektor keuangan.
Pasal 244
(1) |
Dalam rangka Pelindungan Konsumen, otoritas sektor keuangan berwenang memberikan perintah atau melakukan tindakan tertentu kepada PUSK. |
(2) |
Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan otoritas sektor keuangan. |
Pasal 245
(1) |
PUSK wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan yang disampaikan oleh Konsumen. |
(2) |
Dalam hal tidak terdapat kesepakatan terhadap hasil penanganan pengaduan yang dilakukan oleh PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsumen dapat:
|
(3) |
Dalam melakukan kegiatan Pelindungan Konsumen, otoritas sektor keuangan melakukan penanganan pengaduan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(4) |
Dalam hal terdapat gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum, pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan merupakan tanggung jawab PUSK. |
(5) |
Otoritas sektor keuangan dapat mewajibkan PUSK untuk menjadi anggota badan atau lembaga penyelesaian sengketa. |
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Pasal 246
(1) |
LAPS-SK wajib mendapat persetujuan dari otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dan syarat-syarat LAPS-SK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Pasal 247
(1) |
Untuk melindungi kepentingan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan bersama otoritas/kementerian/lembaga terkait membentuk satuan tugas untuk penanganan kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan. |
(2) |
Satuan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas mencegah dan menangani kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan. |
(3) |
Pembentukan satuan tugas serta kelembagaan dan tata kelola satuan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan otoritas/kementerian/lembaga anggota satuan tugas. |
(4) |
Tindak lanjut pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh otoritas/kementerian/lembaga terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Pasal 248
Peraturan perundang-undangan mengenai Pelindungan Konsumen di sektor keuangan bersifat khusus terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pelindungan Konsumen di luar sektor keuangan.
BAB XIX
AKSES PEMBIAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
Pasal 249
(1) |
Dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi nasional melalui pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, perlu dilakukan kemudahan akses pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
(2) |
Kemudahan akses pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh seluruh Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan akses Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing setelah dikonsultasikan dengan DPR. |
Pasal 250
(1) |
Dalam hal terjadi piutang macet, perlu adanya kepastian hukum dalam rangka penanganan piutang macet pada Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
(2) |
Piutang macet pada Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
(3) |
Penghapusbukuan piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara dengan ketentuan sebagai berikut:
|
Pasal 251
(1) |
Kerugian yang dialami oleh Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara dalam melaksanakan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang merupakan kerugian Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara yang bersangkutan. |
(2) |
Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan kerugian keuangan negara sepanjang dapat dibuktikan tindakan dilakukan berdasarkan iktikad baik, ketentuan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar, dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. |
(3) |
Direksi dalam melakukan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang terjadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
BAB XX
SUMBER DAYA MANUSIA
Bagian Kesatu
Penguatan Kualitas Sumber Daya Manusia pada Sektor Keuangan
Pasal 252
(1) |
PUSK bertanggung jawab melakukan pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kompetensi dan keahlian sumber daya manusia. |
(2) |
Peningkatan kompetensi dan keahlian sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia secara berkesinambungan. |
(3) |
Untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia, PUSK wajib menyediakan dana pendidikan dan pelatihan dari anggaran tahun berjalan. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyediaan dana pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. |
Pasal 253
(1) |
PUSK harus menerapkan standar kompetensi. |
(2) |
Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada standar kompetensi yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang yang telah mendapatkan persetujuan atau pengakuan dari otoritas sektor keuangan terkait. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh otoritas sektor keuangan. |
Bagian Kedua
Profesi Sektor Keuangan
Paragraf 1
Pengelolaan Profesi Sektor Keuangan
Pasal 254
Profesi Sektor Keuangan terdiri atas:
a. |
Profesi Penunjang Sektor Keuangan; dan |
b. |
Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan. |
Pasal 255
Dalam melakukan kegiatan usaha di industri sektor keuangan, Pelaku Profesi Sektor Keuangan wajib memberikan jasa yang profesional.
Pasal 256
(1) |
Setiap Profesi Sektor Keuangan harus memiliki Asosiasi Profesi. |
(2) |
Setiap Pelaku Profesi Sektor Keuangan harus menjadi anggota Asosiasi Profesi. |
Pasal 257
(1) |
Asosiasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 harus mendapat pengakuan dari kementerian atau otoritas terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) |
Asosiasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
yang dilaporkan kepada kementerian dan/atau otoritas terkait. |
Pasal 258
Setiap Pelaku Profesi Sektor Keuangan wajib menaati kode etik yang ditetapkan oleh Asosiasi Profesi masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya.
Paragraf 2
Profesi Penunjang Sektor Keuangan
Pasal 259
(1) |
Profesi Penunjang Sektor Keuangan terdiri atas:
|
||||||||
(2) |
Dalam melakukan kegiatan usaha di industri sektor keuangan, Profesi Penunjang Sektor Keuangan wajib memberikan jasa yang independen. |
||||||||
(3) |
Pembinaan dan pengawasan Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
|
||||||||
(4) |
Kementerian, lembaga, atau otoritas lain dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Profesi Penunjang Sektor Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan berkoordinasi dengan kementerian, lembaga, atau otoritas sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
||||||||
(5) |
Untuk dapat menyediakan jasa bagi industri sektor keuangan, Profesi Penunjang Sektor Keuangan wajib:
|
||||||||
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pembinaan dan pengawasan Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a diatur dalam peraturan menteri, lembaga, atau otoritas terkait. |
||||||||
(7) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. |
Paragraf 3
Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan
Pasal 260
(1) |
Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan terdiri atas:
|
(2) |
Pembinaan dan pengawasan Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan dilakukan oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. |
(3) |
Untuk dapat menyediakan Jasa bagi industri sektor keuangan, Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin dan/atau terdaftar di:
|
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan dan/atau pendaftaran Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. |
Paragraf 4
Sertifikasi Profesi Sektor Keuangan
Pasal 261
(1) |
Pelaku Profesi Sektor Keuangan wajib memiliki sertifikat profesi sesuai bidang pekerjaan masing-masing. |
(2) |
Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh:
|
(3) |
Untuk dapat menerbitkan sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Sertifikasi Profesi wajib mendapatkan lisensi terlebih dahulu dari badan atau lembaga yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) |
Untuk mendapatkan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lembaga Sertifikasi Profesi minimal harus mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu dari kementerian, lembaga, atau otoritas pada sektor keuangan terkait bidang pekerjaan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) |
Kementerian, lembaga, atau otoritas sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengadministrasikan Lembaga Sertifikasi Profesi dan/atau Asosiasi Profesi yang menerbitkan sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. |
Pasal 262
Dalam hal PUSK menggunakan jasa Pelaku Profesi Sektor Keuangan, PUSK wajib menggunakan jasa Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang telah memperoleh izin dan/atau persetujuan pendaftaran dari kementerian atau otoritas yang berwenang.
Paragraf 5
Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Profesi Sektor Keuangan Dalam Negeri
Pasal 263
Pemerintah dan/atau otoritas sektor keuangan mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas Profesi Sektor Keuangan dalam negeri guna menciptakan industri sektor keuangan yang kredibel.
Pasal 264
Pemerintah dan/atau otoritas sektor keuangan dapat bekerja sama dengan Asosiasi Profesi, Lembaga Sertifikasi Profesi, lembaga pendidikan tinggi, dan/atau lembaga pendidikan lainnya yang setara untuk mendorong pendidikan dan pelatihan Profesi Sektor Keuangan.
Paragraf 6
Pemantauan dan Evaluasi Penguatan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Sektor Keuangan
Pasal 265
(1) |
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sumber daya manusia sektor keuangan, disusun peta jalan. |
(2) |
Peta jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan pemantauan dan evaluasi kebijakan sumber daya manusia sektor keuangan. |
(3) |
Ketentuan mengenai penetapan peta jalan dan tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Ketiga
Penerapan Tata Kelola yang Baik pada Sektor Keuangan
Pasal 266
(1) |
PUSK wajib menerapkan prinsip tata kelola yang baik yang minimal mencakup:
|
(2) |
Selain penerapan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PUSK harus mengikuti perkembangan dinamika industri dalam rangka penerapan tata kelola yang baik. |
Pasal 267
PUSK wajib menerapkan manajemen risiko yang efektif.
Pasal 268
PUSK wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola yang baik dan penerapan manajemen risiko secara berkala kepada otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
Pasal 269
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266, penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267, dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
Pasal 270
(1) |
Dalam rangka memastikan agar industri sektor keuangan dijalankan secara profesional, efektif, efisien, dan berkinerja optimal, otoritas sektor keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penerapan tata kelola yang baik. |
(2) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. |
Bagian Keempat
Pelaporan Keuangan
Pasal 271
(1) |
PUSK dan pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan harus menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) |
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun berdasarkan standar laporan keuangan. |
(3) |
Standar laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh komite standar laporan keuangan yang independen dengan tata kelola yang baik. |
(4) |
Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan dapat melengkapi pengaturan ketentuan akuntansi dalam rangka keterbukaan dan pelindungan investor publik. |
(5) |
Komite standar laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang menyusun dan menetapkan standar laporan keuangan. |
(6) |
Komite standar laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. |
(7) |
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diaudit oleh akuntan publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 272
(1) |
Dalam rangka penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1), Pemerintah dapat membentuk atau menunjuk platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window). |
(2) |
Penyampaian laporan keuangan melalui platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewenangan kementerian, lembaga, atau otoritas terkait untuk meminta laporan keuangan secara langsung kepada entitas pelapor sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
PUSK dan pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan bertanggung jawab atas laporan keuangan yang disampaikan, termasuk yang disampaikan melalui platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window). |
Pasal 273
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyusunan dan penyampaian laporan keuangan, standar laporan keuangan, dan komite standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 dan platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XXI
STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Pasal 274
Ruang lingkup pengaturan Stabilitas Sistem Keuangan dalam bab ini meliputi:
a. |
koordinasi kebijakan makroprudensial, mikroprudensial, dan penanganan permasalahan Bank; |
b. |
pengawasan Bank dan tindak lanjut; dan |
c. |
penanganan permasalahan Bank. |
Pasal 275
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan Stabilitas Sistem Keuangan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872).
Pasal 276
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872) diubah sebagai berikut:
1. |
Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 dalam Bagian Kesatu Bab III disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 15A dan Pasal 158B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15A
Pasal 15B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. |
Di antara Bagian Kesatu dan Bagian Kedua Bab III disisipkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Kedua sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kedua |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. |
Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 16C, Pasal 16D, dan Pasal 16E sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16A
Pasal 16B
Pasal 16C
Pasal 16D
Pasal 16E
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. |
Ketentuan Bagian Kedua Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. |
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. |
Di antara Pasal 18 dan Pasal 19 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 18C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18A
Pasal 18B
Pasal 18C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. |
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. |
Ketentuan Bagian Ketiga Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Keempat |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. |
Di antara Bagian Keempat dan Bagian Kelima disisipkan 1 (satu) paragraf, yakni Paragraf 1 sehingga berbunyi sebagai berikut: Paragraf 1 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. |
Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. |
Di antara Bagian Keempat dan Bagian Kelima disisipkan 1 (satu) paragraf, yakni Paragraf 2 dan disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 20B, Pasal 20C, dan Pasal 20D sehingga berbunyi sebagai berikut: Paragraf 2
Pasal 20C
Pasal 20D
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. |
Ketentuan Bagian Keempat Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kelima |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. |
Pasal 21 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. |
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. |
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. |
Pasal 27 dihapus. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. |
Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 dalam Bagian Kelima Bab III, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 29A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29A
berlaku secara mutatis mutandis terhadap Bank selain Bank Sistemik. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. |
Ketentuan Bagian Kelima Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Keenam |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. |
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
berlaku secara mutatis mutandis terhadap Bank selain Bank Sistemik. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. |
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. |
Di antara Bab III dan Bab IV disisipkan 1 (satu) Bab, yakni Bab IIIA, sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IIIA |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. |
Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. |
Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36A
Pasal 36B
Pasal 36C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. |
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. |
Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 42A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. |
Di antara Bab IV dan Bab V disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab IVA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IVA |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. |
Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 46A dan Pasal 46B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46A
Pasal 46B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. |
Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 47A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A
|
BAB XXII
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
Pasal 277
Dalam rangka menunjang kebijakan Pemerintah untuk mendorong program ekspor nasional, Undang-Undang ini mengubah dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957).
Pasal 278
Ketentuan Pasal 16 dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Repuik Indonesia Nomor 4957) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) |
Dalam melakukan kegiatannya, LPEI turut serta dalam sistem pembayaran nasional dan internasional. |
(2) |
LPEI dapat menerima devisa hasil ekspor atas transaksi ekspor debitur LPEI dan masuk ke dalam sistem keuangan Indonesia. |
(3) |
Devisa hasil ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditampung dalam rekening debitur di LPEI. |
(4) |
Kegiatan penerimaan devisa hasil ekspor oleh LPEI tidak dimaksudkan untuk penghimpunan dana. |
BAB XXIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif Terkait Asuransi Usaha Bersama
Pasal 279
(1) |
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada Setiap Orang yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
||||||||||||||
(2) |
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 55 ayat (6), ayat (8), dan ayat (9), Pasal 56 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 58 ayat (3), Pasal 60 ayat (9), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 65 ayat (5), Pasal 67 ayat (2), Pasal 70 ayat (4), Pasal 71 ayat (1), Pasal 75 ayat (2), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77 ayat (4) dan ayat (10), Pasal 78 ayat (3), dan Pasal 317 ayat (9) dan ayat (11) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
(3) |
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
|
||||||||||||||
(4) |
Ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. |
Bagian Kedua
Sanksi Administratif Terkait Program Penjaminan Polis
Pasal 280
(1) |
Lembaga Penjamin Simpanan berwenang mengenakan sanksi administratif berupa denda administratif kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf c dan huruf d. |
(2) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memenuhi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas bulan). |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan. |
Pasal 281
Lembaga Penjamin Simpanan menyampaikan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dan Pasal 280.
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif Terkait Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 282
(1) |
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (2) huruf a, Pasal 116 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 117, Pasal 121 ayat (1), Pasal 122 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 123 ayat (1), Pasal 126 ayat (1), Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 128 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) |
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Keempat
Sanksi Administratif Terkait Konglomerasi Keuangan
Pasal 283
(1) |
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1), Pasal 208 ayat (1), Pasal 209 ayat (1), dan Pasal 210 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) |
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Kelima
Sanksi Administratif Terkait Inovasi Teknologi Sektor Keuangan
Pasal 284
(1) |
Penyelenggara ITSK yang:
dikenai sanksi administratif oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(2) |
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(3) |
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, kriteria, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Bagian Keenam
Sanksi Administratif Terkait Pelindungan Konsumen
Pasal 285
(1) |
Otoritas sektor keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada PUSK yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(2) |
PUSK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1), Pasal 227, Pasal 236 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf j, huruf k, huruf n, atau huruf o, atau ayat (4) huruf c atau huruf g, Pasal 239 ayat (1), Pasal 242, atau Pasal 246 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(3) |
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan dan batas pemenuhan dalam jangka waktu tertentu. |
(4) |
Dalam hal sanksi administratif untuk pelanggaran Pasal 236 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf j, huruf k, huruf n, atau huruf o, atau ayat (4) huruf c atau huruf g tidak dipenuhi, PUSK dapat dikenakan sanksi pidana. |
(5) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan dan batas pemenuhan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. |
Bagian Ketujuh
Sanksi Administratif Terkait Sumber Daya Manusia
Pasal 286
PUSK, Pelaku Profesi Sektor Keuangan, Asosiasi Profesi, dan/atau Lembaga Sertifikasi Profesi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat (3), Pasal 255, Pasal 258, Pasal 259 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 260 ayat (3), Pasal 261 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 262, Pasal 266, Pasal 267, Pasal 268, serta Pasal 271 ayat (2) dan ayat (7) dikenai sanksi administratif oleh menteri, lembaga, atau otoritas terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing.
BAB XXIV
KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu
Ketentuan Pidana Terkait Pasar Uang dan Kegiatan Usaha
Penukaran Valuta Asing
Pasal 287
(1) |
Setiap Orang yang menerbitkan instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) untuk diperdagangkan di pasar sekunder tanpa izin dari Bank Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
(2) |
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, penjatuhan pidana terhadap badan dilakukan baik kepada yang memberi perintah melakukan perbuatan itu maupun kepada yang bertindak sebagai pengurus dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya. |
Pasal 288
(1) |
Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing tanpa win dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). |
(2) |
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, penjatuhan pidana terhadap badan dilakukan baik kepada yang memberi perintah melakukan perbuatan itu maupun kepada yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya. |
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana Terkait Kegiatan Badan Pengelola Instrumen Keuangan
(Special Purpose Vehicle) dan/atau Pengelola Dana Perwalian (Trustee)
Pasal 289
Pemegang saham, anggota direksi, anggota dewan komisaris, pegawai/pejabat dari pengelola dana perwalian (trustee), dan pihak yang bertindak untuk dan atas nama pengelola dana perwalian (trustee) yang tidak menjaga kerahasiaan data dan transaksi pemilik aset dan penerima manfaat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjaga tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling banyak 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 290
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) yang dengan sengaja:
a. |
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3); dan/atau |
b. |
tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), |
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 291
Pemegang saham badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 292
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 293
(1) |
Tindak pidana yang dilakukan oleh badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagai korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap:
|
(2) |
Terhadap badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagai badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah). |
Bagian Ketiga
Ketentuan Pidana Terkait Program Penjaminan Polis
Pasal 294
(1) |
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham, atau yang setara dengan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta Pengendali atau pegawai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, atau huruf f, a tau Pasal 280 ayat (2) dan/atau menyebabkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, atau huruf f, atau Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
(2) |
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham atau yang setara dengan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta Pengendali atau pegawai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menyebabkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf c dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
Pasal 295
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham, atau yang setara dengan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta Pengendali, pegawai, atau mantan pegawai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 296
Setiap Orang yang memberikan dokumen, data, informasi, dan/atau laporan yang berkaitan dengan penjaminan polis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a, huruf d, atau huruf e, atau Pasal 89 ayat (2) yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 297
Setiap Orang yang menolak memberikan data, informasi, dan/atau dokumen kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Bagian Keempat
Ketentuan Pidana Terkait Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 298
(1) |
Setiap Orang yang menjalankan usaha tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
(2) |
Dalam hal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. |
(3) |
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan. |
(4) |
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat berupa:
|
(5) |
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(6) |
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. |
(7) |
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian. |
(8) |
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. |
(9) |
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, penjatuhan pidana dilakukan terhadap badan hukum, pihak yang memberi perintah melakukan perbuatan itu dan/atau yang memimpin perbuatan itu. |
Pasal 299
(1) |
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang:
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
(2) |
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. |
(3) |
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan. |
(4) |
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
(5) |
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(6) |
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. |
(7) |
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian. |
(8) |
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. |
Pasal 300
(1) |
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang:
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
(2) |
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. |
(3) |
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan. |
(4) |
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
(5) |
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(6) |
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. |
(7) |
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian. |
(8) |
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. |
Pasal 301
(1) |
Pemegang saham dan/atau pihak terafiliasi Usaha Jasa Pembiayaan yang menyuruh anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan, dan/atau pihak terafiliasi lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Usaha Jasa Pembiayaan tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Usaha Jasa Pembiayaan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya bagi Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
(2) |
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. |
(3) |
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan. |
(4) |
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
(5) |
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(6) |
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. |
(7) |
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian. |
(8) |
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. |
Pasal 302
(1) |
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan secara tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
(2) |
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. |
(3) |
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan. |
(4) |
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
(5) |
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(6) |
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. |
(7) |
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian. |
(8) |
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. |
Bagian Kelima
Ketentuan Pidana Terkait Kegiatan Usaha Bulion (Bullion)
Pasal 303
LJK yang menjalankan kegiatan usaha bulion (bullion) tanpa izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
Bagian Keenam
Ketentuan Pidana Terkait Inovasi Teknologi Sektor Keuangan
Pasal 304
Setiap Orang yang melanggar ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
Bagian Ketujuh
Ketentuan Pidana Terkait Pelindungan Konsumen
Pasal 305
(1) |
Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). |
(2) |
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, penjatuhan pidana dilakukan terhadap badan hukum, pihak yang memberi perintah melakukan perbuatan itu, dan/atau yang memimpin perbuatan itu. |
Pasal 306
(1) |
PUSK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (3) huruf c, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf l, atau huruf m, atau ayat (4) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, atau huruf f, atau Pasal 238 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). |
(2) |
Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (4) tidak dilaksanakan pada batas pemenuhan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (5), PUSK dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). |
BAB XXV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 307
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan, Pemerintah dapat memberikan perlakuan dan/atau insentif perpajakan atas penyelenggaraan jasa keuangan tertentu dan/atau program tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
BAB XXVI
KETENTUAN PERALIHAN
Bagian Kesatu
Ketentuan Peralihan Terkait Kelembagaan Sektor Keuangan
Pasal 308
(1) |
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, berdasarkan Undang-Undang ini:
|
(2) |
Masa jabatan:
|
Pasal 309
Wakil Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan menjalankan tugas dan wewenang sebagai Kepala Eksekutif sampai dengan ditetapkannya Peraturan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) dalam Pasal 7 angka 37 Undang-Undang ini.
Pasal 310
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. |
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya berdasarkan Undang-Undang ini ditetapkan menjadi Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun. |
b. |
Masa jabatan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam huruf a melanjutkan sisa masa jabatan sebagai Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. |
Pasal 311
Sampai dengan diangkat dan ditetapkannya pejabat definitif:
a. |
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya; dan |
b. |
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto, |
tugas dan wewenangnya dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun.
Pasal 312
(1) |
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peralihan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan:
dari badan pengawas perdagangan berjangka komoditi kepada otoritas sektor keuangan harus diselesaikan secara penuh paling lambat 24 (dua puluh empat) bulan. |
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai peralihan tugas pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah yang harus ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Pasal 313
Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang telah diangkat dan ditetapkan sebelum Undang-Undang ini diundangkan, tetap menjalankan tugas dan wewenangnya sampai dengan masa jabatannya berakhir.
Bagian Kedua
Ketentuan Peralihan Terkait Perbankan dan Perbankan Syariah
Pasal 314
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. |
Nomenklatur “Bank Perkreditan Rakyat” yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku dimaknai sama dengan “Bank Perekonomian Rakyat” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. |
b. |
Nomenklatur “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku dimaknai sama dengan “Bank Perekonomian Rakyat Syariah” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. |
c. |
Perubahan nomenklatur “Bank Perkreditan Rakyat” menjadi “Bank Perekonomian Rakyat” dan “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” menjadi “Bank Perekonomian Rakyat Syariah” dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
d. |
Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk badan hukum selain perseroan terbatas atau koperasi yang telah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya Undang-Undang ini masih tetap dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat dan diberikan kesempatan paling lama 3 (tiga) tahun untuk melakukan perubahan bentuk badan hukum sesuai dengan Undang-Undang ini. |
Bagian Ketiga
Ketentuan Peralihan Terkait Pasar Modal
Pasal 315
(1) |
Setiap Pihak yang telah memiliki saham dan/atau melakukan tindakan pengendalian pada lebih dari 1 (satu) perusahaan efek berdasarkan undang-undang mengenai pasar modal wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(2) |
Perusahaan efek yang telah memperoleh izin usaha untuk melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek dan/atau perantara pedagang efek, atau manajer investasi sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dengan memisahkan kegiatan usahanya sebagai manajer investasi paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Pasal 316
Perusahaan efek yang sebelum berlakunya Undang-Undang ini dalam proses pencabutan izin usaha bukan karena pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan tidak wajib melakukan pembubaran perseroan sepanjang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini perusahaan efek mengubah anggaran dasar yang berkaitan dengan nama dan kegiatan usaha perusahaan efek.
Bagian Keempat
Ketentuan Peralihan Terkait Asuransi Usaha Bersama
Pasal 317
(1) |
Polis asuransi yang dimiliki oleh pemegang polis sebelum berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam polis asuransi. |
(2) |
Perpanjangan atas polis asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang ini harus mengikuti ketentuan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(3) |
Anggaran dasar Usaha Bersama yang telah ada sebelum diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(4) |
Izin usaha dari Usaha Bersama yang telah ada sebelum diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku. |
(5) |
Badan Perwakilan Anggota Usaha Bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan, dinyatakan sebagai RUA dan memiliki tugas serta kewenangan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(6) |
Anggota Badan Perwakilan Anggota Usaha Bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan, dinyatakan sebagai peserta RUA. |
(7) |
Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) memiliki masa tugas paling lama sampai dengan berakhirnya periode masa tugas Anggota Badan Perwakilan Anggota Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (6). |
(8) |
Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) memiliki hak, larangan, dan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. |
(9) |
Usaha Bersama wajib menyelenggarakan RUA untuk menetapkan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(10) |
Ketentuan anggaran dasar Usaha Bersama yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku dan berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini. |
(11) |
Kewajiban penyelenggaraan RUA untuk menetapkan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini sebagaimana dimaksud pada ayat (9) wajib dilakukan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Bagian Kelima
Ketentuan Peralihan Terkait Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 318
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang telah mendapatkan izin usaha sebelum berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini; dan |
b. |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Pasal 319
Setiap Orang di luar penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang telah melakukan kegiatan Usaha Jasa Pembiayaan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Bagian Keenam
Ketentuan Peralihan Terkait Dana Pensiun, Program Jaminan Hari Tua, dan
Program Pensiun
Pasal 320
(1) |
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, bagi semua Dana Pensiun yang telah mendapatkan pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan, pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan tersebut dinyatakan tetap berlaku. |
(2) |
Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyelenggarakan Program Pensiun yang menjanjikan pembayaran uang secara sekaligus bagi peserta Program Pensiun sebelum 20 April 1992, tetap dapat melanjutkan program tersebut sampai selesainya seluruh kewajiban kepada karyawan yang telah menjadi peserta Program Pensiun pada tanggal 20 April 1992. |
(3) |
Pelaksana tugas Pengurus pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan menjadi Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan dewan komisaris dari Pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan bertindak sebagai Dewan Pengawas Dana Pensiun Lembaga Keuangan sampai dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(4) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146, berlaku untuk Setiap Orang yang mulai menjadi Peserta Dana Pensiun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(5) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) diterapkan oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(6) |
Bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang telah mengatur adanya penarikan sejumlah dana tertentu oleh peserta Program Pensiun di dalam Peraturan Dana Pensiun, penarikan dana tersebut dapat dilakukan paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Bagian Ketujuh
Ketentuan Peralihan Terkait Koperasi di Sektor Jasa Keuangan
Pasal 321
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. |
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi harus melakukan penilaian sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dalam Pasal 202 Undang-Undang ini; |
b. |
penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan; |
c. |
koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dalam Pasal 202 Undang-Undang ini wajib melaporkan kegiatan usahanya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi; |
d. |
penyelenggaraan penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi dapat dibantu oleh Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota; |
e. |
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi menyerahkan daftar koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dalam Pasal 202 Undang-Undang ini kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai sektor jasa keuangan; |
f. |
Otoritas Jasa Keuangan memproses perizinan usaha yang diajukan oleh koperasi yang tercantum dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam huruf e paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak daftar koperasi diterima sepanjang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sektor jasa keuangan; dan |
g. |
sebelum Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan izin sebagaimana dimaksud dalam huruf f, izin usaha koperasi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam huruf e tetap berlaku dan pengawasan dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi atau Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai perkoperasian. |
Bagian Kedelapan
Ketentuan Peralihan Terkait Lembaga Keuangan Mikro
Pasal 322
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. |
LKM yang telah mendapatkan izin usaha sebelum berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini; |
b. |
LKM sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan; |
c. |
LKM yang menghimpun dana masyarakat dan belum memiliki izin usaha harus mengajukan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai LKM skala usaha kecil, menengah atau besar paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan; dan |
d. |
LKM yang tidak menghimpun dana masyarakat dan belum memiliki izin usaha harus melakukan pendaftaran kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagai LKM inkubasi paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Bagian Kesembilan
Ketentuan Peralihan Terkait Literasi Keuangan, Inklusi Keuangan, dan
Pelindungan Konsumen
Pasal 323
Kewajiban PUSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) dilaksanakan oleh PUSK dengan kriteria tertentu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Bagian Kesepuluh
Ketentuan Peralihan Terkait Sumber Daya Manusia
Pasal 324
Ketentuan mengenai pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1) dilakukan oleh PUSK dan pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Bagian Kesebelas
Ketentuan Peralihan Terkait Stabilitas Sistem Keuangan
Pasal 325
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank yang status pengawasannya sebagai Bank dalam pengawasan intensif atau Bank dalam pengawasan khusus diubah status pengawasannya dan dinyatakan sebagai Bank dalam penyehatan oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XXVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 326
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
a. |
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); |
b. |
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); |
c. |
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); |
d. |
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); |
e. |
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232); |
f. |
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir· dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); |
g. |
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); |
h. |
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963); |
i. |
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); |
j. |
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); |
k. |
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957); |
l. |
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); |
m. |
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); |
n. |
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394); |
o. |
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); |
p. |
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835); dan |
q. |
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872), |
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 327
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai:
a. |
permohonan kepailitan bagi Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan Dana Pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 2; dan |
b. |
penundaan kewajiban pembayaran utang bagi Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, dan Dana Pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 223, |
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 328
Pada saat program penjaminan polis mulai dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini, ketentuan mengenai likuidasi dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi peserta program penjaminan polis.
Pasal 329
Penyelenggaraan program penjaminan polis mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 330
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 331
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan;
a. |
Usaha Jasa Pembiayaan; |
b. |
Pelindungan Konsumen di sektor keuangan; |
c. |
ITSK; |
d. |
sumber daya manusia, profesi, tata kelola yang baik dan pelaporan keuangan di sektor keuangan; dan |
e. |
asuransi Usaha Bersama, |
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 332
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, rencana resolusi bank umum yang telah disampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan telah memenuhi ketentuan Undang-Undang ini dan selanjutnya penyampaian rencana resolusi mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.
Pasal 333
(1) |
Untuk pertama kali, salah satu anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf d dalam Pasal 7 angka 39 Undang-Undang ini diangkat dan ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum program penjaminan polis dimulai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329. |
(2) |
Pengangkatan dan penetapan anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengikuti ketentuan mengenai pengangkatan dan penetapan anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang berakhir masa jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dalam Pasal 7 angka 39 Undang-Undang ini. |
Pasal 334
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan dan peraturan pelaksanaannya, pelaksanaan tugas dan wewenang serta penyebutan:
a. |
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya menjadi:
|
b. |
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menjadi Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon; dan |
c. |
anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang membidangi edukasi dan Pelindungan Konsumen menjadi Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen. |
Pasal 335
(1) |
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, berdasarkan Undang-Undang ini, masa jabatan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang membidangi edukasi dan Pelindungan Konsumen periode tahun 2022-2027 ditetapkan masa jabatannya menjadi 6 (enam) tahun terhitung sejak diangkat dan ditetapkan. |
(2) |
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, untuk pertama kali, pengangkatan dan penetapan:
dilakukan paling lambat 7 (tujuh) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Pasal 336
Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 898 dalam Pasal 7 angka 61 Undang-Undang ini dan Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B dalam Pasal 8 angka 19 Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 337
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. |
semua istilah “LPS” yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dimaknai sebagai istilah “Lembaga Penjamin Simpanan” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; |
b. |
semua istilah “Lembaga Pengawas Perbankan” dan “OJK” yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dimaknai sebagai istilah “Otoritas Jasa Keuangan” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; |
c. |
semua istilah “Bank Gagal” dan “Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan wewenang yang dimilikinya” yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diganti menjadi “Bank dalam resolusi”; |
d. |
semua istilah “Bank Gagal yang Berdampak Sistemik” yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diganti menjadi “Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank dalam resolusi”; |
e. |
semua istilah “Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik” yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diganti menjadi “Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank dalam resolusi”; |
f. |
semua istilah “Lembaga Jasa Keuangan” yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dimaknai sebagai istilah “LJK” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; |
g. |
semua istilah “Sistem Keuangan” yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku termasuk dalam undang-undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan harus dimaknai sebagai istilah “Sistem Keuangan” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; dan |
h. |
semua istilah “Majelis Ulama Indonesia” yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku dalam perundang-undangan di sektor keuangan dibaca sebagai “lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. |
Pasal 338
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan “Bank Perkreditan Rakyat” dan “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 339
(1) |
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(2) |
Peraturan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) dalam Pasal 7 angka 37 Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Pasal 340
(1) |
Pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang ini dilakukan setelah Undang-Undang ini diundangkan. |
(2) |
Pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah. |
(3) |
Pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan yang khusus menangani bidang legislasi. |
Pasal 341
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
Disahkan di Jakarta ttd.
|
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2023
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PRATIKNO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 4
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2023
TENTANG
PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN
I. |
UMUM |
Reformasi di sektor keuangan memiliki urgensi yang tinggi dalam meningkatkan peranan intermediasi sektor keuangan, serta memperkuat resiliensi sistem keuangan nasional. Sektor keuangan yang dalam, inovatif, efisien, inklusif, dapat dipercaya, kuat, dan stabil akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat, seimbang, inklusif, dan berkesinambungan yang sangat diperlukan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Saat ini sektor keuangan Indonesia masih mengalami banyak permasalahan fundamental. Proporsi aset di sektor keuangan nasional belum cukup merata. Sektor perbankan yang merupakan salah satu sumber pembiayaan jangka pendek masih sangat dominan dibandingkan dengan sektor keuangan yang lain. Porsi aset di industri keuangan nonbank yang merupakan sumber dana jangka panjang yang diharapkan dapat mendukung pembiayaan pembangunan, relatif masih kecil. Kondisi ini mengindikasikan bahwa penghimpunan dana oleh industri keuangan relatif masih terbatas, sedangkan potensi pendalaman pasar keuangan nasional masih cukup besar.
Di sektor perbankan, permasalahan fundamental tercermin antara lain dari tingginya tingkat bunga pinjaman, serta ketimpangan jumlah rekening dan simpanan antara nasabah kecil dan besar. Permasalahan juga tercermin dari rendahnya kapitalisasi pasar saham dan obligasi nasional dibandingkan negara lain, serta terbatasnya instrumen keuangan untuk investasi dan pengelolaan risiko (hedging) khususnya untuk produk keuangan yang bersifat kompleks dan berisiko tinggi (high risk). Di sisi lain, sektor keuangan Indonesia juga menghadapi tantangan dari munculnya instrumen keuangan yang kompleks dan berisiko tinggi seperti kripto serta penilaian tata kelola dan penegakan hukum sektor keuangan dalam berbagai asesmen terkini juga rendah.
Selain permasalahan fundamental, sektor keuangan juga menghadapi berbagai tantangan dari luar seperti disrupsi teknologi serta munculnya risiko keuangan baru yang terkait dengan perubahan iklim dan situasi geopolitik. Sumber daya manusia di sektor keuangan juga masih mengalami ketertinggalan, baik dari kuantitas maupun kualitas. Dengan sejumlah permasalahan dan tantangan tersebut, diperlukan suatu reformasi di sektor keuangan. Reformasi sektor keuangan ini diharapkan dapat memperdalam dan meningkatkan efisiensi sektor keuangan Indonesia, melalui upaya perluasan jangkauan, produk, dan basis investor, promosi investasi jangka panjang, peningkatan kompetisi untuk mendukung efisiensi, penguatan mitigasi risiko, serta peningkatan pelindungan investor dan Konsumen. Reformasi di sektor keuangan ini adalah lanjutan dari reformasi secara menyeluruh seperti di sektor riil melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, di bidang perpajakan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, serta di bidang perimbangan keuangan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dari sisi regulasi, kerangka hukum pengaturan mengenai sektor keuangan tersebar dalam berbagai Undang-Undang yang di antaranya telah berusia cukup lama sehingga belum optimal dalam mengakomodir pengaturan dan pengawasan terhadap aktivitas, produk, dan perkembangan industri keuangan terkini yang terus mengalami perkembangan yang cepat dan pesat. Dengan demikian, untuk mewujudkan upaya-upaya reformasi sektor keuangan secara utuh, dibutuhkan landasan hukum yang sesuai dengan perkembangan industri keuangan terkini melalui pembenahan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi dalam 1 (satu) undang-undang mengenai sektor keuangan dengan menggunakan metode omnibus melalui Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Undang-Undang ini mereformasi sektor keuangan dengan mengatur kelembagaan dan Stabilitas Sistem Keuangan dan pengembangan dan penguatan industri. Oleh sebab itu, Undang-Undang ini mengatur penguatan hubungan pengawasan dan pengaturan antar lembaga di bidang sektor keuangan guna mewujudkan Stabilitas Sistem Keuangan dalam hal ini antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Kementerian Keuangan. Salah satunya melalui wadah Komite Stabilitas Sistem Keuangan dalam mekanisme pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial dalam jaring pengaman sistem keuangan. Selanjutnya, penguatan lembaga yang berwenang sebagai pengatur dan pengawas sektor keuangan dilakukan untuk menjaga kestabilan industri sektor keuangan dan peningkatan kepercayaan masyarakat.
Penguatan jaring pengaman sistem keuangan dalam kerangka Komite Stabilitas Sistem Keuangan merupakan hal yang sangat diperlukan dalam memastikan penanganan permasalahan perbankan dan menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Penanganan permasalahan bank, penguatan koordinasi antarlembaga, dan penguatan kewenangan kelembagaan di sektor keuangan yang optimal untuk mencegah kegagalan perbankan yang dapat mengganggu sistem keuangan adalah sasaran yang dituju melalui Undang-Undang ini. Hal ini dilakukan melalui penguatan dan penyempurnaan mekanisme koordinasi dan pertukaran informasi serta tata kelola (governance), sehingga pengambilan keputusan penanganan permasalahan di sektor keuangan dapat dilakukan secara lebih efektif.
Undang-Undang ini juga memperkuat masing-masing lembaga pengatur dan pengawas sektor keuangan. Penguatan peran Bank Indonesia dilakukan dengan penegasan bahwa Bank Indonesia memiliki tujuan di antaranya untuk turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Bank Indonesia bertugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial.
Selanjutnya, penguatan kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan dilakukan dengan menegaskan kewenangan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan di antaranya untuk memimpin pengawasan terintegrasi dan Komisioner Eksekutif melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan dalam rangka meningkatkan fungsi check and balance, dilakukan pembentukan badan supervisi di Otoritas Jasa Keuangan.
Selain itu, Undang-Undang ini juga mempertegas mandat Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terintegrasi dan konglomerasi keuangan. Undang-Undang ini juga menambah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap koperasi yang bergerak di sektor keuangan, aktivitas aset digital, Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), penguatan fungsi edukasi, Pelindungan Konsumen, dan pengawasan perilaku pasar (market conduct), yang bertujuan untuk membawa sektor keuangan nasional lebih kuat dan berkembang.
Lembaga Penjamin Simpanan merupakan salah satu lembaga penyokong kestabilan ekonomi melalui perannya dalam dunia perbankan juga diberikan penguatan kewenangan dalam Undang-Undang ini. Di samping memperkuat kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam menjalankan fungsi penjaminan simpanan dan resolusi bank, Lembaga Penjamin Simpanan juga mendapatkan mandat baru sebagai penyelenggara program penjaminan polis asuransi yang akan diiringi dengan peningkatan fungsi pengawasan dan pengaturan oleh otoritas pengawas asuransi.
Undang-Undang ini juga mengatur penguatan penanganan permasalahan bank sebagai sektor yang sangat penting di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mengatur penguatan peran dan wewenang KSSK, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Penguatan peran dan wewenang dicapai melalui penguatan instrumen pencegahan dan penanganan permasalahan bank seperti rencana pemulihan dan resolusi bank, pengaturan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah, penempatan dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan, serta penegasan peran Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga resolusi dengan mandat pengurangan risiko (risk minimizer), serta penguatan koordinasi makroprudensial-mikroprudensial dan makroprudensial-mikroprudensial resolusi.
Penguatan industri keuangan menjadi bagian dari cakupan pengaturan dalam Undang-Undang ini. Proses konsolidasi perbankan ditujukan agar meningkatkan daya saing pada sektor perbankan, memperkuat pengaturan bank digital dan pemanfaatan teknologi informasi oleh perbankan, dan memperkuat peran Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah dalam menggerakkan perekonomian daerah dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pengaturan terhadap perbankan juga diarahkan pada perluasan kegiatan usaha perbankan dan perbankan syariah untuk menggerakkan ekonomi nasional. Penguatan pengawasan terhadap perbankan juga dilakukan terhadap perbankan yang juga merupakan bagian dari Konglomerasi Keuangan.
Pada bidang perasuransian, penguatan dilakukan dengan memperluas ruang lingkup perasuransian, memperkuat market conduct pelaku usaha perasuransian, dan menegaskan kebijakan pemisahan (spin-off) unit usaha syariah. Selain menambahkan pengaturan mengenai tata kelola Usaha Bersama asuransi, program penjaminan polis juga menjadi salah satu tulang punggung penguatan sektor keuangan bidang perasuransian yang diharapkan dapat menjadi sarana peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap asuransi dan menjaga kestabilan industri asuransi di Indonesia.
Pengaturan di bidang Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing diarahkan untuk mendorong penerapan prinsip aktivitas sama, risiko sama, regulasi setara (same activity, same risk, same regulation) untuk transaksi instrumen keuangan, perluasan akses dan daya saing di antaranya melalui infrastruktur pasar yang dapat bekerja antar sistem (interoperable), bursa karbon, dan pengaturan entitas tujuan khusus (special purpose vehicle) untuk meningkatkan variasi instrumen keuangan, dan pengelola dana perwalian (trustee) untuk pendalaman dan meningkatkan partisipasi pelaku pasar keuangan dan peningkatan aturan keterbukaan informasi dan tata kelola yang baik.
Selanjutnya, pengaturan industri Dana Pensiun ditujukan untuk meningkatkan pelindungan hari tua bagi masyarakat, khususnya para pekerja, meningkatkan literasi, mendorong kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan program pensiun, dan mempercepat akumulasi sumber dana jangka panjang sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan.
Pengaturan di bidang pelaporan keuangan diarahkan kepada kewajiban penyampaian laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pengaturan mengenai standar laporan keuangan, pembentukan komite standar yang independen, dan pembentukan platform bersama laporan keuangan, serta kewajiban untuk penyusunan dan penyampaian laporan berkelanjutan.
Di bidang industri jasa keuangan lainnya, pengaturan mencakup usaha jasa pembiayaan, koperasi yang bergerak di sektor keuangan, dan lembaga keuangan mikro. Pengaturannya berbasis prinsip (principle based), sehingga tercipta keadilan (level of playing field), meningkatkan Pelindungan Konsumen, memperkuat pengawasan koperasi yang bergerak di sektor keuangan, dan memperkuat ekosistem pendukung pembiayaan.
Selanjutnya, Undang-Undang ini juga mencapai tujuan pembentukannya dengan mengatur peningkatan peran sektor keuangan dalam pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan penguatan kualitas sumber daya manusia sektor keuangan. Sementara itu, peningkatan literasi dan inklusi keuangan, juga merupakan hal yang dibutuhkan untuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk memahami sektor keuangan lebih baik dan dapat menopang kehidupan ekonomi lebih baik. Undang-Undang ini juga mengatur penguatan upaya mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah termasuk dengan memudahkan akses pembiayaannya dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian.
Jenis pelanggaran dan perbuatan tindak pidana di sektor keuangan juga menjadi substansi penting dalam pengaturan Undang-Undang ini. Hal ini dilakukan untuk memberikan pelindungan bagi aktivitas sektor keuangan, termasuk pihak yang terlibat di dalam aktivitas sektor keuangan tersebut. Dalam rangka menjaga ketertiban dan memberikan efek jera, dibutuhkan mekanisme pemidanaan guna menjerat pelaku pelanggaran dengan menetapkan tindakan/perbuatan tersebut menjadi tindak pidana ekonomi. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang ini tidak hanya terbatas pada tindak pidana yang dilakukan oleh perorangan tetapi juga oleh korporasi. Dalam merespons perkembangan tindak pidana ekonomi yang terjadi di bidang sektor keuangan tersebut, konsep penegakan hukumnya tidak harus selalu dengan pemberian sanksi pidana, tetapi perlu mengedepankan pemulihan keadaan pihak yang dirugikan terlebih dahulu atau yang dikenal dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice).
Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan Undang-Undang ini dan agar implementasinya sesuai dengan maksud dan tujuan sebagaimana diatur dalam BAB II, terhadap beberapa pengaturan terutama yang memberikan dampak terhadap masyarakat memerlukan konsultasi atau persetujuan DPR. Pelaksanaan pengaturan tersebut dilakukan oleh alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan, sebagai wujud peran dan fungsi DPR sesuai tata kelola dan tanpa mengurangi independensi otoritas sektor keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan diharapkan akan memberikan kontribusi positif dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan (sustainable) menuju Indonesia yang sejahtera, maju, dan bermartabat, serta terpercaya.
II. |
PASAL DEMI PASAL |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kepentingan nasional” adalah penyelenggaraan pengembangan dan penguatan sektor keuangan mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah seluruh pengaturan kebijakan pengembangan dan penguatan sektor keuangan bermanfaat bagi kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat, khususnya dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah penyelenggaraan pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan menjadi landasan bagi pengambil kebijakan dalam menetapkan langkah pengembangan dan penguatan di sektor keuangan. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah pengembangan dan penguatan sektor keuangan diperuntukkan untuk membuka akses bagi masyarakat dalam melakukan kegiatan di sektor keuangan tanpa diskriminasi dan hak untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan sektor keuangan dengan tetap memperhatikan pelindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan kerahasiaan. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah penyelenggaraan pengembangan dan penguatan sektor keuangan menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas Pelindungan Konsumen” adalah untuk memberikan jaminan atas pelindungan kepada Konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan jasa di sektor keuangan. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas edukasi” adalah pengembangan dan penguatan sektor keuangan dapat memberikan pemahaman dan membuka wawasan bagi masyarakat sebagai pelaku usaha dan pengguna jasa di sektor keuangan mengenai kesadaran terhadap hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya dalam menjalankan perannya di sektor keuangan. Huruf i Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah penyelenggaraan pengembangan dan penguatan sektor keuangan merupakan kesatuan yang utuh, saling menunjang, selaras antarberbagai kepentingan, serta terkoordinasi dalam satu kendali yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung antara semua pihak yang terlibat dalam sektor keuangan.
Cukup jelas. Pasal 4 Ekosistem sektor keuangan juga mencakup industri jasa keuangan yang menjalankan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah.
Cukup jelas. Pasal 6 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “undang-undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan” adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam menetapkan kriteria dan indikator, Komite Stabilitas Sistem Keuangan mempertimbangkan kerangka kerja penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang digunakan oleh setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Angka 5 Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Hasil analisis, hasil riset, dan/atau hasil asesmen Stabilitas Sistem Keuangan dapat digunakan:
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 8A Cukup jelas. Angka 7 Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan mempunyai kekuatan hukum mengikat (final and binding) terhitung sejak pengambilan keputusan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Pihak terkait juga mencakup pejabat dan/atau pegawai dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Dalam hal digunakan naskah dinas elektronik, keputusan rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan dapat ditandatangani secara elektronik.
Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” adalah meninggal dunia, mengalami cacat fisik, atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melaksanakan tugasnya.
Pasal 10 Dihapus.
Pasal 11 Dihapus.
Pasal 34A Cukup jelas. Pasal 7 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan” adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Independensi lembaga Penjamin Simpanan mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Lembaga Penjamin Simpanan tidak bisa dicampurtangani oleh pihak manapun termasuk oleh Pemerintah kecuali atas hal yang dinyatakan secara jelas di dalam Undang-Undang ini. Mengingat bahwa kebijakan Penjaminan dan penjaminan polis dapat berdampak pada sektor perbankan, perasuransian, dan fiskal maka di dalam Lembaga Penjamin Simpanan terdapat wakil dari setiap otoritas yang berwenang. Keberadaan para wakil otoritas dimaksudkan untuk bersama-sama merumuskan kebijakan Penjaminan dan penjaminan polis yang dapat mendukung kebijakan pada masing-masing sektor. Namun, pelaksanaan kebijakan tersebut sepenuhnya merupakan tanggung jawab dan kewenangan otoritas masing-masing. Sebagai contoh, dalam melaksanakan tugas penyelesaian Bank yang dicabut izin usahanya, khususnya dalam rangka penjualan/pengalihan aset Bank, Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dipengaruhi oleh kepentingan pihak luar termasuk Pemerintah.
Cukup jelas. Angka 3 Pasal 3A Cukup jelas. Angka 4 Pasal 4 Huruf a Penjaminan Nasabah Penyimpan juga mencakup Penjaminan bentuk yang setara dengan Simpanan bagi Bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Lembaga Penjamin Simpanan menjamin polis asuransi bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
Lembaga Penjamin Simpanan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan bersama dengan Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia, sesuai dengan peran dan tugas masing-masing. Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan Undang-Undang ini diberi mandat sebagai risk minimizer yang memiliki fungsi untuk meminimalkan risiko terganggunya Stabilitas Sistem Keuangan, termasuk asesmen risiko Bank dan kewenangan untuk melakukan keterlibatan dini (early intervention) dan resolusi Bank dalam penanganan permasalahan Bank. Keterlibatan dini (early intervention) Lembaga Penjamin Simpanan di antaranya dilakukan melalui pemeriksaan Bank dalam rangka persiapan penanganan permasalahan Bank dan penempatan dana.
Sebagai otoritas resolusi, lembaga Penjamin Simpanan melaksanakan tindakan resolusi terhadap Bank yang mengalami permasalahan keuangan dengan cara:
Huruf e Terhadap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang mengalami permasalahan keuangan dan dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan melakukan penyelesaian dengan cara melikuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
Angka 5 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Aset berupa piutang dan aset lainnya yang dilakukan hapus buku dan hapus tagih termasuk aset yang berasal dari penanganan dan/atau penyelesaian permasalahan Bank serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. Hapus buku dan hapus tagih aset dilakukan dengan berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan menganut asas transparansi.
Data dan laporan dapat diperoleh langsung dari Bank atau dari Otoritas Jasa Keuangan dengan mekanisme yang diatur bersama antara Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas Jasa Keuangan.
Data dan laporan dapat diperoleh langsung dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah atau dari Otoritas Jasa Keuangan dengan mekanisme yang diatur bersama antara Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas Jasa Keuangan.
Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Pihak lain di antaranya mencakup akuntan publik, konsultan hukum, penasihat investasi, lembaga penelitian, perusahaan penilai, dan/atau pejabat lelang. Tugas tertentu di antaranya mencakup melakukan verifikasi, membuat opini hukum, melakukan penelitian mengenai risiko penjaminan, dan/atau melakukan likuidasi.
Huruf i Cukup jelas. Huruf j Pemeriksaan Bank yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan di antaranya dalam rangka:
Huruf k Pemeriksaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan di antaranya dalam rangka:
Huruf l Bank dalam penyehatan merupakan status pengawasan Bank yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan kriteria tertentu sebagai Bank dalam penyehatan.
Yang dimaksud dengan “pengelola statuter” adalah orang perseorangan atau badan hukum yang ditunjuk oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk melaksanakan pengelolaan Bank yang menerima penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan guna mengupayakan agar Bank kembali menjadi sehat dan dapat mengembalikan penempatan dana tersebut kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Ayat (2) Pemberitahuan tertulis Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai:
Huruf a Dengan dilakukannya pengambilalihan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan:
guna memaksimalkan pengembalian (recovery) dana Penjaminan dan penjaminan polis.
Huruf b Dengan ketentuan ini, Lembaga Penjamin Simpanan dapat menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan seperti halnya sebagai pemilik.
Dalam hal peninjauan ulang, pembatalan, pengakhiran, dan/atau perubahan kontrak oleh Lembaga Penjamin Simpanan menimbulkan kerugian bagi suatu pihak, pihak tersebut hanya dapat menuntut penggantian yang tidak melebihi nilai manfaat yang telah diperoleh dari kontrak dimaksud setelah terlebih dahulu membuktikan secara nyata dan jelas kerugian yang dialaminya.
Cukup jelas. Angka 7 Pasal 9A Ayat (1) Penyampaian data Simpanan berbasis nasabah (single customer view) dari Bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan tidak menghilangkan proses rekonsiliasi dan verifikasi oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka penetapan Simpanan layak dibayar apabila Bank menjadi Bank Dalam Resolusi. Penyampaian data ini dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu berdasarkan permintaan Lembaga Penjamin Simpanan.
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 10A Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 14A Cukup jelas. Angka 11 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Data dan informasi yang diterima Lembaga Penjamin Simpanan untuk menentukan Simpanan yang layak dibayar dapat berasal dari berbagai sumber, sehingga perlu dilakukan proses untuk membandingkan, mencocokkan, menentukan, serta memastikan data dan informasi yang akan digunakan. Proses ini memerlukan waktu sebelum pembayaran klaim Penjaminan dapat mulai dilakukan. Yang dimaksud dengan “Simpanan yang layak dibayar” adalah Simpanan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah mantan komisaris, mantan direksi, dan mantan pegawai Bank yang bersangkutan.
Cukup jelas. Ayat (7) Apabila Nasabah Penyimpan yang simpanannya ditetapkan layak dibayar mengajukan klaim setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak izin usaha Bank dicabut maka hak Nasabah Penyimpan untuk memperoleh pembayaran klaim dari Lembaga Penjamin Simpanan menjadi hilang. Simpanan Nasabah Penyimpan dimaksud selanjutnya diperlakukan sama dengan Simpanan yang tidak dijamin dan diselesaikan dalam mekanisme likuidasi. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Materi muatan dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan paling sedikit mengatur bahwa kurs yang digunakan adalah kurs referensi yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada tanggal pencabutan izin usaha Bank. Angka 13 Pasal 18 Ayat (1) Perjumpaan utang merupakan salah satu cara hapusnya perikatan melalui set off/kompensasi. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 14 Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Nasabah Penyimpan yang merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar misalnya Nasabah Penyimpan yang memperoleh hasil bunga jauh di atas tingkat bunga pasar. Huruf c Nasabah Penyimpan yang merupakan pihak yang menyebabkan keadaan Bank menjadi tidak sehat, misalnya Nasabah Penyimpan yang diindikasikan atau diduga oleh Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, dan/atau penegak hukum melakukan perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian atau membahayakan kelangsungan usaha Bank. Ayat (2) Materi muatan dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan paling sedikit mengatur kriteria mengenai pihak yang diuntungkan secara tidak wajar dan pihak yang menyebabkan keadaan Bank menjadi tidak sehat. Angka 15 Pasal 20 Ayat (1) Apabila Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, pengajuan keberatan dapat dilakukan oleh ahli warisnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Pembayaran bunga yang wajar dimaksudkan untuk mengganti kerugian akibat hilangnya kesempatan berinvestasi dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak membayar ganti rugi yang lain. Tingkat bunga yang wajar merupakan tingkat bunga yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan, dengan mempertimbangkan tingkat bunga yang pada umumnya berlaku atas Simpanan. Kompensasi yang wajar diberikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan kepada Nasabah Penyimpan berdasarkan Prinsip Syariah, yang besarnya setara dengan tingkat bunga wajar yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 16 Pasal 21 Dihapus. Angka 17 Pasal 22 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 24 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 25 Cukup jelas. Angka 20 Pasal 26 Cukup jelas. Angka 21 Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ekuitas” adalah nilai aset setelah dikurangi kewajiban. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 22 Pasal 29 Cukup jelas. Angka 23 Pasal 30 Cukup jelas. Angka 24 Pasal 31 Cukup jelas. Angka 25 Pasal 33 Ayat (1) Perkiraan biaya penanganan meliputi penambahan modal sampai Bank Dalam Resolusi memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas dan tingkat likuiditas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 26 Pasal 34 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pelaksanaan ketentuan ini dituangkan dalam akta notaris. Angka 27 Pasal 35 Cukup jelas. Angka 28 Pasal 36 Cukup jelas. Angka 29 Pasal 37 Cukup jelas. Angka 30 Pasal 38 Cukup jelas. Angka 31 Pasal 40 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 42 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 50A Cukup jelas.
Pasal 50B Cukup jelas. Angka 34 Pasal 53 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pengalihan aset dan kewajiban Bank” adalah pengalihan atau penjualan aset dan kewajiban Bank yang secara paket (bulk). Ayat (2) Cukup jelas. Angka 35 Pasal 54 Cukup jelas. Angka 36 Pasal 62 Dihapus. Angka 37 Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Selain bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya sebagai anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan tertinggi dalam hubungan internal dan eksternal kelembagaan, antara lain dalam rapat dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Pemerintah, DPR, dan dalam pertemuan dengan lembaga internasional. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pembagian dan/atau perubahan pembidangan, tugas dan wewenang dilakukan dengan mempertimbangkan beban kinerja baik Ketua Dewan Komisioner, Wakil Ketua Dewan Komisioner, anggota Dewan Komisioner yang membidangi Penjaminan dan resolusi Bank, dan anggota Dewan Komisioner yang membidangi penjaminan polis. Wakil Ketua Dewan Komisioner di antaranya membidangi keuangan, organisasi, dan sumber daya manusia. Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 38 Pasal 64 Dihapus. Angka 39 Pasal 65 Ayat (1) Huruf a Merupakan pejabat ex-officio. Huruf b Merupakan pejabat ex-officio. Huruf c Merupakan pejabat ex-officio. Huruf d Anggota yang berasal dari luar Lembaga Penjamin Simpanan paling sedikit 2 (dua) orang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Ketentuan 21 (dua puluh satu) hari kerja tidak termasuk masa reses. Ayat (8) Ketentuan 5 (lima) hari kerja tidak termasuk masa reses. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 40 Pasal 65A Cukup jelas. Angka 41 Pasal 66 Cukup jelas. Angka 42 Pasal 67 Cukup jelas. Angka 43 Pasal 69 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” adalah meninggal dunia, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, atau mengalami cacat fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Alasan yang sah di antaranya didasarkan pada surat keterangan dokter atau surat keterangan dari instansi yang berwenang. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 44 Pasal 70 Dihapus. Angka 45 Pasal 71 Ayat (1) Rapat Dewan Komisioner meliputi rapat berkala dan rapat sewaktu-waktu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 46 Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “benturan kepentingan” adalah benturan yang timbul ketika kepentingan seseorang memungkinkan orang lain melakukan tindakan yang bertentangan dengan pihak tertentu, yang kepentingannya seharusnya dipenuhi oleh orang lain tersebut. Benturan kepentingan mencakup benturan kepentingan yang sudah terjadi atau yang berpotensi akan terjadi. Jenis benturan kepentingan adalah sebagai berikut:
Syarat ini dimaksudkan untuk mengurangi potensi benturan kepentingan dan untuk mewujudkan tata kelola (governance) yang baik dalam Lembaga Penjamin Simpanan. Benturan kepentingan pribadi tidak termasuk kepentingan yang diperoleh sebagai Nasabah Penyimpan Bank dan pemegang saham publik. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 47 Pasal 73 Dihapus. Angka 48 Pasal 74A Cukup jelas. Angka 49 Cukup jelas. Angka 50 Pasal 77 Dihapus. Angka 51 Pasal 78 Ayat (1) Sistem penggajian yang diberlakukan mempertimbangkan sistem yang berlaku pada industri atau pengawas perbankan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 52 Pasal 79 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “biaya penyelesaian perkara” adalah biaya bantuan hukum kepada anggota Dewan Komisioner atau mantan anggota Dewan Komisioner, mantan Kepala Eksekutif, dan/atau pegawai Lembaga Penjamin Simpanan atau mantan pegawai Lembaga Penjamin Simpanan dalam perkara tuntutan ganti rugi dimaksud, termasuk biaya perkara yang diputuskan oleh pengadilan atas perkara tersebut. Angka 53 Pasal 82 Ayat (1) Ketentuan ini tidak membatasi pemegang saham Bank dan/atau pihak lain menyediakan pendanaan untuk menangani resolusi Bank, di samping dana yang bersumber dari kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pemerintah negara asing” adalah pemerintah yang mata uangnya termasuk dalam hard currency yang memiliki peringkat layak investasi (investment grade). Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penyertaan modal pada perusahaan pengelola aset (asset management company) dilakukan pada perusahaan pengelola aset yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan maupun pada perusahaan pengelola aset lain. Ayat (6) Bentuk kekayaan bukan investasi di antaranya berupa giro, gedung kantor, dan perlengkapannya. Ayat (7) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 54 Pasal 82A Cukup jelas. Angka 55 Pasal 83A Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 56 Pasal 85 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dengan adanya pinjaman antarprogram (cross/inter borrowing fund), diharapkan Lembaga Penjamin Simpanan dapat memaksimalkan dana internal Lembaga Penjamin Simpanan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pemberian pinjaman Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan merupakan upaya Pemerintah mendukung Stabilitas Sistem Keuangan. Ayat (6) Materi muatan dalam Peraturan Pemerintah paling sedikit mengatur besaran pinjaman antarprogram, tingkat likuiditas, persyaratan, dan tata cara pemberian pinjaman. Angka 57 Pasal 86 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional memuat beban umum dan administrasi untuk tahun anggaran berikutnya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 58 Pasal 88 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tata kelola kelembagaan yang baik” adalah pengelolaan yang memiliki akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, landasan aturan hukum, serta tidak menyalahgunakan kewenangan. Yang dimaksud dengan “profesional” adalah menjalankan pekerjaan dengan keahlian, pengetahuan, dan integritas yang tinggi, dalam mengarahkan serta mendasari perbuatan. Ayat (2) Laporan kinerja kelembagaan termasuk laporan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Lembaga Penjamin Simpanan, laporan capaian kinerja Dewan Komisioner dan anggota Dewan Komisioner, laporan pelaksanaan anggaran tahunan Lembaga Penjamin Simpanan, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Bagian dari laporan yang disampaikan adalah laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Lembaga Penjamin Simpanan, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja Lembaga Penjamin Simpanan kepada masyarakat. Ayat (7) Penyampaian informasi kepada masyarakat, selain sebagai cerminan asas transparansi juga dimaksudkan agar masyarakat mengetahui arah kebijakan Penjaminan, penjaminan polis, dan resolusi Bank. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan tugasnya memeriksa laporan keuangan Lembaga Penjamin Simpanan dapat menggunakan jasa kantor akuntan publik yang memiliki reputasi internasional. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Angka 59 Pasal 89 Dihapus. Angka 60 Cukup jelas. Angka 61 Pasal 89A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kelembagaan” yaitu dukungan organisasi, sumber daya, tata kelola, dan pelaksanaan anggaran operasional dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Lembaga Penjamin Simpanan. Dengan demikian cakupan kelembagaan tersebut tidak termasuk penetapan dan pelaksanaan kebijakan di antaranya Penjaminan, penjaminan polis, penempatan dana, resolusi Bank, serta likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 89B Cukup jelas.
Pasal 89C Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Benturan kepentingan termasuk jika anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan merupakan pengurus, dan/atau pemilik LJK baik langsung maupun tidak langsung. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan tugasnya dengan baik atau kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.
Ayat (10) Cukup jelas.
Ayat (11) Cukup jelas. Angka 62 Pasal 91 Cukup jelas. Angka 63 Pasal 92 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Ketentuan ini untuk menegaskan kewenangan pemberian sanksi oleh Lembaga Penjamin Simpanan atas pelanggaran kewajiban yang harus dipenuhi untuk kepesertaan Penjaminan, dimana Bank wajib memenuhi persyaratan untuk memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Materi muatan Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan paling sedikit mengatur mengenai:
Angka 64 Pasal 95 Cukup jelas. Angka 65 Pasal 95A Cukup jelas.
Pasal 8 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan” adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Undang-Undang ini” di antaranya mencakup:
Angka 3 Pasal 5 Salah satu tujuan pendirian Otoritas Jasa Keuangan adalah untuk mewujudkan Stabilitas Sistem Keuangan. Peran memelihara Stabilitas Sistem Keuangan merupakan tanggung jawab beberapa otoritas. Otoritas Jasa Keuangan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan bersama dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan, sesuai dengan peran dan tugas masing-masing. Ketentuan ini menguatkan landasan hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk secara aktif memelihara Stabilitas Sistem Keuangan baik sesuai dengan wewenang yang dimilikinya maupun melalui mekanisme koordinasi dalam rangka menciptakan dan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan secara terpadu dan efektif. Dalam rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan di antaranya menjaga tingkat kesehatan LJK termasuk Perbankan sesuai prinsip atau standar yang dianjurkan dan dengan melakukan pengaturan dan pengawasan secara keseluruhan terhadap LJK yang berada dalam ruang lingkup pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf a Kegiatan di sektor jasa keuangan termasuk aktivitas penerbitan dan perdagangan Derivatif instrumen keuangan di antaranya indeks saham, mata uang asing dan saham tunggal asing, dan aset keuangan digital termasuk aset kripto. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Angka 4 Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pengembangan sektor keuangan” adalah kebijakan mikroprudensial yang ikut mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Angka 5 Pasal 8A Ayat (1) Huruf a Perintah tertulis kepada LJK berlaku baik untuk LJK yang melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan/atau konversi maupun LJK yang menerima penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan/atau konversi. Huruf b Yang dimaksud dengan “pihak tertentu” adalah emiten atau perusahaan publik yang pernyataan pendaftaran telah menjadi efektif menurut undang-undang mengenai pasar modal. Huruf c Kebijakan mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan RUPS atau rapat lain yang dapat diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup bentuk dan cara interaksi serta partisipasi antarpeserta serta bentuk risalah. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 8B Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi Bank sepenuhnya merupakan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi Perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan terkait sesuai dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha Bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi Bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Permohonan pernyataan pailit untuk perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian (kustodian), hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya terhadap Bank. Kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi perusahaan perasuransian sepenuhnya ada pada Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian. Kewenangan untuk mengajukan pailit bagi Dana Pensiun sepenuhnya ada pada Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Dana Pensiun, mengingat Dana Pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah besar dan dana tersebut merupakan hak dari peserta yang banyak jumlahnya. Yang dimaksud dengan “sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda oleh Undang-Undang lainnya” adalah LJK yang melaksanakan sebagian kewenangan Pemerintah dan merupakan badan hukum sui generis. Dalam hal debitur mempunyai lebih dari 1 (satu) izin kegiatan usaha, kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam pasal ini berlaku jika debitur mendapatkan izin utama dari Otoritas Jasa Keuangan. Angka 6 Pasal 9 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 10 Ayat (1) Dewan Komisioner merupakan pimpinan tertinggi Otoritas Jasa Keuangan. Dalam rangka pelaksanaan kerja sama dengan otoritas lembaga pengawas LJK di negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional lainnya di sektor jasa keuangan, anggota Dewan Komisioner bertindak sebagai pejabat yang mewakili negara. Ayat (2) Selain bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya sebagai anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan tertinggi baik dalam hubungan internal maupun eksternal kelembagaan, di antaranya dalam rapat dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Pemerintah, DPR, dan dalam pertemuan dengan lembaga internasional. Bertindak sebagai pimpinan Dewan Komisioner dimaksud mencerminkan kolektif kolegial Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. Ketua Dewan Komisioner dalam bertindak sebagai pimpinan Dewan Komisioner, di antaranya juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif, termasuk menetapkan kebijakan yang akan dilakukan oleh Kepala Eksekutif, jika dibutuhkan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan. Huruf d Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, keuangan Derivatif, dan bursa karbon. Huruf e Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, penjaminan, dan dana pensiun. Huruf f Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Lembaga Pembiayaan, perusahaan modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan LJK Lainnya. Huruf g Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor ITSK dan aset keuangan digital termasuk aset kripto. Huruf h Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen memimpin tugas pengawasan terhadap perilaku pelaku usaha jasa keuangan, edukasi, dan Pelindungan Konsumen. Pelindungan Konsumen termasuk satuan tugas untuk penanganan kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan dan pembelaan hukum. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik di antaranya mencakup tidak pernah masuk dalam daftar orang tercela. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Anggota Dewan Komisioner tidak terkendala oleh kondisi jasmani yang secara permanen menyebabkan yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan” adalah seseorang yang memiliki pengalaman, keilmuan, atau keahlian yang memadai di sektor jasa keuangan. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Angka 9 Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengunduran diri anggota Dewan Komisioner berlaku efektif sejak tanggal pengunduran diri tersebut disetujui oleh Presiden. Huruf c Dihapus. Huruf d Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan tugasnya dengan baik. Pemberhentian anggota Dewan Komisioner karena cacat fisik dan/atau cacat mental ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Yang dimaksud dengan “diperkirakan secara medis” adalah perkiraan secara medis yang dibuktikan dengan keterangan tertulis dari dokter yang menerangkan bahwa anggota Dewan Komisioner yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas lebih dari 6 (enam) bulan berturut-turut. Huruf e Yang dimaksud dengan “tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan” adalah tidak adanya alasan yang kuat yang menyebabkan anggota Dewan Komisioner diberhentikan. Alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, di antaranya, sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang ditunjuk Dewan Komisioner, penugasan di luar kegiatan Otoritas Jasa Keuangan oleh Presiden, atau kegiatan lain demi kepentingan negara. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “semenda” adalah pertalian kekeluargaan karena perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami istri dan keluarga sedarah dari pihak lain. Huruf i Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada DPR. Huruf j Cukup jelas. Angka 10 Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “benturan kepentingan” adalah benturan yang timbul ketika kepentingan seseorang memungkinkan orang lain melakukan tindakan yang bertentangan dengan pihak tertentu, yang kepentingannya seharusnya dipenuhi oleh orang lain tersebut. Benturan kepentingan mencakup benturan kepentingan yang sudah terjadi atau yang berpotensi akan terjadi. Jenis benturan kepentingan mencakup:
Syarat ini dimaksudkan untuk mengurangi potensi benturan kepentingan dan untuk mewujudkan tata kelola (governance) yang baik dalam Otoritas Jasa Keuangan. Benturan kepentingan pribadi tidak termasuk kepentingan yang diperoleh sebagai nasabah penyimpan Bank dan pemodal atau investor Pasar Modal. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Sebagai contoh, pelaksanaan rapat Dewan Komisioner yang diselenggarakan melalui pemanfaatan teknologi informasi apabila salah satu atau lebih anggota Dewan Komisioner tidak berada di tempat pelaksanaan rapat (sedang bertugas di luar negeri). Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 11 Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dewan Komisioner yang ditunjuk mewakili Otoritas Jasa Keuangan, di antaranya dalam pelaksanaan kerja sama antar-instansi dan hubungan internasional. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak mengurangi independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 13 Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kegiatan operasional” adalah kegiatan penyelenggaraan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, di antaranya mencakup pengaturan, pengawasan, penegakan hukum, edukasi, dan/atau Pelindungan Konsumen. Kegiatan administratif di antaranya mencakup kegiatan perkantoran, remunerasi, pendidikan dan pelatihan, dan/atau pengembangan organisasi dan sumber daya manusia. Yang dimaksud dengan “aset” adalah aset lancar dan aset nonlancar, di antaranya mencakup persediaan, gedung, peralatan dan mesin, kendaraan, perlengkapan kantor, dan/atau infrastruktur teknologi informasi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “standar yang wajar pada sektor jasa keuangan” adalah standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar Otoritas Jasa Keuangan dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 14 Pasal 36A Rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan sampai dengan tahun 2024 masih menggunakan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 36B Cukup jelas. Angka 15 Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan” adalah LJK dan/atau orang perseorangan atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pungutan di antaranya mencakup pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan; biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan; serta penelitian dan transaksi perdagangan efek. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penerimaan lainnya termasuk penerimaan yang berasal dari sanksi administratif. Pungutan dan penerimaan lainnya merupakan penerimaan negara bukan pajak. Ayat (4) Peraturan Pemerintah mengenai pungutan dan tata kelolanya di antaranya mencakup tata cara penetapan, jenis, besaran, waktu penagihan dan pembayaran pungutan, sanksi denda, dan/atau sanksi administratif termasuk denda administratif. Angka 16 Pasal 37A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan” adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3) Cukup jelas. Angka 17 Pasal 38 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tata kelola kelembagaan yang baik” adalah pengelolaan yang memiliki akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, landasan aturan hukum, serta tidak menyalahgunakan kewenangan. Yang dimaksud dengan “profesional” adalah menjalankan pekerjaan dengan keahlian, pengetahuan, dan integritas yang tinggi, dalam mengarahkan serta mendasari perbuatan. Ayat (2) Laporan kinerja kelembagaan termasuk laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Otoritas Jasa Keuangan, laporan capaian kinerja Dewan Komisioner dan anggota Dewan Komisioner, laporan pelaksanaan anggaran tahunan, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Bagian dari laporan yang disampaikan adalah laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Otoritas Jasa Keuangan, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja Otoritas Jasa Keuangan kepada masyarakat. Ayat (7) Penyampaian informasi kepada masyarakat, selain sebagai cerminan asas transparansi juga dimaksudkan agar masyarakat mengetahui arah kebijakan sektor jasa keuangan. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan tugasnya memeriksa laporan keuangan Otoritas Jasa Keuangan dapat menggunakan jasa kantor akuntan publik yang memiliki reputasi internasional. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Angka 18 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 38A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kelembagaan” yaitu dukungan organisasi, sumber daya, tata kelola, dan pelaksanaan anggaran operasional dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan demikian, cakupan kelembagaan tersebut tidak mencakup penetapan dan pelaksanaan kebijakan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan LJK Lainnya, serta Pelindungan Konsumen dan penyidikan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 38B Cukup jelas.
Pasal 38C Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Benturan kepentingan termasuk jika anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan merupakan pengurus, dan/atau pemilik LJK baik langsung maupun tidak langsung. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan tugasnya dengan baik atau kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.
Ayat (10) Cukup jelas.
Ayat (11) Cukup jelas. Angka 20 Pasal 48A Cukup jelas.
Pasal 48B Ayat (1) Pada prinsipnya penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan dilanjutkan ke tahap penyidikan. Namun, dengan mempertimbangkan dampak dari tindak lanjut ke tahap penyidikan tersebut terhadap Stabilitas Sistem Keuangan, sektor jasa keuangan dan/atau Pelindungan Konsumen, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan langkah penyelesaian yang bersifat restoratif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penyelesaian atas kerugian yang timbul diikuti dengan adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat (korban dan pelaku) untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dampak terhadap sektor jasa keuangan dan/atau kepentingan nasabah dan/atau masyarakat yaitu bahwa kerugian berdampak luas atau tidak terhadap sektor jasa keuangan dan/atau kepentingan nasabah dan/atau masyarakat di antaranya mempertimbangkan skala dan jenis LJK. Ayat (6) Kesepakatan di antaranya berbentuk:
Materi kesepakatan selain pembayaran ganti rugi di antaranya mencakup perbaikan proses bisnis dan tata kelola. Selain berupa kesepakatan, ganti rugi juga dapat berupa dana yang berasal dari pengembalian keuntungan yang diperoleh atau kerugian yang dihindari secara tidak sah dalam penegakan hukum tindak pidana di sektor jasa keuangan. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Dengan mempertimbangkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan mengawasi LJK dan kegiatan di sektor jasa keuangan baik Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, maupun LJK Lainnya, pengaturan dan pelaksanaan penyelesaian dapat disesuaikan dengan karakteristik bisnis dan kegiatan usaha di setiap sektor jasa keuangan sehingga penyelesaian dapat dilakukan secara optimal. Ayat (13) Cukup jelas. Angka 21 Pasal 49 Ayat (1) Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berfungsi sebagai koordinator dan pengawas penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Sebagai bagian sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), Otoritas Jasa Keuangan perlu menegaskan kewenangan dengan tetap mengedepankan fungsi koordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf i Cukup jelas.
Huruf j Cukup jelas.
Huruf k Cukup jelas.
Huruf I Cukup jelas.
Huruf m Cukup jelas.
Huruf n Penegak hukum lain di antaranya kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan.
Huruf o Cukup jelas. Angka 22 Pasal 53 Cukup jelas. Angka 23 Pasal 54 Cukup jelas.
Pasal 9 Angka 1 Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “campur tangan” adalah semua bentuk intimidasi, ancaman, pemaksaan, dan bujuk rayu dari pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi kebijakan dan pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah semua pihak di luar Bank Indonesia termasuk Pemerintah dan/atau lembaga lainnya. Ketentuan ini dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif. Termasuk dalam pengertian untuk hal-hal tertentu di antaranya dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan atau perekonomian nasional. Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan Pemerintah di antaranya ketika Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah untuk memitigasi dampak krisis dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional serta memelihara Stabilitas Sistem Keuangan. Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan pihak lain di antaranya ketika dilakukan kerja sama antara Bank Indonesia dan pihak lain atau pemberian bantuan teknis oleh pihak lain atas permintaan Bank Indonesia dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Ayat (3) Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum dengan Undang-Undang ini dan dimaksudkan agar terdapat kejelasan wewenang Bank Indonesia dalam mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain itu, Bank Indonesia sebagai badan hukum publik berwenang untuk menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya. Angka 2 Pasal 7 Yang dimaksud dengan “stabilitas nilai rupiah” adalah kestabilan harga barang dan jasa serta nilai tukar rupiah. Perkembangan harga barang dan jasa secara umum diukur dari inflasi yang rendah dan stabil. Sementara itu, kestabilan nilai tukar rupiah diukur dari kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah dalam artian inflasi yang rendah, dan stabil, serta kestabilan nilai tukar rupiah sangat penting bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kestabilan nilai tukar rupiah diperlukan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mendukung tercapainya inflasi yang rendah dan stabil. Yang dimaksud dengan “stabilitas Sistem Pembayaran” adalah kestabilan sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Stabilitas Sistem Pembayaran tercermin dari penyelenggaraan Sistem Pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal, serta ketersediaan uang rupiah yang berkualitas dan terpercaya, dengan tetap memerhatikan perluasan akses dan Pelindungan Konsumen. Stabilitas Sistem Pembayaran sangat penting dalam mendukung stabilitas rupiah dan sistem keuangan serta mendorong inklusi ekonomi dan keuangan dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan tersebut, Bank Indonesia bersinergi dan berkoordinasi dengan otoritas keuangan lainnya dalam mewujudkan sistem keuangan nasional yang mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal, sehingga dapat menjalankan fungsi intermediasi dan layanan jasa keuangan lainnya secara efektif untuk berkontribusi pada pertumbuhan perekonomian nasional. Yang dimaksud dengan “pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan” adalah perekonomian yang tumbuh sesuai dengan kapasitasnya dan inklusif sehingga terjaga stabil, seimbang, dan berdaya tahan terhadap gejolak, baik yang bersumber dari global maupun dalam negeri. Angka 3 Pasal 8 Pelaksanaan tugas ini mempunyai keterkaitan dan saling mendukung satu sama lain dalam mencapai tujuan Bank Indonesia. Untuk mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas Sistem Pembayaran, dan turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Bank Indonesia menggunakan bauran kebijakan yang terdiri atas kebijakan moneter, kebijakan Sistem Pembayaran, serta kebijakan makroprudensial yang dilakukan secara dinamis dan terintegrasi. Melalui sinergi yang kuat dari 3 (tiga) kebijakan dimaksud, ekonomi tidak hanya tumbuh secara stabil, namun juga bersifat inklusif dan mendukung ekonomi berkelanjutan. Pencapaian tujuan bank sentral di bidang moneter hanya dapat tercapai apabila Stabilitas Sistem Keuangan dan Sistem Pembayaran terjaga. Dalam hal ini, peran kebijakan moneter dalam memengaruhi sektor riil akan ditransmisikan melalui bekerjanya sistem keuangan dan Sistem Pembayaran sehingga efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter sangat memerlukan sistem keuangan yang bekerja dengan efektif dan stabil serta Sistem Pembayaran yang cepat, mudah, efisien, aman, dan andal, dengan memperhatikan perluasan akses, kepentingan nasional, dan Pelindungan Konsumen. Di sisi lain, potensi risiko yang terjadi di sektor keuangan maupun perekonomian secara makro dapat diminimalisasi dengan kondisi moneter yang stabil. Stabilitas Sistem Keuangan dan Sistem Pembayaran terkait erat satu sama lain. Stabilitas Sistem Keuangan dapat tercapai apabila didukung oleh Sistem Pembayaran yang stabil sehingga Sistem Keuangan dapat bekerja efektif dan efisien, demikian pula sebaliknya. Dalam turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudensial untuk mendorong fungsi intermediasi yang seimbang, berkualitas dan berkelanjutan, memitigasi dan mengelola risiko sistemik, meningkatkan inklusi ekonomi dan Inklusi Keuangan, serta keuangan berkelanjutan. Angka 4 Pasal 9 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah semua pihak di luar Bank Indonesia termasuk Pemerintah dan/atau lembaga lainnya. Ketentuan ini dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif. Termasuk dalam pengertian untuk hal-hal tertentu di antaranya dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan atau perekonomian nasional. Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan oleh Pemerintah di antaranya ketika Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah untuk memitigasi dampak krisis dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional serta memelihara Stabilitas Sistem Keuangan. Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan oleh pihak lain di antaranya ketika dilakukan kerja sama antara Bank Indonesia dan pihak lain atau pemberian bantuan teknis oleh pihak lain atas permintaan Bank Indonesia dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “memengaruhi suku bunga pasar” adalah upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk memastikan suku bunga kebijakan dapat tertransmisikan ke suku bunga pasar. Ayat (5) Pengelolaan nilai tukar ditujukan untuk menjaga perkembangan nilai tukar agar stabil dan sejalan dengan kondisi fundamental perekonomian, sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mendukung tercapainya inflasi yang rendah dan stabil. Ayat (6) Bank Indonesia menjaga permintaan dan penawaran likuiditas di Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, Perbankan, dan perekonomian di antaranya melalui instrumen operasi moneter, pengembangan dan pendalaman Pasar Uang, serta pengaturan giro wajib minimum. Ayat (7) Huruf a Operasi moneter Bank Indonesia dapat dilakukan melalui:
Huruf b Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 10A Ayat (1) Huruf a Pengaturan pengelolaan risiko terkait aliran modal termasuk di antaranya pengaturan utang luar negeri. Huruf b Pengaturan mengenai penerimaan dan/atau penggunaan devisa bagi penduduk termasuk di antaranya repatriasi, penyerahan, dan/atau konversi devisa. Ayat (2) Cukup jelas.
Cukup jelas. Angka 7 Pasal 11 Ayat (1) Pengelolaan likuiditas ditujukan untuk menjaga keseimbangan antara penawaran dan permintaan likuiditas sesuai dengan kapasitas perekonomian. Pengelolaan likuiditas dilakukan dengan menambah atau mengurangi likuiditas di sektor keuangan pada saat kondisi ekonomi mengalami kontraksi atau ekspansi, sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “surat berharga berkualitas lainnya” adalah surat berharga yang memiliki rating tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan Bank Indonesia. Pembelian atau penjualan surat berharga negara dan/atau surat berharga yang berkualitas lainnya di pasar sekunder dilakukan secara jual putus (outright) dan/atau repo (repurchase agreement) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Penempatan dana pada lembaga keuangan dalam rangka pengembangan Pasar Uang dilakukan dalam bentuk penyertaan modal Bank Indonesia pada lembaga keuangan yang dibentuk oleh Pemerintah dalam rangka sekuritisasi aset untuk memperluas akses terhadap sumber pembiayaan bagi perekonomian. Pengaturan giro wajib minimum Bank dan pengaturan kredit atau pembiayaan ditujukan untuk mengelola likuiditas agar sesuai dengan kebutuhan perekonomian. Bauran kebijakan moneter dan makroprudensial dilakukan sebagai upaya pengelolaan likuiditas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui peningkatan fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, penjagaan ketahanan Sistem Keuangan, dan peningkatan inklusi ekonomi dan Inklusi Keuangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “kondisi makro ekonomi” adalah kondisi perekonomian secara keseluruhan atau agregat yang tercermin pada perkembangan indikator ekonomi, di antaranya mencakup inflasi, nilai tukar Rupiah, harga aset, pertumbuhan kredit, pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan, dan neraca pembayaran. Instrumen ini dimaksudkan sebagai upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam kondisi Sistem Keuangan normal. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta data dan/atau informasi dari pihak perusahaan induk, perusahaan anak, dan pihak yang mempunyai hubungan usaha dan/atau hubungan keuangan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Angka 9 Pasal 24 Dihapus. Angka 10 Pasal 25 Dihapus. Angka 11 Pasal 26 Dihapus. Angka 12 Pasal 27 Dihapus. Angka 13 Pasal 28 Dihapus. Angka 14 Pasal 29 Dihapus. Angka 15 Pasal 30 Dihapus. Angka 16 Pasal 31 Dihapus. Angka 17 Pasal 32 Dihapus. Angka 18 Pasal 33 Dihapus. Angka 19 Pasal 34 Dihapus. Angka 20 Pasal 35 Dihapus. Angka 21 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 35A Cukup jelas.
Pasal 35B Ayat (1) Huruf a Pengaturan makroprudensial dilakukan di antaranya dengan menggunakan instrumen kebijakan untuk mendorong:
Huruf b Pengawasan makroprudensial dilakukan melalui surveilans makroprudensial terhadap sistem keuangan dan/atau pemeriksaan terhadap perbankan dan/atau pihak lainnya untuk memastikan pelaksanaan kebijakan makroprudensial. Dalam rangka pemeriksaan terhadap perbankan, Bank Indonesia berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. Dalam rangka pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia melakukan pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap pengaturan makroprudensial. Huruf c Pengaturan dan pengembangan pembiayaan inklusif dan Keuangan Berkelanjutan dilakukan melalui kebijakan keuangan inklusif dan kebijakan untuk mendukung pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta target inklusif lainnya, berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan otoritas terkait. Huruf d Penyediaan dana dalam rangka menjalankan fungsi lender of the last resort dilakukan di antaranya melalui penyediaan dana pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 23 Cukup jelas. Angka 24 Pasal 35C Cukup jelas.
Pasal 35D Cukup jelas. Angka 25 Pasal 38A Cukup jelas. Angka 26 Pasal 40 Huruf a Yang dimaksud dengan “warga negara Indonesia” adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan sebagai warga negara Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “memiliki keahlian” adalah seseorang yang menguasai suatu bidang keahlian berdasarkan latar belakang pendidikan, keilmuan, dan pengalaman yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “memiliki pengalaman” adalah latar belakang perjalanan karier yang bersangkutan dalam salah satu bidang ekonomi, keuangan, Perbankan, atau hukum khususnya yang berkaitan dengan tugas Bank Sentral. Huruf d Cukup jelas. Angka 27 Pasal 41 Cukup jelas. Angka 28 Pasal 47 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “mempunyai kepentingan langsung” adalah apabila yang bersangkutan duduk sebagai pengurus dalam suatu perusahaan atau menjalankan sendiri usaha perdagangan barang atau jasa. Yang dimaksud dengan “mempunyai kepentingan tidak langsung” adalah apabila yang bersangkutan memiliki kepentingan melalui kepemilikan saham suatu perusahaan di atas 25% (dua puluh lima persen). Huruf b Mengingat anggota Dewan Gubernur memiliki tugas yang sangat strategis di bidang moneter, sistem pembayaran, serta makroprudensial sudah sewajarnya apabila anggota Dewan Gubernur lebih profesional dan loyal terhadap pelaksanaan tugasnya. Rangkap jabatan yang dimaksud termasuk pengurus pada partai politik serta lembaga atau organisasi lainnya yang dapat mengganggu kinerja dan profesionalitasnya berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia. Namun, berdasarkan keterkaitan tugas dan jabatannya anggota Dewan Gubernur secara ex-officio dapat merangkap jabatan pada lembaga tertentu di antaranya pada International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan Institut Bankir Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal Deputi Gubernur Senior dan/atau Deputi Gubernur yang diketahui telah melakukan pelanggaran tidak bersedia mengundurkan diri, Gubernur mengajukan usul kepada Presiden untuk meminta yang bersangkutan mengundurkan diri. Apabila yang melakukan pelanggaran adalah Gubernur, Presiden meminta yang bersangkutan untuk mengundurkan diri. Angka 29 Pasal 58 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tata kelola kelembagaan yang baik” adalah pengelolaan yang memiliki akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, landasan aturan hukum, serta tidak menyalahgunakan kewenangan. Yang dimaksud dengan “profesional” adalah menjalankan pekerjaan dengan keahlian, pengetahuan, dan integritas yang tinggi, dalam mengarahkan serta mendasari perbuatan. Ayat (2) Laporan kinerja kelembagaan termasuk laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Bank Indonesia, laporan capaian kinerja Dewan Gubernur dan anggota Dewan Gubernur, laporan pelaksanaan anggaran tahunan Bank Indonesia, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja kelembagaan Bank Indonesia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Bagian dari laporan yang disampaikan adalah laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Bank Indonesia, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja Bank Indonesia kepada masyarakat. Ayat (7) Penyampaian informasi kepada masyarakat, selain sebagai cerminan asas transparansi juga dimaksudkan agar masyarakat mengetahui arah kebijakan moneter yang dapat dipakai sebagai salah satu pertimbangan penting dalam perencanaan usaha para pelaku pasar. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan tugasnya memeriksa laporan keuangan Bank Indonesia dapat menggunakan jasa kantor akuntan publik yang memiliki reputasi internasional. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Angka 30 Pasal 58A Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kelembagaan” adalah dukungan organisasi, sumber daya, tata kelola, dan pelaksanaan anggaran operasional dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Bank Indonesia. Dengan demikian kelembagaan tersebut tidak mencakup penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 31 Pasal 58B Cukup jelas.
Pasal 58C Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Benturan kepentingan termasuk jika anggota Badan Supervisi Bank Indonesia merupakan pengurus, dan/atau pemilik lembaga jasa keuangan baik langsung maupun tidak langsung. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan tugasnya dengan baik atau kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Angka 32 Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Apabila setelah tanggal 31 Desember belum mendapat persetujuan, anggaran yang digunakan adalah anggaran tahun anggaran sebelumnya.
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penetapan klasifikasi penggunaan anggaran untuk kebijakan moneter, Sistem Pembayaran, dan makroprudensial disepakati bersama antara Bank Indonesia dan DPR yang dibahas secara khusus dan tertutup. DPR dalam hal ini adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas. Angka 33 Pasal 61 Dihapus. Angka 34 Pasal 62 Ayat (1) Cadangan umum digunakan untuk menambah modal atau menutup defisit Bank Indonesia. Cadangan tujuan digunakan untuk biaya penggantian dan/atau pembaruan harta tetap, pengadaan perlengkapan yang diperlukan, pengembangan sumber daya manusia dan organisasi, serta peningkatan kualitas teknologi dalam melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia serta penyertaan modal, yang disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. DPR dalam hal ini adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam hal modal termasuk cadangan umum telah mencapai 10% (sepuluh persen) dari kewajiban moneter, sisa surplus yang merupakan bagian Pemerintah terlebih dahulu harus digunakan untuk membayar kewajiban Pemerintah kepada Bank Indonesia. Angka 35 Pasal 64A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Dewan Gubernur paling sedikit mencakup mekanisme dan kriteria/persyaratan dalam pengelolaan kekayaan Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 36 Cukup jelas. Angka 37 Pasal 64B Cukup jelas.
Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan “Rupiah digital” adalah Rupiah dalam bentuk digital yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan merupakan kewajiban moneter Bank Indonesia. Rupiah digital memiliki fungsi yang sama dengan Rupiah kertas dan Rupiah logam, yaitu sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, alat tukar (medium of exchange), dan alat penyimpan nilai (store of value).
Cukup jelas. Angka 2 Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk pemberitahuan dan pertukaran informasi sebagai bahan pertimbangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 14A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah diwujudkan dalam bentuk pertukaran informasi, di antaranya terkait dengan proyeksi jumlah Rupiah digital yang akan diterbitkan, mekanisme, dan rencana kasus penggunaan (use case) Rupiah digital. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 19 Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (1) Cukup jelas.
Ruang lingkup koordinasi pengembangan sektor keuangan mencakup aspek pendalaman, efisiensi, dan aksesibilitas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “aktivitas di bidang sistem pembayaran” adalah aktivitas yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kegiatan usaha yang merupakan kewenangan Bank Indonesia meliputi aktivitas di bidang sistem pembayaran, penerbitan dan transaksi Surat Berharga di Pasar Uang, dan kegiatan usaha dalam valuta asing. Angka 3 Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Perusahaan lain yang mendukung industri Perbankan di antaranya perusahaan di bidang teknologi informasi, teknologi finansial, lembaga kliring, serta switching company. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kerja sama dengan LJK lain di antaranya mencakup kerja sama pemasaran produk asuransi, pemasaran produk reksa dana, penyelenggaraan dana pensiun bagi karyawan Bank Umum, penyaluran kredit secara channeling, dan produk lainnya. Kerja sama dengan selain LJK di antaranya mencakup kerja sama dengan perusahaan di bidang teknologi informasi dalam mengembangkan layanan digital.
Cukup jelas. Angka 4 Pasal 7A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “memanfaatkan teknologi informasi” adalah pemanfaatan teknologi informasi dalam rangka mendorong transformasi Perbankan menuju era digital banking. Ayat (2) Pelaksanaan kerja sama ditujukan untuk mendorong transformasi digital dan membangun keterkaitan (interlink) antara Bank dan ITSK berlandaskan asas yang mendukung keterbukaan, interoperabilitas, keamanan, fleksibilitas, Pelindungan Konsumen, independensi, dan kebaruan. Ayat (3) Ketentuan peraturan perundang-undangan di antaranya mencakup ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik serta pelindungan data pribadi yang mengatur mengenai:
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (1) Bank digital merupakan Bank yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat, atau menggunakan kantor fisik yang terbatas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 5 Pasal 8A Ayat (1) Kewajiban transparansi suku bunga dilaksanakan dengan mempublikasikan suku bunga dasar kredit, di antaranya mencakup cost of fund, margin, dan overhead cost. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 6 Pasal 10 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 12A Cukup jelas. Angka 8 Pasal 12B Cukup jelas. Angka 9 Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Kerja sama dengan LJK lain di antaranya mencakup kerja sama pemasaran produk asuransi, pemasaran produk reksa dana, penyelenggaraan Dana Pensiun bagi karyawan BPR, penyaluran Kredit secara channeling, dan produk lainnya. Kerja sama dengan selain LJK di antaranya mencakup kerja sama dengan perusahaan di bidang teknologi informasi dalam mengembangkan layanan digital. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Kegiatan lainnya di antaranya mencakup sistem pembayaran berbasis digital dan penerbitan kartu anjungan tunai mandiri.
Cukup jelas.
Cukup jelas. Angka 10 Pasal 13A Cukup jelas. Angka 11 Pasal 14 Larangan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kegiatan usaha BPR yang terutama ditujukan untuk melayani namun tidak terbatas pada usaha mikro dan kecil serta masyarakat di wilayah setempat. Untuk itu jenis pelayanan yang dapat diberikan oleh BPR disesuaikan dengan maksud tersebut tanpa mengurangi daya saing BPR terhadap Bank Umum dan lembaga keuangan mikro. Huruf a Dengan larangan menerima Simpanan berupa Giro maka BPR tidak dapat:
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Angka 12 Pasal 15 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 15A Cukup jelas. Angka 14 Pasal 16 Ayat (1) Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapa pun pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana. Sehubungan dengan itu dalam ayat ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai BPR. Namun, di masyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan atau semacam Simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh Dana Pensiun, atau oleh Perusahaan Asuransi. Kegiatan lembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha Perbankan berdasarkan ketentuan dalam ayat ini. Kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh lembaga tersebut diatur dengan undang-undang tersendiri. Ayat (2) Dalam memberikan izin usaha sebagai Bank Umum dan BPR, Otoritas Jasa Keuangan selain memperhatikan pemenuhan persyaratan untuk memperoleh izin usaha, juga memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antar-Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank dalam suatu wilayah tertentu, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Huruf a Pada Bank Umum dimungkinkan kepengurusan pihak asing dalam hal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Persyaratan kepemilikan termasuk jumlah dan komposisi kepemilikan pihak asing yang diizinkan pada Bank. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya memuat:
Angka 15 Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kantor” adalah kantor fisik tempat kedudukan pengurusan Bank di wilayah hukum Republik Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 16 Pasal 19 Dihapus. Angka 17 Pasal 19A Cukup jelas. Angka 18 Pasal 20 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 20A Ayat (1) Penerapan mengenai prinsip kehati-hatian di antaranya mencakup:
Ayat (2) Cukup jelas.
Cukup jelas. Angka 20 Pasal 21 Cukup jelas. Angka 21 Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Badan hukum Indonesia di antaranya Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, perseroan terbatas, dan badan hukum lain yang dimiliki oleh swasta yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 22 Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “integrasi” adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank, dengan mengalihkan aset dan/atau liabilitas Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri secara hukum kepada Bank, dan selanjutnya dilakukan pencabutan izin usaha Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri. Yang dimaksud dengan “konversi” adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri untuk mengubah izin usaha Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri menjadi izin usaha Bank, dan selanjutnya dilakukan pencabutan izin usaha Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 23 Pasal 28A Cukup jelas. Angka 24 Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengawasan secara langsung adalah pemeriksaan terhadap Bank. Pengawasan secara tidak langsung adalah pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi atas laporan, data, dan informasi Bank yang dapat ditindaklanjuti dengan pengawasan langsung dan/atau tindakan perbaikan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “pihak terelasi” (sister company) adalah beberapa perusahaan/badan usaha yang terpisah secara kelembagaan dan/atau secara hukum namun dimiliki dan/atau dikendalikan oleh PSP yang sama. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 25 Pasal 30 Kewajiban Bank di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank yang terdiri atas pejabat Bank yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas operasional Bank dan karyawan yang mempunyai akses terhadap informasi mengenai keadaan Bank. Angka 26 Pasal 30A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tambahan modal di antaranya mencakup capital conservation buffer, tambahan modal berdasarkan kondisi pertumbuhan Kredit (countercyclical buffer), dan capital surcharge untuk Bank Sistemik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “tambahan modal berdasarkan kondisi pertumbuhan Kredit (countercyclical buffer)” adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian jika terjadi pertumbuhan Kredit dan/atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah Perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan. Angka 27 Pasal 31 Dihapus. Angka 28 Pasal 31A Pihak lain di antaranya mencakup pengelola statuter, akuntan publik, auditor teknologi informasi, penilai publik, konsultan hukum, dan aktuaris. Tugas tertentu di antaranya mencakup penggantian tugas manajemen, pemeriksaan, dan perhitungan risiko. Angka 29 Pasal 33 Cukup jelas. Angka 30 Pasal 34 Ayat (1) Laporan lainnya di antaranya mencakup laporan penerapan tata kelola, laporan rencana pengembangan teknologi informasi, laporan realisasi rencana bisnis Bank, laporan profil risiko, laporan informasi perpajakan bagi Nasabah asing, dan laporan pelaksanaan audit intern. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 31 Pasal 35 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 36 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 36A Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “data/dokumen” adalah segala jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronik, yang terkait dengan objek pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Yang dimaksud dengan “setiap tempat yang terkait Bank” adalah setiap bagian ruangan dari kantor Bank dan tempat lain di luar Bank yang terkait dengan objek pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “setiap pihak” adalah orang atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan dan operasional Bank, baik langsung maupun tidak langsung, di antaranya, PSPT atau pihak tertentu yang namanya tidak tercantum sebagai pegawai, pengurus, atau pemegang saham Bank atau yang setara tetapi dapat memengaruhi kegiatan operasional Bank atau keputusan manajemen Bank. Huruf c Rekening tertentu di antaranya mencakup rekening Simpanan dan rekening Kredit atau rekening Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 34 Pasal 37 Ayat (1) Keadaan suatu Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya jika berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha Bank semakin memburuk, di antaranya ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan Bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati hatian dan asas Perbankan yang sehat. Huruf a Membatasi kewenangan di antaranya pembatasan keputusan pemberian bonus atau tantiem, pemberian dividen kepada pemilik Bank, atau kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak di luar Bank yang bersangkutan, baik Bank lain, badan usaha lain, maupun individu yang memenuhi persyaratan. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Ayat (2) Pemberitahuan secara tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai penyerahan penanganan Bank untuk dilakukan tindakan resolusi oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 35 Pasal 37C Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak lain di antaranya mencakup pelapor sistem layanan informasi keuangan, debitur, dan lembaga pengelola informasi perkreditan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 37D Cukup jelas.
Pasal 37E Ayat (1) Kewajiban Bank di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank yang terdiri atas semua pejabat dan karyawan Bank. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pegawai Bank” adalah semua pejabat dan karyawan Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 36 Pasal 38 Ayat (1) Pihak utama Bank di antaranya mencakup PSP atau yang setara, direksi atau yang setara, dan dewan komisaris atau yang setara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 37 Pasal 40 Kewajiban Bank di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank yang terdiri atas semua pejabat dan karyawan Bank. Angka 38 Pasal 40A Ayat (1) Huruf a Peradilan dalam perkara perdata di antaranya peradilan umum dan peradilan agama, termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perceraian dan dalam rangka pemulihan aset. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Permintaan tersebut dilakukan sesuai dengan undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan peraturan pelaksanaannya. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia, akses data dan informasi dapat dilakukan melalui sistem informasi terintegrasi. Huruf k Dalam pelaksanaan tugas Lembaga Penjamin Simpanan, akses data dan informasi dapat dilakukan melalui sistem informasi terintegrasi. Huruf l Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 40B Cukup jelas.
Pasal 40C Cukup jelas. Angka 39 Pasal 41 Dihapus. Angka 40 Pasal 41A Cukup jelas. Angka 41 Pasal 42 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kepentingan peradilan” adalah kepentingan dalam proses peradilan suatu perkara yang dimulai dari tahap penyidikan sampai dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Penyidik lain yang diberi wewenang· berdasarkan Undang-Undang di antaranya penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan” adalah menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian setingkat menteri atau jabatan satu tingkat di bawahnya yang diberikan wewenang penyidikan berdasarkan Undang-Undang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Permintaan dan pemberian izin tertulis dapat dilakukan baik secara elektronik maupun non-elektronik. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 42 Pasal 42A Kewajiban Bank di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank yang terdiri atas pejabat Bank yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas operasional Bank dan karyawan yang mempunyai akses terhadap informasi mengenai keadaan Bank. Angka 43 Pasal 43 Cukup jelas. Angka 44 Pasal 43A Cukup jelas. Angka 45 Pasal 44 Tukar menukar informasi antar-Bank dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Angka 46 Pasal 44A Cukup jelas. Angka 47 Pasal 44B Cukup jelas.
Pasal 44C Cukup jelas. Angka 48 Pasal 45 Cukup jelas. Angka 49 Pasal 45A Cukup jelas. Angka 50 Pasal 46 Cukup jelas. Angka 51 Pasal 47 Cukup jelas. Angka 52 Pasal 47A Cukup jelas. Angka 53 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 54 Pasal 49 Cukup jelas. Angka 55 Pasal 50 Cukup jelas. Angka 56 Pasal 50A Cukup jelas. Angka 57 Pasal 50B Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah Setiap Orang yang memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
Pasal 50C Cukup jelas.
Pasal 50D Cukup jelas. Angka 58 Pasal 51 Dihapus.
Pasal 15 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2A Cukup jelas. Angka 3 Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dana sosial lainnya di antaranya penerimaan Bank Syariah dan UUS yang berasal dari pengenaan sanksi terhadap Nasabah (ta’zir). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 6 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kantor” adalah kantor fisik tempat kedudukan pengurusan Bank di wilayah hukum Republik Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 6A Cukup jelas. Angka 7 Pasal 7 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 13 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 17 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 17A Cukup jelas. Angka 11 Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penempatan dana Akad mudharabah selama dalam bentuk Simpanan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf I Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Yang dimaksud dengan “aktivitas di bidang sistem pembayaran” adalah aktivitas yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penempatan dana Akad mudharabah selama dalam bentuk Simpanan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Yang dimaksud dengan “aktivitas di bidang sistem pembayaran” adalah aktivitas yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kegiatan usaha yang merupakan kewenangan Bank Indonesia meliputi aktivitas di bidang sistem pembayaran, penerbitan dan transaksi surat berharga di Pasar Uang, dan kegiatan usaha dalam valuta asing. Angka 12 Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Lembaga nonkeuangan yang mendukung industri Perbankan Syariah di antaranya perusahaan di bidang teknologi informasi, teknologi finansial, lembaga kliring, switching company, dan perusahaan yang melaksanakan bidang usaha yang mendukung Pembiayaan Perbankan Syariah. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Kerja sama dengan LJK lain seperti kerja sama pemasaran produk asuransi, pemasaran produk reksa dana, penyelenggaraan Dana Pensiun bagi karyawan Bank Umum Syariah, penyaluran Pembiayaan secara channeling, dan produk lainnya. Kerja sama dengan selain LJK seperti kerja sama dengan perusahaan di bidang teknologi informasi dalam mengembangkan layanan digital. Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Kerja sama dengan LJK lain di antaranya mencakup kerja sama pemasaran produk asuransi, pemasaran produk reksa dana, penyelenggaraan Dana Pensiun bagi karyawan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, penyaluran Pembiayaan secara channeling, dan produk lainnya. Kerja sama dengan selain LJK di antaranya mencakup kerja sama dengan perusahaan di bidang teknologi informasi dalam mengembangkan layanan digital. Huruf g Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas. Angka 13 Pasal 20A Ayat (1) Bank digital merupakan Bank yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat, atau menggunakan kantor fisik yang terbatas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 14 Pasal 21 Ayat (1) Huruf a Penempatan dana Akad mudharabah selama dalam bentuk Simpanan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 15 Pasal 21A Huruf a Kerja sama dengan LJK lain seperti kerja sama pemasaran produk asuransi, pemasaran produk reksa dana, penyelenggaraan Dana Pensiun bagi karyawan BPR Syariah, penyaluran Pembiayaan secara channeling, dan produk lainnya. Kerja sama dengan selain LJK seperti kerja sama dengan perusahaan di bidang teknologi informasi dalam mengembangkan layanan digital. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
Pasal 21B Ayat (1) Yang dimaksud dengan “memanfaatkan teknologi informasi” adalah pemanfaatan teknologi informasi dalam rangka mendorong transformasi Perbankan Syariah dan UUS menuju era digital banking. Ayat (2) Pelaksanaan kerja sama ditujukan untuk mendorong transformasi digital dan membangun keterkaitan (interlink) antara Bank Syariah dan UUS dengan ITSK berlandaskan asas yang mendukung keterbukaan, interoperabilitas, keamanan, fleksibilitas, Pelindungan Konsumen, independensi, dan kebaruan. Ayat (3) Peraturan perundang-undangan di antaranya ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik serta pelindungan data pribadi yang mengatur mengenai:
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 21C Cukup jelas. Angka 16 Pasal 24 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 25 Larangan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kegiatan usaha BPR Syariah yang terutama ditujukan untuk melayani namun tidak terbatas pada usaha mikro dan kecil serta masyarakat di wilayah setempat. Untuk itu jenis pelayanan yang dapat diberikan oleh BPR Syariah disesuaikan dengan maksud tersebut tanpa mengurangi daya saing BPR Syariah terhadap Bank Umum Syariah dan lembaga keuangan mikro syariah. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dengan larangan menerima Simpanan berupa Giro maka BPR Syariah tidak dapat:
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas. Angka 18 Pasal 26 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 27 Ayat (1) Pihak utama di antaranya mencakup PSP atau yang setara, direksi atau yang setara, dan dewan komisaris atau yang setara. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 20 Pasal 28 Dihapus. Angka 21 Pasal 29 Dihapus. Angka 22 Pasal 30 Dihapus. Angka 23 Pasal 31 Dihapus. Angka 24 Pasal 34 Cukup jelas. Angka 25 Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan lainnya di antaranya mencakup laporan penerapan tata kelola, laporan rencana pengembangan teknologi informasi, laporan realisasi rencana bisnis Bank, laporan profil risiko, laporan informasi perpajakan bagi Nasabah asing, dan laporan pelaksanaan audit internal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 26 Pasal 38 Cukup jelas. Angka 27 Pasal 40 Cukup jelas. Angka 28 Pasal 41 Kewajiban Bank Syariah dan UUS di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank Syariah atau pegawai Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Pegawai Bank Syariah atau pegawai Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS merupakan semua pejabat dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Angka 29 Pasal 41A Ayat (1) Huruf a Peradilan dalam perkara perdata di antaranya peradilan umum dan peradilan agama, termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perceraian dan dalam rangka pemulihan aset. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Permintaan tersebut dilakukan sesuai dengan undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan peraturan pelaksanaannya. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia, akses data dan informasi dapat dilakukan melalui sistem informasi terintegrasi. Huruf k Dalam pelaksanaan tugas Lembaga Penjamin Simpanan, akses data dan informasi dapat dilakukan melalui sistem informasi terintegrasi. Huruf l Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 41B Cukup jelas.
Pasal 41C Cukup jelas. Angka 30 Pasal 42 Dihapus. Angka 31 Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kepentingan peradilan” adalah kepentingan dalam proses peradilan suatu perkara yang dimulai dari tahap penyidikan sampai dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan Undang-Undang di antaranya penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Permintaan dan pemberian izin tertulis dapat dilakukan baik secara elektronik maupun non-elektronik. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 32 Pasal 44 Kewajiban Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank Syariah atau pegawai Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Pegawai Bank Syariah atau pegawai Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS merupakan semua pejabat dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Angka 33 Pasal 45 Cukup jelas. Angka 34 Pasal 45A Cukup jelas. Angka 35 Pasal 46 Tukar menukar informasi antar-Bank dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Angka 36 Pasal 47 Kewajiban Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank Syariah atau pegawai Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS merupakan pejabat Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas operasional Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan karyawan yang mempunyai akses terhadap informasi mengenai keadaan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Angka 37 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 38 Pasal 48A Cukup jelas.
Pasal 48B Cukup jelas.
Pasal 48C Cukup jelas. Angka 39 Pasal 49 Cukup jelas. Angka 40 Pasal 50 Cukup jelas. Angka 41 Pasal 51 Cukup jelas. Angka 42 Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan “data/dokumen” adalah segala jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronik, yang terkait dengan objek pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Yang dimaksud dengan “setiap tempat yang terkait dengan Bank Syariah dan UUS” adalah setiap bagian ruangan dari kantor Bank Syariah dan UUS dan tempat lain di luar Bank Syariah dan UUS yang terkait dengan objek pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “setiap pihak” adalah orang atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan dan operasional Bank Syariah dan UUS, baik langsung maupun tidak langsung, di antaranya, PSPT atau pihak tertentu yang namanya tidak tercantum sebagai pegawai, pengurus, atau pemegang saham Bank Syariah dan Bank Konvensional yang memiliki UUS, tetapi dapat memengaruhi kegiatan operasional Bank Syariah dan UUS atau keputusan manajemen Bank Syariah dan Bank Konvensional yang memiliki UUS. Huruf c Rekening tertentu di antaranya mencakup rekening Simpanan dan rekening Pembiayaan. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “pihak terelasi” (sister company) adalah beberapa perusahaan/badan usaha yang terpisah secara kelembagaan dan/atau secara hukum namun dimiliki dan/atau dikendalikan oleh PSP yang sama. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 43 Pasal 53 Ayat (1) Pihak lain di antaranya pengelola statuter, akuntan publik, auditor teknologi informasi, penilai publik, konsultan hukum, dan aktuaris. Tugas tertentu di antaranya penggantian tugas manajemen, pemeriksaan, dan perhitungan risiko. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 44 Pasal 54 Ayat (1) Keadaan suatu Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya jika berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha Bank Syariah makin memburuk, di antaranya ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan Bank Syariah yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas Perbankan Syariah yang sehat. Huruf a Membatasi kewenangan di antaranya pembatasan keputusan pemberian bonus atau tantiem, pemberian dividen kepada pemilik Bank Syariah, atau kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak di luar Bank Syariah yang bersangkutan, baik Bank Syariah lain, badan usaha lain, maupun individu yang memenuhi persyaratan. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas.
Ayat (2) Pemberitahuan secara tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai penyerahan penanganan Bank Syariah untuk dilakukan tindakan resolusi oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas. Angka 45 Pasal 54A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak lain di antaranya mencakup pelapor sistem layanan informasi keuangan, debitur, dan lembaga pengelola informasi perkreditan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 54B Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS” adalah semua pejabat dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 46 Pasal 59 Cukup jelas. Angka 47 Pasal 60 Cukup jelas. Angka 48 Pasal 61 Cukup jelas. Angka 49 Pasal 62 Cukup jelas. Angka 50 Pasal 63 Cukup jelas. Angka 51 Pasal 64 Cukup jelas. Angka 52 Pasal 65 Cukup jelas. Angka 53 Pasal 66 Cukup jelas. Angka 54 Pasal 66A Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah Setiap Orang yang memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya dimaksud tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
Pasal 66B Cukup jelas.
Pasal 66C Cukup jelas. Angka 55 Pasal 67A Cukup jelas. Angka 56 Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Konsolidasi Perbankan Syariah dilakukan dalam upaya untuk memperkuat ekosistem Perbankan Syariah yang efektif, efisien, sehat, dan berdaya saing, serta memberikan daya dukung bagi perekonomian nasional. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “sarana transaksi” adalah sarana perdagangan baik di pasar perdana maupun pasar sekunder melalui penyelenggara pasar di pasar keuangan.
Huruf b Yang dimaksud dengan “sarana kliring dan/atau penjaminan (central counter party)” adalah lembaga kliring yang melayani baik untuk transaksi di bursa maupun di over the counter dengan novasi.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Yang dimaksud dengan “sarana pengelola informasi transaksi (trade repository) instrumen keuangan dan/atau Derivatif” adalah lembaga yang mengelola semua informasi terkait transaksi Derivatif.
Huruf f Cukup jelas.
Ayat (3) Bentuk koordinasi dalam mendorong pengembangan infrastruktur pasar misalnya mendorong terbentuknya sarana pengelola informasi transaksi Derivatif yang terintegrasi untuk seluruh kelas aset.
Ayat (4) Infrastruktur pasar yang diselenggarakan otoritas sektor keuangan misalnya penyelenggaraan sarana penyelesaian dana oleh Bank Indonesia.
Ayat (5) Untuk mendukung efisiensi pasar, infrastruktur pendukung pasar diharapkan dapat mendukung interoperabilitas. Misalnya, pada penyelenggaraan sistem dan/atau sarana perdagangan bagi lebih dari 1 (satu) instrumen keuangan dilakukan pada penyelenggara perdagangan alternatif di bidang Pasar Modal yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dapat menyediakan sistem dan/atau sarana perdagangan bagi instrumen keuangan di Pasar Uang setelah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia. Instrumen keuangan mencakup efek di Pasar Modal serta instrumen di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
Ayat (6) Otoritas asal infrastruktur pasar dapat berbeda dengan otoritas pengawas instrumen keuangan. Yang dimaksud dengan “otoritas asal infrastruktur pasar” adalah lembaga pengawas yang memberikan izin usaha kelembagaan infrastruktur, sedangkan otoritas pengawas instrumen keuangan adalah lembaga yang memberikan izin bagi perdagangan instrumen keuangan.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas.
Ayat (10) Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Ayat (1) Instrumen keuangan dan/atau transaksi atas instrumen keuangan yang memiliki lebih dari satu karakteristik pasar misalnya transaksi repo (repurchase agreement) dengan underlying efek bersifat utang yang diklasifikasikan sebagai transaksi sekunder efek di Pasar Modal, tetapi dapat diklasifikasikan sebagai transaksi di Pasar Uang. Contoh lainnya adalah aset keuangan digital seperti jenis stablecoin yang dikaitkan nilainya dengan sekumpulan mata uang asing yang berkarakteristik seperti jenis reksa dana pasar uang yang diperdagangkan di Pasar Modal. Yang dimaksud dengan “pasar komoditi” adalah pasar komoditi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai perdagangan berjangka komoditi. Otoritas mencakup Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 Pasal 3A Peraturan perundang-undangan di sektor keuangan termasuk undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan, undang-undang mengenai Bank Indonesia, undang-undang mengenai pasar modal, undang-undang mengenai perasuransian, dan undang-undang mengenai dana pensiun.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 5 Huruf a Angka 1 Pernyataan Pendaftaran efektif dalam hal ini menunjukkan lengkap atau dipenuhinya seluruh prosedur dan persyaratan atas Pernyataan Pendaftaran yang diwajibkan dalam Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya. Pernyataan efektif tersebut bukan merupakan izin untuk melakukan Penawaran Umum dan juga bukan berarti bahwa Otoritas Jasa Keuangan menyatakan informasi yang diungkapkan Emiten atau Perusahaan Publik tersebut adalah benar atau cukup. Emiten atau Perusahaan Publik yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran bertanggung jawab bahwa seluruh informasi dan pernyataan yang dibuat adalah benar dan tidak menyesatkan. Otoritas Jasa Keuangan tidak menjamin kebenaran dan kelengkapan informasi yang disampaikan dalam Pernyataan Pendaftaran. Otoritas Jasa Keuangan dapat menunda efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam hal tata cara dan/atau persyaratan Pernyataan Pendaftaran belum dipenuhi. Di samping itu, Otoritas Jasa Keuangan dapat membatalkan efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam hal diperoleh informasi baru yang menunjukkan adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya.
Angka 2 Cukup jelas.
Angka 3 Cukup jelas.
Angka 4 Cukup jelas.
Angka 5 Cukup jelas.
Angka 6 Dalam menetapkan instrumen lain sebagai Efek, Otoritas Jasa Keuangan juga memperhatikan perkembangan model bisnis dan teknologi yang berkembang.
Angka 7 Layanan urun dana merupakan penyelenggaraan layanan penawaran Efek yang dilakukan oleh penerbit untuk menjual Efek secara langsung kepada pemodal atau investor melalui jaringan sistem elektronik yang bersifat terbuka. Aspek pengaturan layanan urun dana di antaranya mencakup penyelenggara layanan, penerbit, serta standar keamanan dan keandalan sistem elektronik.
Angka 8 Cukup jelas.
Angka 9 Cukup jelas.
Angka 10 Cukup jelas.
Angka 11 Lembaga yang didirikan untuk pengembangan Pasar Modal, misalnya untuk memaksimalkan fungsi Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek.
Angka 12 Cukup jelas.
Angka 13 Penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis dapat berbentuk di antaranya mencakup edaran, bulletin accounting staff, atau bulletin legal staff. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Angka 1 Pihak lain di antaranya mencakup lembaga pendanaan Efek dan Pihak yang berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dikategorikan sebagai LJK.
Angka 2 Cukup jelas.
Angka 3 Huruf a) Apabila suatu Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal menyampaikan informasi melalui iklan atau promosi yang tidak sesuai dengan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya, untuk melindungi kepentingan pemodal atau investor dan/atau Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk menghentikan iklan atau promosi tersebut dan mewajibkan Pihak yang bersangkutan untuk meluruskannya dengan cara memperbaiki iklan atau promosi dimaksud.
Huruf b) Apabila iklan atau promosi tersebut dalam huruf a) di atas mengakibatkan kerugian kepada Pihak lain termasuk pemodal, Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk mewajibkan Pihak tersebut mengambil langkah yang diperlukan untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan, di antaranya mencakup pembayaran ganti rugi.
Angka 4 Yang dimaksud dengan “pemeriksaan” adalah pemeriksaan rutin terhadap Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak yang memperoleh izin, persetujuan atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan mewajibkan para Pihak dimaksud untuk menyampaikan laporan tertentu atau memeriksa kantor dan catatan seperti rekening, pembukuan, dokumen, atau kertas kerja yang disusun secara manual, mekanis, elektronik, atau dengan cara lain.
Angka 5 Penunjukan kepada Pihak lain oleh Otoritas Jasa Keuangan misalnya, adalah penunjukan Otoritas Jasa Keuangan kepada Bursa Efek dan/atau Penyelenggara Pasar untuk melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Efek atau Pihak lain yang menjadi Anggota Bursa Efek. Penunjukan tersebut dapat pula diberikan kepada akuntan atau Pihak lain untuk melakukan pemeriksaan dalam kasus tertentu di mana jasa akuntan atau Pihak lain yang bersangkutan diperlukan.
Angka 6 Yang dimaksud dengan “penangkalan” adalah penangkalan terhadap orang asing yang diduga akan mengganggu keamanan dan ketertiban umum melalui kegiatan di Pasar Modal.
Angka 7 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 4 dan hasil pemeriksaan tersebut dipandang perlu untuk diketahui oleh masyarakat dalam rangka menjaga integritas pasar dan kepatuhan setiap Pihak terhadap Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan hasil pemeriksaan tersebut berdasarkan kewenangan dalam angka ini.
Angka 8 Pembekuan atau pembatalan pencatatan suatu Efek pada Bursa Efek atau penghentian Transaksi Bursa atas Efek tertentu dapat dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila terdapat hal-hal atau kejadian yang membahayakan kepentingan pemodal atau keadaan yang tidak memungkinkan diselenggarakannya Transaksi Bursa atas Efek tertentu secara wajar, misalnya diketahui bahwa Emiten tidak mengungkapkan keadaan perusahaan yang sebenarnya.
Angka 9 Yang dimaksud dengan “keadaan darurat” adalah suatu keadaan memaksa di luar kemampuan Pihak sebagai akibat, di antaranya adanya perang, peristiwa alam seperti gempa bumi atau banjir, pemogokan, sabotase, atau huru-hara, turunnya sebagian besar atau keseluruhan harga Efek yang tercatat di Bursa Efek atau Penyelenggara Pasar sedemikian besar dan material sifatnya yang terjadi secara mendadak (crash), atau kegagalan sistem perdagangan atau penyelesaian transaksi.
Angka 10 Jika suatu Pihak dikenakan sanksi oleh Bursa Efek, Penyelenggara Pasar, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan yang bersangkutan tidak menerima sanksi tersebut, maka Pihak dimaksud dapat mengajukan keberatan atas pengenaan sanksi tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan dapat mengabulkan permohonan tersebut apabila berdasarkan hasil penelaahan Otoritas Jasa Keuangan sanksi dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan membatalkan atau mengubah keputusan Bursa Efek, Penyelenggara Pasar, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Sebaliknya, Otoritas Jasa Keuangan dapat menolak permohonan tersebut dengan menguatkan keputusan Bursa Efek, Penyelenggara Pasar, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian apabila keberatan atas pengenaan sanksi tersebut tidak beralasan.
Angka 11 Yang dimaksud dengan “tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakat” adalah tindakan yang bersifat penting dan segera harus diambil untuk melindungi masyarakat dari pelanggaran Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya, di antaranya mencakup:
Angka 12 Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat keterbukaan bagi Pihak tertentu atas kepemilikan Efeknya atau kepemilikan Efek Pihak lain yang diketahui atau sepatutnya diketahui oleh Pihak tertentu tersebut. Kepemilikan Efek meliputi pemilik terdaftar atas Efek dan pemilik manfaat atas Efek. Pemilik terdaftar atas Efek (registered owner) adalah Pihak yang terdaftar sebagai pemegang Efek baik yang terdaftar dalam daftar pemegang Efek pada penerbit Efek atau dalam Penitipan Kolektif pada Kustodian. Pemilik manfaat atas Efek (beneficial owner) adalah setiap Pihak yang berhak atas dan/atau menerima manfaat tertentu yang berkaitan dengan Efek. Hak dan/atau penerimaan manfaat tersebut dapat diperoleh baik langsung maupun tidak langsung melalui perjanjian, atau melalui hubungan atau cara apapun.
Angka 13 Yang dimaksud dengan “pengendali” adalah Pihak yang mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan.
Angka 14 Cukup jelas.
Angka 15 Untuk menjaga integritas pasar, Otoritas Jasa Keuangan menggunakan kewenangan ini di antaranya untuk mencegah Pihak tertentu yang melakukan tindakan tercela menjadi pengendali pada Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 16 Cukup jelas.
Angka 17 Cukup jelas.
Angka 18 Yang dimaksud dengan “melakukan hal lain” adalah kewenangan selain yang ditetapkan pada huruf a, huruf b dan angka 1 sampai dengan angka 17. Kewenangan lain yang diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, di antaranya mengenai:
Angka 3 Pasal 5A Ayat (1) Tata kelola yang baik di antaranya mencakup:
Ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan dapat menggunakan peraturan perundang-undangan yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal misalnya undang-undang mengenai perseroan terbatas, undang-undang mengenai pelindungan konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya yang bersifat umum dalam memastikan kepatuhan tata kelola pelaku di bidang Pasar Modal sebagai acuan dalam melakukan tindakan pengawasan dan penegakan hukum. Yang dimaksud dengan “penegakan hukum” adalah pengenaan sanksi administratif oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5B Kegiatan yang dilakukan oleh:
merupakan kegiatan yang untuk dan atas nama Pihak.
Pasal 5C Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pemegang saham” adalah pemegang saham secara langsung dan pemegang saham tidak langsung. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kesalahan atau kelalaian anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris termasuk jika anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris tersebut tidak mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Pasal 5D Ayat (1) Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek di antaranya mencakup Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem untuk mempertemukan Transaksi Efek antar pengguna jasa secara terus-menerus di luar Bursa Efek. Penyelenggaraan dan penyediaan sistem tersebut dapat dilakukan secara elektronik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Secara kelembagaan, Penyelenggara Pasar yang pada awalnya menjalankan kegiatan di Pasar Modal dimaksud mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan tanpa menghilangkan kewajiban pemenuhan persyaratan dari otoritas terkait yang melaksanakan pengawasan kegiatan di luar Pasar Modal. Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Materi muatan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup pengaturan mengenai persyaratan yang terkait dengan:
Angka 4 Pasal 8A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 5 Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Materi muatan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup pengaturan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan yang terkait dengan:
Angka 6 Pasal 14 Ayat (1) Kegiatan kliring pada dasarnya merupakan suatu proses yang digunakan untuk menetapkan hak dan kewajiban para Pihak atas Transaksi Efek yang mereka lakukan sehingga mereka mengetahui hak dan kewajiban masing-masing. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 24 Ayat (1) Pada dasarnya, Reksa Dana dapat menerima dan/atau memberikan pinjaman. Namun, dalam kondisi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan dapat dimungkinkan untuk memberlakukan larangan bagi Reksa Dana menerima dan/atau memberikan pinjaman. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hal yang berkaitan dengan pembatasan investasi, di antaranya mengenai:
Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 29A Cukup jelas.
Pasal 29B Ayat (1) Pembelian kembali Unit Penyertaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana atau tanda bukti investasi lain dilakukan oleh Manajer Investasi dan dibebankan kepada rekening produk investasi kolektif selain Reksa Dana. Dana yang dipergunakan untuk membeli kembali Unit Penyertaan yang dilakukan oleh Manajer Investasi berasal dari kekayaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “sebagian besar” adalah sejumlah nilai tertentu yang dapat mempengaruhi secara material perhitungan nilai portofolio dan nilai aset bersih per Unit Penyertaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana. Perhitungan nilai portofolio dan aset bersih per Unit Penyertaan berdasarkan harga Efek di Bursa Efek yang portofolio produk investasi kolektif selain Reksa Dana diperdagangkan. Apabila Bursa Efek tersebut ditutup, tidak ada harga bagi Efek yang menjadi dasar perhitungan nilai portofolio dan nilai aset bersih per Unit Penyertaan dari produk investasi kolektif selain Reksa Dana. Huruf b Apabila suatu Efek yang menjadi bagian portofolio produk investasi kolektif selain Reksa Dana dihentikan perdagangannya di Bursa Efek, tidak ada harga bagi Efek tersebut. Huruf c Yang dimaksud dengan “keadaan darurat” adalah suatu keadaan memaksa di luar kemampuan Pihak sebagai akibat, di antaranya adanya perang, peristiwa alam seperti gempa bumi atau banjir, pemogokan, sabotase, atau huru-hara, terjadinya penjualan kembali (redemption) saham atau Unit Penyertaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana sedemikian besar dan material sifatnya yang terjadi secara mendadak (crash), dihentikannya perdagangan Efek atas sebagian besar Portofolio Efek produk investasi kolektif selain Reksa Dana di Bursa Efek, atau ditutupnya Bursa Efek dimana sebagian besar Portofolio Efek produk investasi kolektif selain Reksa Dana diperdagangkan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan Pasar Modal yang memungkinkan adanya situasi di luar huruf a, huruf b, dan huruf c yang lazimnya diatur berdasarkan kontrak para Pihak berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh karena itu, apabila ada hal lain di luar huruf a, huruf b, dan huruf c tersebut, perlu persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum kontrak berlaku dan mengikat para Pihak. Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dapat merupakan bagian dari pernyataan efektif Pernyataan Pendaftaran produk investasi kolektif selain Reksa Dana, surat pencatatan produk investasi kolektif selain Reksa Dana, atau persetujuan Otoritas Jasa Keuangan terhadap perubahan Kontrak Investasi Kolektif. Ayat (4) Kondisi tertentu di antaranya mencakup portofolio investasi dari Kontrak Investasi Kolektif dimaksud tidak dapat dijual atau ketika dijual realisasi harga penjualan sangat berbeda dengan nilai aktiva bersihnya. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 30 Ayat (1) Untuk melaksanakan kegiatan sebagai Perusahaan Efek diperlukan berbagai persyaratan di antaranya keahlian dan permodalan yang cukup. Ayat (2) Untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan dalam Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan Manajer Investasi dengan kegiatan Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek maka Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Manajer Investasi tidak dapat melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek. Kegiatan lain termasuk memfasilitasi perdagangan instrumen di Pasar Uang atau penawaran Efek yang telah tercatat pada Bursa Efek di luar negeri (offshore product). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Oleh karena kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh Pihak yang telah mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan, dan juga karena ada kemungkinan Efek baru yang diperdagangkan dalam kegiatan tersebut belum ada lembaga yang mengatur dan mengawasinya, Otoritas Jasa Keuangan dapat melaksanakan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “perubahan kegiatan usaha” adalah perubahan kegiatan usaha yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan oleh Perusahaan Efek. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Pengaturan tentang persyaratan dan tata cara perizinan, persetujuan, pendaftaran, atau pembubaran termasuk pengaturan tentang Perusahaan Efek yang didirikan berdasarkan kekhususan karakteristik suatu daerah. Angka 12 Pasal 42A Contoh hubungan Afiliasi mencakup:
Pasal 42B Cukup jelas. Angka 13 Cukup jelas. Angka 14 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 55 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyelesaian pembukuan” (book entry settlement) adalah pemenuhan hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat adanya Transaksi Efek yang dilaksanakan dengan cara mengurangi Efek dan/atau dana dari rekening Efek yang satu dan menambahkan Efek dan/atau dana dimaksud pada rekening Efek yang lain pada Kustodian, yang dalam hal ini dapat dilakukan secara elektronik.
Ayat (2) Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dapat ditetapkan jenis Transaksi Efek yang wajib dijamin oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan dan Transaksi Efek yang dapat dijamin oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas. Angka 16 Pasal 55A Cukup jelas. Angka 17 Pasal 61 Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pemegang rekening sewaktu-waktu dapat meminjamkan atau menjaminkan Efek yang tercatat dalam rekening Efek tanpa mengeluarkan Efek tersebut dari Penitipan Kolektif. Hal ini diperlukan agar peminjaman atau penjaminan Efek itu terlaksana dengan aman dan efisien. Peminjaman atau penjaminan Efek dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis oleh pemegang rekening kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau bank Kustodian yang menerangkan jumlah, jenis Efek yang dipinjamkan atau dijaminkan, Pihak yang menerima pinjaman atau penjaminan, dan persyaratan peminjaman atau penjaminan. Angka 18 Pasal 64 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “akuntan publik” adalah akuntan publik yang telah memperoleh izin dari pihak yang berwenang dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “konsultan hukum” adalah ahli hukum yang memberikan pendapat hukum kepada Pihak lain dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Huruf c Yang dimaksud dengan “penilai” adalah Pihak yang memberikan penilaian atas properti dan/atau penilaian usaha dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Huruf d Yang dimaksud dengan “notaris” adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Huruf e Ketentuan ini dimaksudkan untuk menampung kemungkinan diperlukannya jasa profesi lain untuk memberikan pendapat atau penilaian sesuai dengan perkembangan Pasar Modal di masa mendatang dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Profesi lain di antaranya:
Ayat (2) Pendapat dan/atau penilaian Profesi Penunjang Pasar Modal sangat penting bagi pemodal atau investor dalam mengambil keputusan investasinya maka kegiatan profesi tersebut di Pasar Modal perlu diawasi dengan mewajibkannya mendaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Pengecualian pada ayat ini diperlukan untuk mengakomodir perkembangan aktivitas di bidang Pasar Modal yang memerlukan opini dari pihak yang memiliki keahlian tertentu yang berkaitan dengan aktivitas yang akan dilakukan di Pasar Modal. Pengecualian dimaksud di antaranya mempertimbangkan:
Ayat (5) Ketentuan ini dimaksudkan di antaranya untuk mendorong penyediaan akses keuangan di daerah khususnya untuk pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Angka 19 Pasal 66 Ayat (1) Kode etik dan standar profesi merupakan suatu standar pemenuhan kualitas minimal jasa yang diberikan kepada pengguna jasanya, dan merupakan suatu kewajiban bagi setiap profesi penunjang Pasar Modal untuk menaatinya. Namun, dalam hal kode etik dan standar profesi dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, profesi penunjang Pasar Modal harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya. Hal ini penting untuk melindungi kepentingan para pemodal atau investor. Standar profesi di antaranya meliputi standar profesional akuntan publik, standar profesi himpunan konsultan hukum Pasar Modal, standar penilaian Indonesia, dan ketentuan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan profesi notaris.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Standar profesi di bidang Pasar Modal termasuk standar profesi pelaku dan penunjang di bidang Pasar Modal. Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk profesi dan dapat menambahkan standar dalam rangka menegakkan tata kelola di Pasar Modal. Angka 20 Cukup jelas. Angka 21 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 69A Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Dalam rangka melindungi pemodal atau investor dalam aktivitas penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowdfunding), Otoritas Jasa Keuangan wajib menyesuaikan standar compliance dan persyaratan bagi penerbit securities crowdfunding sesuai dengan jumlah penghimpunan dana dan jumlah pemodal atau investor.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Pengaturan khusus mengenai penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowdfunding) bertujuan untuk mengecualikan beberapa ketentuan dalam undang undang mengenai perseroan terbatas, mengingat kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengecualikan ketentuan dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas adalah dalam hal perusahaan tersebut berbentuk perusahaan terbuka, sedangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah umumnya berbentuk perusahaan tertutup. Pengaturan ini dilandasi oleh kebutuhan untuk lebih mempermudah proses penawaran Efek bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah misalnya terkait dengan persyaratan kewajiban setiap pemindahan hak atas saham yang diwajibkan menggunakan akta, persyaratan pengurus minimum bagi perusahaan yang akan menghimpun dana dari masyarakat, dan kewajiban penyelenggaraan rapat umum pemegang saham di tempat kedudukan perusahaan tersebut atau tempat kegiatannya yang diatur dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas. Dalam pengaturan securities crowdfunding, penerbit didorong untuk mengikuti standar keterbukaan dan persyaratan tata kelola selayaknya Perusahaan Publik.
Pasal 69B Ayat (1) Penyelenggara dana perlindungan pemodal merupakan perseroan terbatas yang mendapatkan izin usaha untuk menyelenggarakan dan mengelola dana perlindungan pemodal. Dana perlindungan pemodal merupakan kumpulan dana yang dibentuk untuk melindungi pemodal atau investor dari hilangnya aset pemodal atau investor.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan dalam rangka pelindungan pemodal atau investor, di antaranya dengan pengawasan terhadap penyelenggara untuk mengurangi asimetri informasi antara pemodal atau investor dan penerbit, termasuk dengan mempermudah pemodal atau investor untuk memantau portofolio investasinya.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 69C Ayat (1) Karakteristik tertentu perusahaan berinovasi tinggi dengan pertumbuhan cepat dapat diukur di antaranya dari pertumbuhan aset, pendapatan, pengguna jasa, atau nilai usaha luar biasa yang dicapai dalam waktu relatif singkat, atau lazim disebut sebagai hypergrowth. Selain ukuran tersebut di atas, karakteristik tertentu tersebut dapat juga didasarkan pada bidang usaha tertentu yang menjadi prioritas pengembangan oleh Pemerintah untuk menciptakan kegiatan ekonomi baru, misalnya kegiatan ekonomi berbasis teknologi informasi.
Ayat (2) Huruf a Klasifikasi saham di antaranya mencakup klasifikasi saham yang didasarkan pada perbedaan hak suara, termasuk persyaratan pemegang saham, peralihan saham, dan kondisi tertentu hak suara dapat digunakan dengan tetap memperhatikan kepentingan dan hak pemegang saham publik. Pada dasarnya setiap saham dapat mempunyai lebih dari 1 (satu) hak suara atas saham sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Transaksi tertentu di antaranya mencakup pelaksanaan transaksi yang dilaksanakan dengan prosedur khusus yang berbeda dengan prosedur transaksi bagi perusahaan yang tidak memiliki karakteristik khusus. Huruf d Pencatatan Efek di antaranya untuk memberikan dasar bagi Penyelenggara Pasar di Pasar Modal termasuk Bursa Efek untuk membuat peraturan pencatatan dengan persyaratan yang khusus, termasuk jika diperlukan bentuk papan perdagangan khusus. Pasal 69D Cukup jelas. Angka 23 Pasal 70 Ayat (1) Kegiatan Penawaran Umum merupakan salah satu cara untuk menghimpun dana masyarakat. Untuk itu, kepentingan masyarakat yang akan menanamkan dananya pada Efek perlu mendapatkan pelindungan. Oleh karena itu, setiap Pihak yang bermaksud menghimpun dana melalui Penawaran Umum diwajibkan terlebih dahulu menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Penawaran Umum tersebut baru dapat dilakukan setelah Pernyataan Pendaftaran dimaksud efektif. Penawaran Umum meliputi penawaran Efek oleh Emiten yang dilakukan dalam wilayah Republik Indonesia atau kepada warga negara Indonesia dengan menggunakan media massa atau ditawarkan kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak atau telah dijual kepada lebih dari 50 (lima puluh) Pihak dalam batas nilai serta batas waktu tertentu. Media massa di antaranya mencakup surat kabar, majalah, film, televisi, radio, dan media elektronik lainnya, serta surat, brosur dan barang cetak lain yang dibagikan kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak. Ketentuan Penawaran Umum berlaku juga bagi Emiten dalam negeri yang melakukan Penawaran Umum di luar negeri kepada warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan dalam rangka melindungi warga negara Indonesia yang melakukan investasi dalam Efek yang ditawarkan oleh Pihak tersebut di luar wilayah Republik Indonesia. Penawaran Efek kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak tersebut tidak dikaitkan dengan apakah penawaran tersebut diikuti dengan pembelian Efek atau tidak. Sedangkan penjualan Efek kepada lebih dari 50 (lima puluh) Pihak tersebut lebih ditekankan kepada realisasi penjualan Efek dimaksud tanpa memperhatikan apakah penjualan tersebut dilakukan melalui penawaran atau tidak. Pengertian telah dijual dan penjualan Efek kepada lebih dari 50 (lima puluh) Pihak di atas termasuk pula perjanjian jual beli Efek yang pembayaran dan penyerahan Efek dimaksud dilakukan pada masa yang akan datang yang telah disepakati. Jumlah 100 (seratus) Pihak dalam penawaran Efek dan 50 (lima puluh) Pihak dalam penjualan Efek sebagaimana dimaksud dalam penjelasan ini dapat berubah sesuai dengan perkembangan Pasar Modal. Perubahan tersebut ditetapkan lebih lanjut oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2) Huruf a Pengecualian pelaksanaan ketentuan ini diperlukan mengingat pengaturan dan pengawasan Efek dimaksud dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Huruf b Pengecualian untuk penawaran Efek yang diterbitkan dan/atau dijamin oleh Pemerintah Indonesia dalam ketentuan ini diperlukan mengingat Pemerintah sebagai Pihak yang menerbitkan atau menjamin Efek dimaksud memiliki kemampuan untuk memenuhi segala kewajiban dalam penerbitan Efek tersebut. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Efek atau surat berharga yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang di antaranya mencakup sertifikat deposito yang diatur dengan undang-undang mengenai perbankan, resi gudang yang diatur dengan undang-undang mengenai sistem resi gudang, dan polis asuransi yang diatur dengan undang-undang mengenai perasuransian. Huruf e Yang dimaksud dengan “penawaran Efek lain” adalah penawaran Efek untuk Efek yang telah ada dan telah dikenal pada saat Undang-Undang ini ditetapkan dan untuk jenis Efek baru yang akan ada kemudian serta jenis penawaran tertentu atas Efek yang sudah ada dan dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya penerbitan Efek yang perlu dikecualikan dari kewajiban ketentuan ini.
Ayat (3) Cukup jelas. Angka 24 Pasal 70A Cukup jelas. Angka 25 Pasal 74 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan agar Emiten memperoleh kepastian bahwa dalam hal Pernyataan Pendaftaran yang disampaikannya kepada Otoritas Jasa Keuangan telah lengkap dan memenuhi persyaratan dan prosedur yang ditetapkan, apabila Otoritas Jasa Keuangan tidak melakukan sesuatu, Pernyataan Pendaftaran tersebut menjadi efektif dengan sendirinya pada hari ke-20 (kedua puluh).
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Terdapat kemungkinan bahwa Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan belum lengkap dan belum memenuhi persyaratan sehingga jangka waktu efektifnya Pernyataan Pendaftaran dihitung sejak diterimanya seluruh persyaratan secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan dan atau tambahan informasi kepada Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan. Pernyataan Pendaftaran baru dapat dinyatakan efektif apabila:
Ayat (6) Perkembangan kondisi perekonomian yang bergerak cepat membutuhkan kecepatan proses penawaran umum. Untuk itu, proses pemberian pernyataan efektif atas kegiatan Pernyataan Pendaftaran perlu penyesuaian seiring waktu sesuai kebutuhan sebagai dukungan agar Pasar Modal Indonesia lebih kompetitif.
Ayat (7) Cukup jelas. Angka 26 Pasal 82 Ayat (1) Hak memesan Efek terlebih dahulu merupakan hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan bagi pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli Efek baru sebelum ditawarkan kepada Pihak lain.
Ayat (2) Untuk melindungi kepentingan pemegang saham independen yang umumnya merupakan pemegang saham minoritas dari kemungkinan adanya penetapan harga yang tidak wajar atas transaksi yang dilakukan oleh Emiten atau Perusahaan Publik disebabkan oleh adanya benturan kepentingan antara pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama, Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk terlebih dahulu memperoleh persetujuan mayoritas dari pemegang saham independen.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “transaksi material” adalah setiap transaksi di antaranya mencakup:
dengan nilai tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai nilai material.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara penerbitan hak memesan Efek terlebih dahulu, transaksi yang mempunyai benturan kepentingan, serta transaksi material dan/atau perubahan kegiatan usaha utama yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, di antaranya memuat:
Angka 27 Pasal 84A Ayat (1) Perusahaan terbuka dapat dibatalkan pencatatan efeknya oleh Bursa Efek termasuk apabila terdapat tindakan pemegang saham pengendali perusahaan terbuka yang mengakibatkan keberlangsungan usaha (going concern) perusahaan terbuka terganggu.
Ayat (2) Cukup jelas. Angka 28 Pasal 86 Ayat (1) Oleh karena informasi mengenai Emiten atau Perusahaan Publik mempunyai peranan yang penting bagi pemodal atau investor, selain untuk efektivitas pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan, kewajiban untuk menyampaikan dan mengumumkan laporan bagi Emiten atau Perusahaan Publik dimaksudkan juga agar informasi mengenai jalannya usaha perusahaan tersebut selalu tersedia bagi masyarakat.
Huruf a Laporan secara berkala tentang kegiatan usaha dan keadaan keuangan Emiten atau Perusahaan Publik diperlukan oleh pemodal atau investor sebagai dasar pengambilan keputusan investasi atas Efek. Oleh karena itu, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan berkala untuk setiap akhir periode tertentu kepada Otoritas Jasa Keuangan dan laporan tersebut terbuka untuk umum. Huruf b Selain tambahan dari laporan berkala, apabila terjadi peristiwa yang sifatnya material, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkannya kepada masyarakat sesegera mungkin setelah terjadinya peristiwa yang sifatnya material tersebut.
Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk menetapkan persyaratan tertentu bagi Emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif atau Perusahaan Publik menjadi tidak diwajibkan menyampaikan laporan. Persyaratan dimaksud, di antaranya berupa penentuan maksimal jumlah pemegang saham dan modal disetor Perusahaan Publik yang tidak diwajibkan untuk menyampaikan laporan. Ketentuan ini tidak berarti bahwa Emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif atau Perusahaan Publik menjadi tidak wajib menyampaikan laporan meskipun tidak memenuhi persyaratan sebagai Perusahaan Publik.
Ayat (3) Perkembangan pasar yang dinamis membutuhkan informasi lebih cepat dari praktik penyampaian informasi saat ini yang menetapkan jangka waktu paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua). Otoritas Jasa Keuangan menentukan jangka waktu sesegera mungkin berdasarkan perkembangan dan kebutuhan pasar· yang bergerak semakin cepat dan membutuhkan informasi lebih cepat. Angka 29 Pasal 87 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Emiten” adalah Emiten yang melakukan penawaran umum saham.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Jangka waktu pelaporan kepemilikan atau perubahan kepemilikan dihitung sejak terjadinya transaksi.
Ayat (4) Jangka waktu pelaporan kepemilikan atau perubahan kepemilikan dihitung sejak terjadinya transaksi. Angka 30 Pasal 87A Ayat (1) Pemegang saham publik dimaksud diposisikan 1 (satu) tingkat di bawah kreditur konkuren dan di atas pemegang saham pengendali. Pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham pengendali dilakukan setelah pembayaran kepada kreditur Emiten dan Perusahaan Publik tersebut.
Ayat (2) Cukup jelas. Angka 31 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 89A Ayat (1) Kondisi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha tidak hanya diukur dari keadaan keuangan Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian namun juga mempertimbangkan faktor nonkeuangan. Huruf a Penambahan modal dilakukan dengan perubahan nilai nominal saham tanpa penerbitan saham baru. Huruf b Tugas pengelola statuter adalah pengelolaan atau pengurusan Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian termasuk penyelenggaraan rapat umum pemegang saham. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.
Ayat (2) Huruf a Pencabutan tidak mengakibatkan perbuatan hukum yang dilakukan sebelum pencabutan menjadi batal dan tidak menghapus kewajiban kepada pemegang saham, nasabah, dan/atau Pihak ketiga lainnya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 89B Ayat (1) Kondisi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha tidak hanya diukur dari keadaan keuangan Perusahaan Efek namun juga mempertimbangkan faktor nonkeuangan. Faktor nonkeuangan di antaranya mencakup faktor risiko operasional misalnya terjadi serangan siber, faktor risiko reputasi yang timbul akibat gugatan hukum pada manajemen yang memegang peranan kritikal pada perusahaan yang dampaknya mempengaruhi keberlangsungan usaha perusahaan. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tugas pengelola statuter termasuk meliputi pengelolaan atau pengurusan Perusahaan Efek termasuk penyelenggaraan rapat umum pemegang saham. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 89C Ayat (1) Pembubaran dan likuidasi dilakukan berdasarkan keputusan rapat umum pemegang saham Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, atau Perusahaan Efek tersebut, atau berdasarkan penetapan pengadilan atas permohonan Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dilikuidasi” adalah proses likuidasi yang dimulai dengan penetapan likuidator sampai dengan berakhirnya status badan hukum perseroan terbatas. Angka 33 Pasal 90 Yang dimaksud dengan “kegiatan perdagangan Efek” adalah kegiatan yang meliputi kegiatan penawaran, pembelian, dan/atau penjualan Efek yang terjadi dalam rangka Penawaran Umum, terjadi di Bursa Efek, atau terjadi di Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek yang menjalankan kegiatan di Pasar Modal, dan kegiatan penawaran, pembelian, dan/atau penjualan Efek di luar Bursa Efek. Yang dimaksud dengan “kegiatan pengelolaan investasi” adalah pengelolaan Portofolio Efek untuk nasabah individual atau pengelolaan portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah yang dilakukan oleh pengelola investasi, di antaranya mencakup kegiatan penawaran jasa pengelolaan investasi.
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Larangan ini dimaksudkan agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat. Angka 34 Pasal 91 Cukup jelas. Angka 35 Pasal 92 Ketentuan ini melarang dilakukannya serangkaian transaksi Efek oleh satu Pihak atau beberapa Pihak yang bersekongkol sehingga menciptakan harga Efek tetap, naik, atau turun yang semu. Harga Efek tetap, naik, atau turun yang semu di antaranya mencakup harga Efek tetap, naik, atau turun yang tidak didasarkan pada kekuatan permintaan jual atau beli Efek yang sebenarnya dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain. Dampak menciptakan harga Efek tetap, naik, atau turun yang semu dapat mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek. Angka 36 Pasal 93 Harga Efek yang terpengaruh oleh pernyataan atau keterangan yang tidak benar atau menyesatkan dapat berupa harga Efek di Bursa Efek dan/atau di luar Bursa Efek, baik yang terorganisasi maupun yang tidak terorganisasi. Angka 37 Pasal 94 Tindakan tertentu di antaranya mencakup
Angka 38 Pasal 97 Cukup jelas. Angka 39 Cukup jelas. Angka 40 Pasal 100A Ayat (1) Pelanggaran yang terjadi di Pasar Modal sangat beragam dilihat dari segi jenis, modus operandi, atau kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan diberikan wewenang untuk mempertimbangkan konsekuensi dari pelanggaran yang terjadi dan wewenang untuk meneruskannya ke tahap penyidikan berdasarkan pertimbangan dimaksud. Pertimbangan untuk melanjutkan ke tahap penyidikan atau tidak didasarkan pada penerapan prinsip una via yang membuka pemilihan antara sanksi pidana dan sanksi administratif. Prinsip ini merupakan perluasan dari prinsip ne bis in idem. Penerapan prinsip una via atas dugaan tindak pidana di bidang Pasar Modal melalui pengenaan sanksi atau tindakan administratif lainnya tidak hanya ditujukan untuk menghukum pelanggar, tetapi juga untuk memperbaiki tatanan hukum yang terganggu akibat pelanggaran tersebut (restorative justice).
Ayat (2) Tidak semua pelanggaran terhadap Undang-Undang ini harus dilanjutkan ke tahap penyidikan karena hal tersebut justru dapat menghambat kegiatan penawaran dan/atau perdagangan Efek secara keseluruhan. Apabila kerugian yang ditimbulkan membahayakan sistem Pasar Modal atau kepentingan pemodal atau investor dan/atau masyarakat, atau apabila tidak tercapai penyelesaian atas kerugian yang telah timbul, Otoritas Jasa Keuangan dapat memulai tindakan penyidikan dalam rangka penuntutan tindak pidana. Tindakan untuk memulai penyidikan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan dilakukan setelah memperoleh penetapan dari pimpinan Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3) Penegakan hukum di bidang Pasar Modal menekankan pada prinsip restorative justice yang menitikberatkan pada upaya pemulihan atau perbaikan kondisi akibat suatu pelanggaran dengan tetap mengupayakan terwujudnya efek jera bagi pelaku pelanggaran.
Pasal 100B Cukup jelas.
Pasal 100C Cukup jelas.
Pasal 100D Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya memuat:
Angka 41 Pasal 101 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyidikan atas tindak pidana di bidang Pasar Modal” adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang diperlukan sehingga dapat membuat terang tentang tindak pidana di bidang Pasar Modal yang terjadi, menemukan tersangka, serta mengetahui besarnya kerugian yang ditimbulkannya. Penyidik Otoritas Jasa Keuangan adalah pejabat atau pegawai tertentu di lingkungan Otoritas Jasa Keuangan yang diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas. Angka 42 Pasal 103 Cukup jelas. Angka 43 Pasal 104 Cukup jelas. Angka 44 Pasal 104A Cukup jelas. Angka 45 Pasal 105 Cukup jelas. Angka 46 Pasal 106 Cukup jelas. Angka 47 Pasal 106A Cukup jelas.
Pasal 106B Cukup jelas.
Pasal 106C Cukup jelas. Angka 48 Pasal 107 Cukup jelas. Angka 49 Pasal 108 Cukup jelas. Angka 50 Pasal 109 Cukup jelas. Angka 51 Pasal 109A Cukup jelas. Angka 52 Pasal 110 Dihapus.
Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “efek” adalah efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal.
Pasal 24 Ayat (1) Perdagangan karbon dapat dilakukan melalui bursa karbon atau perdagangan langsung. Dalam ketentuan ini mekanisme perdagangan karbon melalui bursa karbon termasuk dalam aktivitas transaksi di sektor keuangan, khususnya di Pasar Modal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “penyelenggara pasar” adalah penyelenggara pasar sebagaimana dimaksud dalam undang undang mengenai pasar modal. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Koordinasi dilakukan agar tujuan pengembangan pasar karbon secara keseluruhan dapat tercapai melalui kebijakan yang bersinergi baik dari sisi efektivitas pengendalian efek gas rumah kaca, pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi, serta pengembangan sektor keuangan. Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 25 Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini mencakup perizinan perusahaan yang melakukan aktivitas perdagangan di bursa karbon dan pengawasan termasuk tata kelola perusahaan yang melakukan aktivitas perdagangan di bursa karbon, misalnya komitmen ramah lingkungan dan lain sebagainya. Namun demikian izin emisi untuk masing-masing perusahaan atau suatu industri yang dihitung sekaligus dapat diterbitkan izin atau permit atau sertifikasinya dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 26 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (2) Koordinasi paling sedikit mencakup pengembangan infrastruktur perdagangan karbon, pengaturan pemanfaatan penerimaan negara dari perdagangan karbon, dan administrasi transaksi karbon. Misalnya koordinasi terkait penyelenggaraan bursa karbon dilakukan antara Otoritas Jasa Keuangan dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Koordinasi dengan Pemerintah termasuk kementerian/lembaga lain dapat dilakukan melalui Kementerian Keuangan. Selain itu, koordinasi juga dapat melibatkan pihak lain seperti asosiasi. Koordinasi dapat dilakukan melalui forum yang telah ada seperti Forum Koordinasi Pembiayaan Pembangunan melalui Pasar Keuangan. Pembahasan bersama yang dilakukan antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan misalnya pengaturan dan pengawasan yang terkait dengan pinjam meminjam atau transaksi jual dengan janji beli kembali atau repo (repurchase agreement).
Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Instrumen Pasar Uang di antaranya berupa surat berharga jangka pendek yang merupakan perintah atau penyanggupan untuk membayar dan dapat diperdagangkan, termasuk efek yang bersifat utang yang jatuh temponya tidak lebih dari 1 (satu) tahun yang dikecualikan dari pengaturan Otoritas Jasa Keuangan dalam undang-undang mengenai pasar modal.
Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Huruf a Pelaku Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing di antaranya mencakup WK, korporasi, orang perseorangan, dan/atau nonresiden.
Huruf b Lembaga pendukung Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing di antaranya mencakup Bank, perusahaan efek, perusahaan pialang, dan/atau lembaga lain.
Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Pedoman perilaku mencakup panduan berperilaku dan bertindak bagi setiap pelaku pasar dalam bertransaksi.
Pasal 33 Sarana kliring di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang melakukan fungsi novasi sehingga bertindak sebagai pembeli bagi penjual dan sebagai penjual bagi pembeli adalah central counter party.
Pasal 34 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Sekuritisasi dapat dilakukan terhadap aset lain, misalnya kebutuhan sekuritisasi aset yang memenuhi Prinsip Syariah, di antaranya mencakup sekuritisasi atas aset berwujud dan tidak berwujud atau jasa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Yang dimaksud dengan “pemilik aset” adalah pihak yang menyerahkan aset miliknya kepada pengelola dana perwalian (trustee) berdasarkan perjanjian pengelolaan aset.
Huruf b Yang dimaksud dengan “penerima manfaat” adalah pihak yang menerima manfaat dari kegiatan pengelolaan aset dan/atau pemilik aset.
Huruf c Yang dimaksud dengan “perjanjian pengelolaan aset” adalah perjanjian yang ditandatangani oleh pengelola dana perwalian (trustee) dan pemilik aset, yang mana pengelolaan dana perwalian (trustee) diberi wewenang untuk mengelola aset yang diserahkan oleh pemilik aset untuk kepentingan penerima manfaat.
Huruf d Tindakan untuk melepaskan aset merupakan kewenangan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) selaku pemilik aset atau kewenangan pengelola dana perwalian (trustee) selaku penerima kuasa jual dari pemilik aset.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf i Cukup jelas.
Huruf j Cukup jelas.
Huruf k Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Pihak yang ditunjuk di antaranya mencakup pihak berbadan hukum yang menjalankan tugas dari Pemerintah.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Huruf a Prinsip penyelesaian transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang telah memenuhi persyaratan serta bersifat final dan mengikat (final and binding settlement) merupakan sebuah prinsip bahwa efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dan/atau dana yang telah berpindah rekening efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing pada sarana penyelesaian transaksi dan penyimpanan efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing (kustodian sentral), atau pihak lain bersifat final dan tidak dapat ditarik kembali. Persyaratan transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang bersifat final dan mengikat (final and binding settlement) tersebut di atas akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia.
Huruf b Prinsip penyerahan dan/atau pembayaran dapat dilakukan melalui penyerahan tanpa pembayaran (delivery free of payment), penyerahan dan pembayaran dilakukan pada waktu bersamaan (delivery versus delivery) dalam transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
Huruf c Mekanisme netting wajib dilaksanakan oleh para pihak yang bertransaksi atau lembaga kliring dan penjaminan meskipun terjadi pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha, atau keputusan pernyataan pailit terhadap Pihak yang bertransaksi. Dengan demikian, seluruh transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing oleh para pihak yang dikenai pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha, atau keputusan pernyataan pailit tetap diperhitungkan secara netting dan diselesaikan.
Ayat (2) Waktu pengucapan putusan pernyataan pailit adalah jam, menit, dan detik pada tanggal pengucapan putusan pernyataan pailit yang menurut waktu yang berlaku pada Pengadilan Niaga setempat. Yang dimaksud dengan “seolah-olah tidak terjadi kepailitan” adalah debitur masih memiliki kekuasaan atas harta pailit.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang telah memenuhi persyaratan” adalah transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang dilaksanakan melalui sarana perdagangan di pasar sekunder.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di antaranya mencakup transaksi Derivatif suku bunga dan nilai tukar serta repo (repurchase agreement) instrumen keuangan tertentu sebagai instrumen atau transaksi lintas-pasar (Pasar Modal dan Pasar Uang). Yang dimaksud dengan “pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting)” adalah proses pengakhiran awal (early termination), penghitungan nilai (valuasi), dan perjumpaan utang atas seluruh transaksi Derivatif di pasar keuangan antara para pihak dalam 1 (satu) perjanjian induk untuk menghasilkan 1 (satu) nilai (single amount) yang dapat ditagihkan kepada salah satu pihak. Pengakhiran dalam proses close-out netting hanya terjadi pada transaksi, tetapi tidak pada perjanjian induk (master agreement). Ayat (3) Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di antaranya mencakup transaksi Derivatif suku bunga dan nilai tukar serta repo (repurchase agreement). Proses perjumpaan utang (close-out netting) diselesaikan dengan dihasilkannya 1 (satu) nilai (single amount) yang dapat ditagihkan kepada Pihak lainnya. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perjanjian induk transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) di antaranya mencakup perjanjian induk transaksi repo (repurchase agreement) dan perjanjian induk transaksi Derivatif di pasar keuangan. Pasar keuangan di antaranya mencakup Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing. Perjumpaan utang terjadi dalam proses pengakhiran seluruh transaksi keuangan antara kreditor dan debitor karena terjadinya close-out netting sebagai akibat salah satu pihak yang diajukan kepailitan dengan menghitung nilai bersih (netting) dari hak atau kewajiban para pihak. Transaksi keuangan termasuk transaksi efek di Pasar Modal yang penyelesaian transaksinya dilakukan melalui mekanisme netting pada lembaga kliring dan penjaminan. Pelaksanaan close-out netting transaksi keuangan dilakukan untuk menjamin kepastian hukum pelaksanaan transaksi keuangan dan memastikan Indonesia sebagai netting jurisdiction. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Kontrak pintar (smart contract) merupakan salah satu bentuk dari kontrak elektronik sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai informasi dan transaksi elektronik. Kontrak pintar (smart contract) dapat berupa seperangkat kesepakatan yang dispesifikasikan dalam bentuk digital termasuk pada bentuk protokol komputer. Sejalan dengan perkembangan teknologi saat ini, dimungkinkan adanya kontrak antara lain pada transaksi Derivatif yang sifatnya standar yang didukung oleh teknologi digital dan untuk beberapa term dapat berlaku otomatis guna efisiensi serta bersifat mengikat, yang dilaksanakan dalam suatu platform tertentu di antaranya mencakup Distributed Ledger Technology/DLT. Penyusunan dan implementasi dari solusi teknologi atas kontrak dimaksud harus konsisten dengan standar pengaturan dan hukum yang berlaku. Penggunaan smart derivative contracts dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan adanya perbedaan antara pengertian dalam hukum (legal meaning) dan kinerja operasional (operational performance) dari kontrak dimaksud. Ayat (2) Smart contract dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Ayat (3) Kesepakatan digunakan sebagai kerangka perjanjian yang memuat bahasa natural (natural language) untuk melandasi otomasi pelaksanaan hak dan kewajiban menggunakan bahasa pemrograman (code) dalam smart contract. Ayat (4) Kewenangan pengaturan lebih lanjut oleh otoritas di sektor keuangan sesuai dengan jenis aktivitas jasa keuangan yang diawasinya.
Pasal 45 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “tanpa warkat (scripless)” adalah penerbitan, penatausahaan, pencatatan, dan/atau pengalihan kepemilikan instrumen keuangan secara elektronik menggunakan sistem. Contoh penerbitan, penatausahaan, pencatatan, dan/atau pengalihan kepemilikan instrumen keuangan secara elektronik menggunakan sistem di antaranya mencakup Bank Indonesia-Script Securities Settlement System (BI-SSSS). Pengalihan secara scripless termasuk pengalihan atas semua hak yang timbul dari instrumen keuangan termasuk hak menagih. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Pasal 4 Huruf a Jika suatu saat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit maka salah satu sumber pembiayaannya adalah penerbitan Surat Utang Negara. Pilihan atas Surat Utang Negara sebagai sumber dari berbagai sumber pembiayaan lainnya harus didasarkan atas perhitungan yang cermat yang dapat meminimalkan biaya utang pada anggaran negara.
Huruf b Agar kegiatan dan/atau proyek yang telah ditetapkan di dalam APBN tidak mengalami hambatan, penerbitan Surat Utang Negara berjangka pendek (Surat Perbendaharaan Negara) digunakan untuk menutup kekurangan kas tersebut. Apabila penerimaan yang direncanakan tersebut terealisasi, dananya digunakan untuk menebus kembali Surat Perbendaharaan Negara tersebut.
Huruf c Manajemen portofolio utang negara bertujuan untuk meminimalkan biaya bunga utang pada tingkat risiko yang dapat ditoleransi. Untuk itu, portofolio utang negara terutama portofolio Surat Utang Negara harus dilakukan secara efisien berdasarkan praktik yang berlaku umum di berbagai negara. Manajemen portofolio meliputi penerbitan, pembelian kembali sebelum jatuh tempo (buyback), dan pertukaran (bond swap) sebagian Surat Utang Negara yang beredar.
Huruf d Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 3A Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Kewenangan pengaturan lebih lanjut oleh otoritas di sektor jasa keuangan dilakukan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Ayat (4) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perluasan ruang lingkup” adalah kegiatan yang melibatkan 3 (tiga) Pihak.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 5A Ayat (1) Dokumen elektronik di antaranya mencakup polis dalam bentuk elektronik.
Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5 Pasal 11 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 12 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 15 Kerugian di antaranya mencakup kerugian sebagai akibat dari pengelolaan investasi perusahaan. Angka 8 Pasal 15A Cukup jelas. Angka 9 Pasal 21A Cukup jelas.
Pasal 21B Setiap Orang di antaranya mencakup pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, dan pegawai perusahaan. Angka 10 Pasal 22 Ayat (1) Laporan yang wajib disampaikan Perusahaan Perasuransian kepada Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup laporan keuangan, laporan kegiatan usaha, dan laporan program dukungan reasuransi otomatis. Selain itu, dalam keadaan atau untuk tujuan tertentu, Perusahaan Perasuransian juga dapat diwajibkan menyampaikan laporan yang bersifat tematik, misalnya profil risiko dan pelaksanaan tata kelola perusahaan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Posisi keuangan, kinerja keuangan, dan kondisi kesehatan keuangan yang diumumkan minimal meliputi rasio kesehatan keuangan sesuai dengan ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. Pengumuman melalui media elektronik dilakukan pada situs perusahaan dan situs Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mengenai jenis, bentuk, dan susunan laporan atau pengumuman, serta jadwal dan batas waktu penyampaian laporan dan pengumuman. Angka 11 Pasal 23 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 27 Ayat (1) Kewajiban Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, sedangkan untuk pembinaan dan pengawasan atas kegiatan yang dilakukan oleh individu Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi tetap menjadi tanggung jawab Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Asuransi.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Penerapan segenap keahlian, perhatian, dan kecermatan di antaranya dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat keahlian dari lembaga profesi serta pemenuhan kode etik dan pedoman teknis profesi, prosedur standar perusahaan, dan peraturan perundang-undangan.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup:
Angka 13 Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah saluran pemasaran yang mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, di antaranya mencakup Agen Asuransi, Bank, dan perusahaan non-Bank.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (9) Cukup jelas. Angka 14 Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “cepat” adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan dilakukan dengan segera dan dalam waktu sesingkat mungkin. Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan bersifat lugas dan tidak rumit. Yang dimaksud dengan “mudah diakses” adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan diselenggarakan di kantor perusahaan atau tempat lain yang mudah dikunjungi, atau diselenggarakan dengan memanfaatkan teknologi yang memudahkan orang untuk menyampaikan klaim atau keluhan dan mendapatkan tanggapan. Yang dimaksud dengan “adil” adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan dilakukan dengan berpegang kepada kebenaran, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang.
Ayat (4) Tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim di antaranya:
Ayat (5) Cukup jelas. Angka 15 Pasal 39A Ayat (1) Program Asuransi Wajib di antaranya mencakup asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability) terkait kecelakaan lalu lintas, asuransi kebakaran, dan asuransi rumah tinggal terhadap risiko bencana.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Dalam penyusunan Peraturan Pemerintah, Pemerintah dapat berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 16 Pasal 50 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 51 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 52 Ayat (1) Pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi Juga mencakup pihak yang terkait dengan perluasan usaha asuransi.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “dana tanahud” adalah kumpulan dana yang dibentuk berdasarkan akad hibah tanahud.
Ayat (5) Pemenuhan kewajiban kepada pihak ketiga selain Pemegang Polis, Peserta, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi dibayarkan dengan urutan sebagai berikut:
Angka 19 Pasal 53 Ayat (1) Program penjaminan polis dimaksudkan untuk menjamin pengembalian sebagian atau seluruh hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya dan dilikuidasi. Selain itu, keberadaan program penjaminan polis juga dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perasuransian pada umumnya sehingga diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi.
Ayat (2) Pengaturan mengenai program penjaminan polis di antaranya diatur dalam Bab VIII Program Penjaminan Polis dalam Undang-Undang ini.
Ayat (3) Cukup jelas. Angka 20 Pasal 62A Cukup jelas. Angka 21 Pasal 64 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 71 Cukup jelas. Angka 23 Pasal 72A Cukup jelas. Angka 24 Pasal 73A Cukup jelas.
Pasal 73B Cukup jelas.
Pasal 73C Cukup jelas. Angka 25 Pasal 74 Cukup jelas. Angka 26 Pasal 75 Cukup jelas. Angka 27 Pasal 82A Cukup jelas. Angka 28 Pasal 87 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Konsolidasi perasuransian dilakukan dalam upaya untuk memperkuat ekosistem perasuransian yang efektif, efisien, sehat, dan berdaya saing, serta memberikan daya dukung bagi perekonomian nasional.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Ekuitas mengacu pada standar akuntansi yang berlaku di Indonesia.
Huruf d Yang dimaksud dengan “anggota” adalah pemegang polis pada Usaha Bersama.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Kewajiban menanggung kerugian bagi anggota tidak sampai ke harta pribadi anggota. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Perintah Otoritas Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan RUA luar biasa, di antaranya disebabkan oleh adanya indikasi yang membahayakan kelangsungan usaha dari Usaha Bersama, pelanggaran yang serius terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian, atau dalam hal Direksi Usaha Bersama dan Dewan Komisaris Usaha Bersama tidak menyelenggarakan RUA tahunan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Ayat (13) Cukup jelas.
Pasal 61 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Yang dimaksud dengan “penggantian biaya” adalah penggantian atas biaya yang dikeluarkan oleh peserta RUA atas kehadiran atau keikutsertaannya dalam RUA, di antaranya mencakup biaya transportasi, biaya akomodasi, dan biaya koneksi internet. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Unsur akademisi dan profesional dalam anggota panitia pemilihan memiliki komposisi yang berimbang. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Yang dimaksud dengan “tidak terafiliasi” adalah tidak memiliki hubungan keluarga dengan anggota direksi Usaha Bersama lainnya, anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama, dan/atau peserta RUA. Hubungan keluarga dimaksud dikarenakan perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf i Cukup jelas.
Huruf j Cukup jelas.
Huruf k Cukup jelas.
Huruf l Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas.
Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Hal yang akan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup kewajiban, hak, dan larangan bagi anggota Direksi Usaha Bersama dalam rangka pelaksanaan tugas, wewenang,dan tanggung jawab.
Pasal 71 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga” adalah hubungan keluarga yang terjadi setelah pengangkatan anggota Direksi Usaha Bersama karena perkawinan, semenda, dan keturunan sampai derajat kedua. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Yang dimaksud dengan “tidak terafiliasi” adalah tidak memiliki hubungan keluarga dengan anggota Direksi Usaha Bersama, anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama lain, dan/atau Peserta RUA. Hubungan keluarga dimaksud dikarenakan perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf i Cukup jelas.
Huruf j Cukup jelas.
Huruf k Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas.
Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga” adalah hubungan keluarga yang terjadi setelah pengangkatan anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama karena perkawinan, semenda, dan keturunan sampai derajat kedua. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 77 Ayat (1) Perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki kesehatan keuangan perusahaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas.
Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan untuk melaksanakan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Ayat (1) Huruf a Surat pernyataan menjadi salah satu persyaratan pemenuhan syarat administratif penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 82 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 83 Ayat (1) Program penjaminan polis tidak menjamin unsur investasi yang melekat pada produk asuransi. Ayat (2) Program asuransi sosial dan program asuransi wajib yang dikecualikan dari program penjaminan polis merupakan program asuransi sosial dan program asuransi wajib yang dilaksanakan oleh lembaga tertentu yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan atau ditunjuk dan/atau ditugaskan oleh Pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Materi muatan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan diatur paling sedikit mengenai dana jaminan meliputi pengaturan jenis aset yang dapat digunakan sebagai dana jaminan, jumlah dana jaminan minimum yang harus dimiliki perusahaan, penyesuaian besar dana jaminan berdasarkan volume usaha, tata cara pemindahan atau pencairan dana jaminan, dan penatausahaannya.
Pasal 84 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Peraturan Pemerintah mengatur di antaranya mengenai mekanisme pelaksanaan program penjaminan polis termasuk tahapan mekanisme pelaksanaan program penjaminan polis, nilai manfaat/pertanggungan/santunan yang dijamin, dan batas maksimum pengembalian premi yang belum berjalan. Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 85 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak selain Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 90 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Data dan informasi yang disampaikan Otoritas Jasa Keuangan termasuk pada saat penetapan status Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam upaya penyehatan dan posisi terkini. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan di antaranya mengatur keanggotaan tim likuidasi, jangka waktu pelaksanaan likuidasi, mekanisme pelaksanaan likuidasi oleh tim likuidasi, dan kewenangan tim likuidasi dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya.
Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemisahan pencatatan program penjaminan polis bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dengan mempertimbangkan kesiapan industri asuransi syariah dan kesiapan penyelenggara program penjaminan polis. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Konsolidasi penjaminan dilakukan dalam upaya untuk memperkuat ekosistem penjaminan yang efektif, efisien, sehat, dan berdaya saing, serta memberikan daya dukung bagi perekonomian nasional.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 106 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Skema kegiatan pembiayaan lain merupakan skema pembiayaan di luar skema pembiayaan berdasarkan Undang-Undang ini, termasuk penyaluran pembiayaan mikro. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri di antaranya mencakup bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, bank perekonomian rakyat syariah, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, lembaga keuangan mikro, dan/atau koperasi simpan pinjam/unit simpan pinjam.
Huruf b Perusahaan pembiayaan sekunder perumahan yang dibentuk karena penugasan khusus dari Pemerintah di antaranya mencakup badan usaha milik negara yang dibentuk untuk tujuan tersebut. Pada saat Undang-Undang ini diundangkan adalah PT Sarana Multigriya Finansial (Persero).
Huruf c Perusahaan pembiayaan infrastruktur dan/atau kegiatan pembangunan yang dibentuk karena penugasan khusus dari Pemerintah di antaranya mencakup badan usaha milik negara yang dibentuk untuk tujuan tersebut. Pada saat Undang-Undang ini diundangkan adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero).
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “rapat umum pemegang saham” adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas. Yang dimaksud dengan “rapat anggota” adalah rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian.
Pasal 111 Cukup jelas. Pasal 112 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sumber dana penyertaan” adalah modal disetor sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas atau modal penyertaan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan mengenai koperasi yang melaksanakan kegiatan di sektor jasa keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 113 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan hanya dapat melakukan kegiatan usaha tertentu sesuai dengan izin yang diberikan. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 114 Ayat (1) Pembukaan kantor cabang penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan harus disampaikan terlebih dahulu dalam rencana bisnis perusahaan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap tahun. Selanjutnya pada saat realisasi dilaporkan kembali kepada Otoritas Jasa Keuangan. Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat melakukan kegiatan usaha melalui jaringan operasional dan/atau melalui jaringan teknologi informasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Pihak terafiliasi merupakan pemegang saham atau anggota, PSP, atau pihak ketiga yang memberikan jasanya kepada Usaha Jasa Pembiayaan yang bersangkutan, termasuk konsultan hukum, akuntan publik, dan penilai.
Pasal 119 Kekuatan eksekutorial merupakan kekuatan yang secara langsung dapat digunakan atas suatu putusan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penerapan tata kelola perusahaan yang baik disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan.
Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan lain termasuk anggaran dasar. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 129 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pengurus dan/atau anggota koperasi bertanggung jawab dalam resolusi.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 130 Kegiatan lainnya di antaranya mencakup transaksi luar bursa (over the counter), transaksi Derivatif, dan transaksi sekuritisasi.
Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Cukup jelas. Pasal 136 Program Pensiun yang didasarkan pada undang-undang tersendiri di antaranya mencakup Program Pensiun pada sistem jaminan sosial nasional dan Program Pensiun bagi penyelenggara negara.
Pasal 137 Cukup jelas. Pasal 138 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Yang dimaksud dengan “sistem pendanaan” adalah penyelenggaraan manfaat lain yang dilakukan dengan pemupukan dana sehingga cukup untuk· memenuhi kebutuhan pembayaran manfaat lain dimaksud. Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 139 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal Dana Pensiun dibentuk untuk lebih dari 1 (satu) Pemberi Kerja, 1 (satu) Pemberi Kerja bertindak sebagai Pendiri dan Pemberi Kerja lainnya bertindak sebagai Mitra Pendiri. Dana Pensiun Pemberi Kerja yang dibentuk oleh lebih dari 1 (satu) Pemberi Kerja didasarkan pada pertimbangan praktis, efisiensi, atau alasan lainnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kompetensi dan pengalaman yang memadai dibuktikan di antaranya mencakup latar belakang pendidikan, lamanya bekerja, dan/atau sertifikasi. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas.
Pasal 145 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Peserta mandiri merupakan seseorang, baik karyawan maupun bukan karyawan, yang atas inisiatif sendiri mendaftarkan diri sebagai Peserta pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Huruf b Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Cukup jelas. Pasal 148 Cukup jelas. Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan ini dimaksudkan agar Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pemberitahuan Pengurus dapat mengambil tindakan yang dipandang perlu untuk mencegah memburuknya keadaan Dana Pensiun yang bersangkutan dalam rangka melindungi kepentingan Peserta. Ayat (5) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah dampak negatif yang terjadi pada Dana Pensiun sebagai akibat dari keadaan yang terjadi pada Mitra Pendiri. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 151 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan agar sesuai dengan prinsip bahwa tidak diperkenankan adanya pembayaran kembali dari Dana Pensiun kepada Pemberi Kerja. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Keterlambatan Pemberi Kerja untuk menyetor iuran kepada Dana Pensiun akan mempengaruhi kemampuan Dana Pensiun dalam memenuhi kewajibannya. Oleh sebab itu, tidak dikehendaki adanya keterlambatan penyetoran iuran. Pemberi Kerja bertanggung jawab atas keterlambatan tersebut.
Huruf b Yang dimaksud dengan “hak utama” adalah Dana Pensiun mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada pihak lain dalam hal pembubaran Pemberi Kerja, kecuali dalam kewajiban kepada negara dan kepada tenaga kerja pada Pemberi Kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 154 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “seluruh Manfaat Pensiun” adalah Manfaat Pensiun jangka pendek dan jangka panjang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 155 Cukup jelas. Pasal 156 Ayat (1) Manfaat Pensiun diharapkan merupakan penghasilan bagi Peserta pada masa pensiunnya. Agar maksud tersebut dapat tercapai, Undang-Undang ini melarang penggunaan hak terhadap setiap Manfaat Pensiun sebagai jaminan atas pinjaman, dialihkan, atau disita, yang dapat mengganggu kelancaran penghasilan Peserta dimaksud. Ayat (2) Sebagai akibat dari dilarangnya Manfaat Pensiun digunakan sebagai jaminan pinjaman, semua transaksi yang berkaitan dengan pembayaran Manfaat Pensiun, misalnya pembebanan, atau pengikatan, menjadi batal demi hukum sehingga perikatan yang menyangkut Manfaat Pensiun tersebut dianggap tidak pernah ada. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 157 Ayat (1) Rumus Manfaat Pensiun Program Pensiun Manfaat Pasti di antaranya dikaitkan dengan masa kerja, faktor penghargaan, dan penghasilan dasar pensiun. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud dengan “dana awal Pemberi Kerja” adalah dana yang telah dihimpun oleh Pemberi Kerja baik yang dikelola oleh Pemberi Kerja sendiri maupun oleh pihak lain.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 158 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Peserta yang memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga) tahun dan berhenti bekerja, memiliki hak paling sedikit sebesar akumulasi iurannya sendiri dan imbal hasil yang layak. Pemberian imbal hasil dimaksudkan agar kepada Peserta yang berhenti tersebut tidak hanya berhak atas akumulasi iurannya saja, tetapi juga berhak atas hasil pengembangan dari iuran yang pernah dibayar sebagaimana lazimnya bila seseorang menabung. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 159 Cukup jelas. Pasal 160 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini memberikan hak bagi Peserta untuk menentukan pilihan mengenai Dana Pensiun yang akan membayarkan hak atas Pensiun Ditunda dalam hal Peserta berhenti bekerja. Adapun batas waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkan agar jelas status hak yang timbul bagi Janda/Duda dalam hal Peserta meninggal dunia, yaitu apakah hak atas Pensiun Ditunda atau hak atas Manfaat Pensiun Janda/Duda. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 161 Ayat (1) Larangan Dana Pensiun dikenakan kepada anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dilakukan secara berkala” adalah Manfaat Pensiun dibayarkan secara bulanan sesuai dengan Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 162 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan pembayaran Manfaat Pensiun kepada Peserta dapat dilakukan paling cepat 5 (lima) tahun sebelum Usia Pensiun Normal. Misalnya, apabila Usia Pensiun Normal pada suatu Dana Pensiun ditetapkan pada usia 55 (lima puluh lima) tahun dan seorang Peserta berhenti bekerja pada usia 43 (empat puluh tiga) tahun, Manfaat Pensiun bagi Peserta tersebut tidak dapat dibayarkan sampai Peserta tersebut mencapai usia 50 (lima puluh) tahun. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan di antaranya untuk memudahkan penatausahaan Manfaat Pensiun. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “pembayaran Manfaat Pensiun pertama kali” adalah pembayaran pertama kepada Peserta atas Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun Disabilitas, atau Manfaat Pensiun Dipercepat. Dalam hal Peserta meninggal dunia sebelum Peserta mendapatkan Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun Disabilitas, atau Manfaat Pensiun Dipercepat, maka yang dimaksud dengan “pembayaran Manfaat Pensiun pertama kali” adalah pembayaran pertama Manfaat Pensiun kepada Janda/Duda atau anak. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 165 Cukup jelas. Pasal 166 Ayat (1) Salah satu contoh dana yang dikategorikan sebagai dana tidak aktif merupakan Manfaat Pensiun yang sampai dengan berakhirnya jangka waktu 1 (satu) tahun belum dibayarkan oleh Dana Pensiun karena:
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “balai harta peninggalan” adalah unit pelaksana teknis di bawah kementerian yang membidangi hukum yang bertugas mengurus setiap harta peninggalan tidak terurus sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Cukup jelas. Pasal 169 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Larangan Dana Pensiun dikenakan kepada anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun.
Huruf a Pengelolaan portofolio investasi dilakukan melalui transaksi di Pasar Uang dan Pasar Modal di antaranya mencakup repo (repurchase agreement)/reverse repo (repurchase agreement) dan securities lending.
Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan “pengendali Pendiri” adalah pihak yang memiliki kontrol atas kebijakan strategis Pendiri. Pengendali Pendiri tidak termasuk Pemerintah Republik Indonesia selaku penerbit surat berharga untuk keperluan fiskal yang juga bertindak selaku pengendali perusahaan milik negara.
Angka 2 Cukup jelas.
Angka 3 Yang dimaksud dengan “perusahaan anak” adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Dana Pensiun baik secara langsung maupun tidak langsung.
Angka 4 Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Ketentuan ini dimaksudkan bagi aset Dana Pensiun Pemberi Kerja yang dialihkan pengelolaannya kepada lembaga keuangan. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas. Pasal 175 Cukup jelas. Pasal 176 Cukup jelas. Pasal 177 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “menonaktifkan” adalah memberhentikan anggota Pengurus, anggota Dewan Pengawas, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah untuk sementara waktu dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif dianggap pihak yang paling mengetahui keadaan keuangan dan operasional Dana Pensiun yang sedang diambil alih kepengurusannya oleh pengelola statuter. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 178 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perintah tertulis” adalah perintah secara tertulis untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang undangan di sektor jasa keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian Dana Pensiun, Peserta, atau Pihak yang Berhak. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas.
Pasal 179 Cukup jelas. Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan aktuaris diperlukan untuk mengetahui kondisi kebutuhan pendanaan demi keberlanjutan program. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 182 Ayat (1) Pengumuman kondisi keuangan dan perhitungan hasil usaha kepada Peserta dimaksudkan agar Peserta mengetahui keadaan keuangan suatu Dana Pensiun. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Informasi mengenai perubahan Peraturan Dana Pensiun di antaranya mencakup hal yang berdampak terhadap hak yang akan diterima Peserta. Ayat (5) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup bentuk, susunan, waktu, dan tata cara mengenai kondisi keuangan dan perhitungan hasil usaha, hal yang timbul terkait kepesertaan, dan informasi setiap perubahan Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 183 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud dengan “Pendiri bubar” termasuk apabila Pendiri dalam proses likuidasi.
Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan “tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Peserta dan Pihak yang Berhak” di antaranya tidak dapat membayar Manfaat Pensiun yang telah jatuh tempo.
Angka 2 Contoh: Pemberi Kerja tidak membayar iuran kepada Dana Pensiun Pemberi Kerja dalam jangka waktu tertentu sehingga mengakibatkan kondisi keuangan Dana Pensiun Pemberi Kerja memburuk. Memburuknya kondisi keuangan ditunjukkan dengan menurunnya rasio pendanaan sehingga Dana Pensiun Pemberi Kerja memiliki potensi tidak mampu membayar Manfaat Pensiun kepada Peserta dan Pihak yang Berhak pada masa yang akan datang.
Angka 3 Cukup jelas. Ayat (2) Penetapan oleh Otoritas Jasa Keuangan merupakan persetujuan secara administratif tentang pembubaran Dana Pensiun. Pembubaran tersebut memerlukan tindak lanjut agar hal yang berhubungan dengan masalah penyelesaian dapat dilaksanakan melalui proses likuidasi. Dalam hal Pendiri bubar, likuidator Pendiri dapat mewakili Pendiri untuk menunjuk likuidator Dana Pensiun. Yang dimaksud dengan “likuidator Pendiri” adalah pihak-pihak yang memiliki tugas melakukan likuidasi Pendiri. Ayat (3) Penunjukan likuidator termasuk perubahannya oleh Otoritas Jasa Keuangan dapat berasal dari usulan Pendiri Dana Pensiun. Ayat (4) Penunjukan Pengurus didasarkan pada pertimbangan bahwa Pengurus merupakan pihak yang paling mengetahui tentang segala aspek yang perlu diselesaikan melalui proses likuidasi. Pihak lain di antaranya mencakup akuntan publik atau aktuaris. Ayat (5) Dewan Pengawas bertugas melakukan pengawasan terhadap proses likuidasi Dana Pensiun. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 184 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya memuat jangka waktu tertentu dan pengalihan hak tagih, proses likuidasi dan tanggung jawab Pemberi Kerja atas iuran yang terutang dan pembagian aset Dana Pensiun, serta jumlah maksimum.
Pasal 185 Cukup jelas. Pasal 186 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran asosiasi dalam mengatur para anggotanya (self regulatory) dan melancarkan koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 187 Cukup jelas. Pasal 188 Angka 1 Pasal 36 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 37 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 189 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “sistem jaminan sosial nasional” adalah sistem jaminan sosial nasional sebagaimana diatur dalam undang undang mengenai sistem jaminan sosial nasional. Ayat (4) Program Pensiun tambahan yang bersifat wajib dapat dilakukan dalam bentuk kewajiban pendanaan atas Program Pensiun yang sudah ada atau dapat dalam bentuk program yang baru. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 190 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Pengelola Program Pensiun” adalah seluruh pengelola Program Pensiun, baik yang bersifat wajib maupun sukarela, di antaranya mencakup Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, PT Asabri, PT Taspen, Dana Pensiun Pemberi Kerja, dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Program Pensiun mencakup keseluruhan program pensiun, baik yang bersifat wajib maupun sukarela di antaranya mencakup program jaminan hari tua dan jaminan pensiun dalam sistem jaminan sosial nasional, program tabungan hari tua dan jaminan pensiun bagi penyelenggara negara, dan program pensiun dan manfaat lain yang diselenggarakan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Kompetensi dan pengalaman yang memadai bagi pengelola Program Pensiun dibuktikan dengan di antaranya memiliki latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, dan/atau sertifikasi yang terkait dengan pengelolaan Program Pensiun. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “Program Pensiun Iuran Pasti” adalah Program Pensiun yang besaran iurannya ditetapkan dalam suatu peraturan, dan seluruh iuran serta hasil pengembangannya dibukukan pada rekening masing-masing Peserta sebagai Manfaat Pensiun. Dalam hal ini, untuk Program Pensiun yang bersifat sukarela, besaran iuran sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. Sedangkan untuk Program Pensiun yang bersifat wajib, besaran iuran sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Huruf a Yang dimaksud dengan dilakukan secara “transparan dan lengkap” adalah menyampaikan informasi imbal hasil keseluruhan yang didapatkan baik karena sudah menjual atau melepas aset investasi (realized) maupun imbal hasil yang didapatkan dari kenaikan atau penurunan nilai atas aset investasi yang belum dijual atau dilepas (unrealized) beserta biaya terkait pengelolaan aset.
Huruf b Yang dimaksud dengan “imbal hasil relatif” adalah imbal hasil yang menggunakan tolok ukur pasar.
Huruf c Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas.
Pasal 191 Ayat (1) Pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara, pada saat Undang-Undang ini diundangkan, di antaranya mencakup BPJS Ketenagakerjaan, PT Asabri, dan PT Taspen. Yang dimaksud dengan “cut loss” adalah menjual aset investasi dengan nilai di bawah harga perolehan. Aset yang dikelola di antaranya mencakup seluruh aset yang dikelola pengelola Program Pensiun baik yang merupakan aset Program Pensiun maupun aset selain Program Pensiun. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan prinsip “kehati-hatian” adalah pengelolaan aset Program Pensiun dilakukan dengan cermat, teliti, aman, dan tertib serta dengan mempertimbangkan aspek risiko keuangan dan batasan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Kondisi yang membahayakan kepentingan Peserta dan/atau Pihak yang Berhak di antaranya mencakup Dana Pensiun tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Peserta dan/atau Pihak yang Berhak. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 194 Cukup jelas. Pasal 195 Cukup jelas. Pasal 196 Cukup jelas. Pasal 197 Cukup jelas. Pasal 198 Cukup jelas. Pasal 199 Cukup jelas. Pasal 200 Cukup jelas. Pasal 201 Cukup jelas. Pasal 202 Pasal 44B Ayat (1) Yang dimaksud dengan “melaksanakan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan” adalah bertindak sebagai pelaku usaha yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Kegiatan dalam sektor jasa keuangan di antaranya mencakup kegiatan perbankan, usaha perasuransian, usaha Program Pensiun, Pasar Modal, usaha lembaga pembiayaan, dan kegiatan lainnya yang ditetapkan peraturan perundang undangan sebagai kegiatan di sektor jasa keuangan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Ketentuan yang dimaksud di antaranya mencakup permodalan, penempatan dana, investasi, penerapan prinsip kehati-hatian, tata kelola, pelaporan dan pemeriksaan keuangan, mitigasi risiko, tanggung jawab pengurus dalam resolusi, dan ketentuan norrna, standar, prosedur, serta kriteria yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional.
Pasal 203 Cukup jelas. Pasal 204 Angka 1 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 8 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “LKM inkubasi” adalah LKM baik yang didirikan dalam rangka menyelenggarakan program Pemerintah maupun yang didirikan oleh masyarakat yang tidak menghimpun dana dan belum mampu memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam undang undang mengenai lembaga keuangan mikro.
Ayat (6) Cukup jelas.
Ayat (7) LKM inkubasi dalam ketentuan ini diarahkan untuk dapat bertransformasi menjadi di antaranya LKM, BPR, atau Usaha Jasa Pembiayaan, baik yang menjalan usaha secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah.
Ayat (8) Ketentuan yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah di antaranya mencakup syarat, tata cara, dan jangka waktu pendaftaran LKM inkubasi; penyelenggaraan kegiatan usaha LKM inkubasi; dan upaya Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk mendorong LKM inkubasi mampu menjadi lembaga yang memiliki izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Angka 4 Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Kegiatan usaha lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan harus sesuai dengan karakteristik LKM sebagai lembaga keuangan yang memiliki misi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat serta tidak semata-mata mencari keuntungan.
Ayat (2) Ketentuan yang akan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup suku bunga Pinjaman dan imbal hasil Pembiayaan. Angka 5 Pasal 16 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Huruf a Pengurus dan/atau anggota koperasi bertanggung jawab dalam resolusi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Infrastruktur pembinaan dan pengawasan LKM di antaranya mencakup sumber daya manusia, anggaran, dan infrastruktur lainnya.
Ayat (6) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Tembusan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dimaksudkan di antaranya untuk memantau pengembangan skala usaha LKM. LKM skala usaha kecil yang telah memenuhi persyaratan sebagai LKM skala usaha menengah dan besar mengikuti ketentuan pembinaan dan pengawasan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3) Cukup jelas. Angka 10 Pasal 30A Pihak terafiliasi merupakan pemegang saham atau anggota, PSP, atau pihak ketiga yang memberikan jasanya kepada LKM yang bersangkutan, termasuk konsultan hukum, akuntan publik, dan penilai.
Pasal 30B Lihat penjelasan Pasal 30A.
Pasal 30C Lihat penjelasan Pasal 30A. Angka 11 Pasal 31 Cukup jelas. Angka 12 Pasal 33 Cukup jelas. Angka 13 Pasal 34 Cukup jelas. Angka 14 Pasal 35 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 36 Cukup jelas. Angka 16 Pasal 37 Cukup jelas. Angka 17 Pasal 38 Cukup jelas. Angka 18 Pasal 38A Cukup jelas.
Pasal 38B Cukup jelas.
Pasal 205 Ayat (1) Parameter signifikan di antaranya berdasarkan jumlah minimum aset pada periode tertentu, kegiatan bisnis yang dijalankan, dan jumlah transaksi intragroup. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pengaturan mengenai Konglomerasi Keuangan mengatur di antaranya:
Pasal 206 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Kriteria tertentu di antaranya mencakup kepemilikan secara langsung oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Konglomerasi Keuangan yang tidak signifikan dan tidak berdampak terhadap sistem keuangan. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 207 Cukup jelas. Pasal 208 Cukup jelas. Pasal 209 Cukup jelas. Pasal 210 Pihak terelasi di antaranya mencakup perusahaan nonkeuangan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh PSP/PSPT. Pihak lain yang terkait di antaranya mencakup PSP/PSPT/pihak yang memiliki hubungan transaksi keuangan dengan Konglomerasi Keuangan.
Pasal 211 Cukup jelas. Pasal 212 Koordinasi dengan Bank Indonesia dan/atau kementerian/lembaga terkait di antaranya dilakukan melalui pertukaran data dan/atau informasi serta dalam pelaksanaan pengaturan dan pengawasan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pasal 213 Huruf a ITSK dalam sistem pembayaran di antaranya mencakup inovasi teknologi dalam tahapan pemrosesan transaksi pembayaran yang terdiri atas kegiatan pratransaksi, inisiasi, otorisasi, kliring, setelmen, dan pascatransaksi dalam mendukung ekonomi dan keuangan digital. Huruf b ITSK dalam penyelesaian transaksi surat berharga di antaranya mencakup inovasi teknologi dalam proses kliring, proses penyelesaian, dan pencatatan kepemilikan serta penyimpanan instrumen di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, serta efek di Pasar Modal. Huruf c ITSK dalam penghimpunan modal di antaranya mencakup inovasi teknologi dalam penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowdfunding) dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik dan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait termasuk di bidang pasar modal. Huruf d ITSK dalam pengelolaan investasi di antaranya mencakup inovasi teknologi dalam pengelolaan investasi yang menggunakan advance algorithm (seperti robo advisory, automated advice and management (seperti digital financial plannery, dan retail algorithmic trading (seperti forex trading). Huruf e ITSK terkait pengelolaan risiko di antaranya mencakup kegiatan inovasi teknologi dalam hal pengembangan produk, seleksi risiko (underwriting), penanganan klaim, serta distribusi dan penjualan. Huruf f ITSK dalam penghimpunan dan/atau penyaluran dana di antaranya mencakup digital banking, pinjam-meminjam berbasis aplikasi teknologi (peer-to-peer lending), funding agent, financing agent, dan project financing. Huruf g ITSK terkait pendukung pasar merupakan inovasi teknologi dalam rangka mendukung kebutuhan WK di antaranya mencakup credit scoring, aggregator, dan e-know your customer (e-KYC yang menggunakan teknologi di antaranya mencakup artificial intelligence/machine learning, machine readable news, social sentiment, big data, market information platform, dan automated data collection and analysis. Huruf h Aset keuangan digital merupakan aset keuangan yang disimpan atau direpresentasikan secara digital, termasuk di dalamnya aset kripto. Huruf i Cukup jelas.
Pasal 214 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Prinsip Syariah difatwakan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Fatwa ditindaklanjuti oleh otoritas terkait dalam bentuk peraturan. Dalam rangka penyusunan peraturan, otoritas terkait berkoordinasi dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Pasal 215 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Tata kelola di antaranya mencakup keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran.
Huruf b Termasuk dalam lingkup manajemen risiko di antaranya pengawasan aktif oleh pengurus, ketersediaan kebijakan dan prosedur serta pemenuhan kecukupan struktur organisasi, proses manajemen risiko dan fungsi manajemen risiko, serta sumber daya manusia, dan pengendalian intern.
Huruf c Keamanan dan keandalan sistem informasi di antaranya mencakup ketersediaan kebijakan dan prosedur tertulis sistem informasi, penggunaan sistem yang aman dan andal, di antaranya pengamanan dan pelindungan kerahasiaan data, pengelolaan fraud, pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan dan keandalan sistem, pemeliharaan dan peningkatan keamanan teknologi, penerapan standar keamanan siber, pengamanan data dan/atau informasi, dan pelaksanaan audit sistem informasi secara berkala.
Huruf d Pelindungan Konsumen di antaranya mencakup edukasi dan Literasi Keuangan, serta Pengawasan Perilaku Pasar (Market Conduct).
Huruf e Ketentuan peraturan perundang-undangan di antaranya mencakup ketentuan terkait anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Pasal 216 Ayat (1) Pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK termasuk jenis usaha, produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dari masing-masing ruang lingkup ITSK. Ayat (2) Huruf a Keseimbangan antara upaya dalam mendorong inovasi dengan mitigasi risiko di antaranya mencakup prinsip keterbukaan, keluwesan, keberlanjutan, Pelindungan Konsumen, dan mitigasi risiko.
Huruf b Integrasi ekonomi dan keuangan digital berorientasi pada ekosistem.
Huruf c Efisiensi dan praktik bisnis yang sehat di antaranya mencakup prinsip efektivitas dan efisiensi serta bertanggung jawab, termasuk upaya penyelenggaraan uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) yang terkoordinasi.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Perizinan dapat di antaranya mencakup pendaftaran, pencatatan, persetujuan, penetapan, dan/atau pemberian izin.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas. Pasal 217 Cukup jelas. Pasal 218 Cukup jelas. Pasal 219 Ayat (1) Hasil evaluasi uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) dapat dijadikan pertimbangan dalam perumusan pengaturan, pengawasan, dan pengembangan produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis dalam pengembangan ekonomi dan keuangan. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 220 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan termasuk penetapan kode etik dan standar. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 221 Cukup jelas. Pasal 222 Ayat (1) Penerapan Keuangan Berkelanjutan juga mencakup pembiayaan transisi untuk proyek yang melakukan peralihan atau transformasi dari kegiatan yang menghasilkan emisi karbon tinggi menuju pada kegiatan yang lebih ramah lingkungan. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Pengembangan produk, transaksi, dan jasa Keuangan Berkelanjutan mencakup pengembangan skema pembiayaan campuran (blended finance). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “otoritas sektor keuangan” adalah Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 223 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Kementerian Keuangan berperan dalam menyusun dan menetapkan instrumen kebijakan fiskal yang mendukung pengembangan Keuangan Berkelanjutan. Otoritas Jasa Keuangan berperan dalam mengawasi dan meningkatkan kinerja sektor jasa keuangan dalam mengembangkan Keuangan Berkelanjutan. Bank Indonesia berperan dalam mendukung pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan demi menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan dari ancaman dampak perubahan iklim.
Huruf c Infrastruktur pendukung pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan di antaranya meliputi verifikasi, sertifikasi, pengembangan kompetensi profesi terkait, pengembangan standar laporan keberlanjutan, dan lembaga pemeringkat surat berharga. Verifikasi atas kriteria dan standar hijau/berkelanjutan dari sebuah produk dan/atau jasa Keuangan Berkelanjutan harus dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan investor pada produk dan/atau jasa pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan pembiayaan transisi yang dikeluarkan oleh PUSK. Sertifikasi atas kapasitas/kecakapan seseorang dalam menilai dan memverifikasi apakah sebuah produk dan/atau jasa pembiayaan telah dapat dinilai sebagai produk dan/atau jasa Keuangan Berkelanjutan perlu dikembangkan untuk meningkatkan kepercayaan investor atas hasil dari penilaian dan verifikasi. Pengembangan kompetensi profesi terkait di antaranya mencakup pemberian pengetahuan mengenai Keuangan Berkelanjutan pada profesi yang ada (akuntan, penilai, dan aktuaria). Pengembangan kompetensi profesi khusus yang berkaitan dengan produk dan/atau jasa pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan pembiayaan transisi perlu dipertimbangkan oleh Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.
Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 224 Cukup jelas. Pasal 225 Cukup jelas. Pasal 226 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “otoritas sektor keuangan” adalah Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 227 Cukup jelas. Pasal 228 Huruf a Yang dimaksud dengan “edukasi yang memadai” adalah prinsip yang mengedepankan nilai dan aksi edukatif di antaranya mengenai peran PUSK dalam memberikan:
Huruf b Yang dimaksud dengan “keterbukaan dan transparansi informasi produk dan/atau layanan” adalah prinsip yang mengutamakan kejelasan, keakuratan, kejujuran, dan tidak menyesatkan dari informasi mengenai produk dan/atau layanan baik sebelum, saat, maupun sesudah produk dan/atau layanan digunakan oleh Konsumen termasuk penjelasan mengenai risiko kerugian yang mungkin timbul. Huruf c Yang dimaksud dengan “perlakuan yang adil dan perilaku bisnis yang bertanggung jawab” adalah prinsip yang mengedepankan tindakan yang adil, tidak diskriminatif, dan bertanggungjawab dari PUSK dalam menjalankan bisnis dengan memperhatikan kepentingan Konsumen di antaranya:
Huruf d Yang dimaksud dengan “pelindungan aset, privasi, dan data Konsumen” adalah prinsip yang menekankan pada kepastian adanya prosedur, mekanisme, dan sistem untuk memberikan jaminan pelindungan, menjaga kerahasiaan dan keamanan atas aset keuangan yang dikelola oleh PUSK, privasi, data dan/atau informasi Konsumen, serta menggunakan sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang disetujui Konsumen dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf e Yang dimaksud dengan “penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien” adalah prinsip yang memfokuskan pada pemenuhan hak-hak Konsumen dalam menyampaikan pengaduan dan sengketa di antaranya mencakup perangkat, prosedur, dan mekanisme mulai dari penerimaan hingga penyelesaian pengaduan oleh PUSK dengan sederhana, cepat, dan biaya yang terjangkau. Huruf f Yang dimaksud dengan “penegakan kepatuhan” adalah prinsip yang menitikberatkan pada tindakan PUSK untuk memastikan kepatuhan terhadap ketentuan Pelindungan Konsumen berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan, contoh:
Huruf g Yang dimaksud dengan “persaingan yang sehat” adalah persaingan antara PUSK dalam menjalankan kegiatan usaha yang dilakukan dengan cara jujur atau tidak melawan hukum atau tidak menghambat persaingan usaha.
Pasal 229 Cukup jelas. Pasal 230 Cukup jelas. Pasal 231 Cukup jelas. Pasal 232 Cukup jelas. Pasal 233 Cukup jelas. Pasal 234 Cukup jelas. Pasal 235 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Edukasi keuangan di antaranya mencakup edukasi mengenai produk dan/atau layanan yang sesuai kebutuhan dan kemampuan Konsumen untuk membantu dalam pengambilan keputusan keuangan.
Huruf h Yang dimaksud dengan “secara benar” adalah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf i Cukup jelas.
Huruf j Cukup jelas.
Huruf k Ketentuan peraturan perundang-undangan di antaranya mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak Konsumen dalam penyelenggaraan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan. Ayat (3) Huruf a Metode pemasaran tertentu di antaranya mencakup pemasaran melalui telemarketing.
Huruf b Dalam hal ini termasuk penggunaan cara lain bagi Konsumen difabel untuk melaksanakan kewajiban ini.
Huruf c Beriktikad baik di antaranya mencakup dalam memberikan informasi dengan jujur dan benar.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 236 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Yang dimaksud dengan “diskriminatif” di antaranya pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, dan agama.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf i Cukup jelas.
Huruf j Cukup jelas.
Huruf k Cukup jelas.
Huruf l Cukup jelas.
Huruf m Cukup jelas.
Huruf n Cukup jelas.
Huruf o Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 237 Huruf a Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk mencakup penghimpunan dana di luar sektor keuangan, misalnya arisan keluarga dan penghimpunan dana untuk tujuan sosial. Huruf b Tidak termasuk penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (private placement) dan modal ventura. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.
Pasal 238 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “keseimbangan” adalah pembuatan perjanjian dilakukan dengan mempertimbangkan kesetaraan hak dan kewajiban antara PUSK dengan Konsumen. Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah terpenuhinya segala sesuatu yang merupakan hak dan kewajiban dalam hubungan antara para pihak, dalam hal ini PUSK dan Konsumen. Yang dimaksud dengan “kewajaran” adalah tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat dalam menentukan isi perjanjian. Nilai tersebut merujuk di antaranya pada moral dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Ayat (2) Perjanjian tertulis termasuk perjanjian dalam bentuk elektronik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Klausul pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUSK kepada Konsumen di antaranya Konsumen membebaskan PUSK dari tanggung jawab dan/atau pemberian ganti rugi dalam bentuk apa pun yang mungkin timbul dari keluhan, atau gugatan yang diajukan oleh Konsumen atau kuasanya. Klausul baku ini mengalihkan tanggung jawab yang secara hukum merupakan tanggung jawab pelaku usaha, menjadi tanggung jawab Konsumen melalui perjanjian.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Yang dimaksud dengan “memberi hak kepada PUSK untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi objek perjanjian produk dan layanan” di antaranya PUSK melakukan perubahan nilai proteksi (coverage) pertanggungan asuransi.
Huruf e Pemberian kuasa Konsumen kepada PUSK dibuat terpisah dari Perjanjian Baku dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf f Menambah, mengubah dan/atau lanjutan secara sepihak disetujui/disepakati termasuk munculnya aturan baru.
Huruf g Cukup jelas.
Huruf h Cukup jelas.
Huruf i Cukup jelas.
Huruf j Cukup jelas.
Huruf k Cukup jelas.
Huruf l Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 239 Cukup jelas. Pasal 240 Cukup jelas. Pasal 241 Cukup jelas. Pasal 242 Cukup jelas. Pasal 243 Pelindungan Konsumen termasuk pengaturan dan pengawasan Pelindungan Konsumen, penanganan pengaduan Konsumen, penyelesaian sengketa, dan edukasi Konsumen. Koordinasi dilakukan dalam hal terdapat aktivitas penyediaan produk dan/atau layanan keuangan yang lintas industri yang diatur dan diawasi oleh institusi yang berbeda.
Pasal 244 Cukup jelas. Pasal 245 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “lembaga atau badan penyelesaian sengketa” adalah lembaga atau badan yang melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Penyampaian pengaduan disampaikan oleh Konsumen melalui kanal resmi yang telah ditentukan oleh masing-masing otoritas sektor keuangan. Permohonan penyelesaian sengketa Konsumen didasarkan atas di antaranya sengketa atau beda pendapat perdata. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 246 Cukup jelas. Pasal 247 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan di antaranya mencakup kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dan/atau untuk disalurkan kepada masyarakat, penerbitan surat berharga yang bersifat ekuitas atau utang/sukuk yang ditawarkan kepada masyarakat, penyediaan produk atau jasa sistem pembayaran dan/atau kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan penghimpunan dana, penyaluran dana, pengelolaan dana, keperantaraan di sektor keuangan, dan penyediaan produk atau jasa sistem pembayaran. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 248 Cukup jelas. Pasal 249 Ayat (1) Usaha Mikro termasuk di dalamnya usaha ultra mikro. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “DPR” adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 250 Usaha Mikro termasuk di dalamnya usaha ultra mikro.
Pasal 251 Cukup jelas. Pasal 252 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Materi yang akan diatur minimal mengenai kriteria pengelolaan dan pelaporan.
Pasal 253 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Standar kompetensi meliputi standar kompetensi untuk bidang atau jabatan pada industri sektor keuangan. Bidang atau jabatan dimaksud merupakan jenjang pekerjaan atau bagian pada suatu industri sektor keuangan yang melaksanakan fungsi kegiatan tertentu. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 254 Cukup jelas. Pasal 255 Cukup jelas. Pasal 256 Cukup jelas. Pasal 257 Cukup jelas. Pasal 258 Cukup jelas. Pasal 259 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Koordinasi dilakukan di antaranya terkait pertukaran data, penyusunan regulasi, pemeriksaan bersama, dan pengenaan sanksi sebagai tindak lanjut dari pemeriksaan bersama. Ayat (5) Kewajiban pendaftaran untuk memastikan kompetensi dan keahlian Profesi Penunjang Sektor Keuangan telah sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan oleh industri keuangan. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 260 Cukup jelas. Pasal 261 Cukup jelas. Pasal 262 Cukup jelas. Pasal 263 Cukup jelas. Pasal 264 Yang dimaksud dengan “lembaga pendidikan lainnya yang setara” adalah lembaga penyelenggara pendidikan yang memperoleh pengakuan dari kementerian, lembaga, atau otoritas pembina dan pengawas sektor keuangan.
Pasal 265 Ayat (1) Peta jalan yang disusun mencakup strategi penguatan dan pengembangan sumber daya manusia sektor keuangan dalam jangka pendek, jangka menengah, dan/atau jangka panjang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penyusunan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh Kementerian Keuangan dengan melibatkan di antaranya Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 266 Ayat (1) Huruf a Keterbukaan mencakup keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan.
Huruf b Akuntabilitas mencakup kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban.
Huruf c Tanggung jawab mencakup kesesuaian pengelolaan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik.
Huruf d Independensi mencakup keadaan yang dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik.
Huruf e Kewajaran mencakup kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di dalam memenuhi hak pemangku kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan, dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik. Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong penerapan tata kelola yang baik agar benar-benar dapat menjalankan fungsinya untuk memastikan industri sektor keuangan menjalankan praktik usaha yang sehat.
Pasal 267 Manajemen risiko di antaranya mencakup pengawasan aktif oleh pengelola, ketersediaan kebijakan dan prosedur serta pemenuhan kecukupan struktur organisasi, proses manajemen risiko dan fungsi manajemen risiko, sumber daya manusia, serta pengendalian internal.
Pasal 268 Cukup jelas. Pasal 269 Cukup jelas. Pasal 270 Cukup jelas. Pasal 271 Ayat (1) Pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan di antaranya mencakup debitur perbankan, debitur perusahaan pembiayaan, dan emiten di Pasar Modal atau Pasar Uang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Akuntan publik merupakan seseorang yang telah mendapatkan izin akuntan publik dari Kementerian Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai akuntan publik.
Pasal 272 Cukup jelas. Pasal 273 Materi pengaturan dalam Peraturan Pemerintah memuat minimal:
Pasal 274 Cukup jelas. Pasal 275 Cukup jelas. Pasal 276 Angka 1 Pasal 15A Ayat (1) Pelaksanaan koordinasi tersebut di antaranya terkait dengan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, penempatan dana, divestasi Bank Perantara, dan tindakan perbaikan Bank Sistemik. Pelaksanaan koordinasi tersebut sesuai dengan kewenangan dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 15B Ayat (1) Pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki setiap lembaga merupakan pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, atau Lembaga Penjamin Simpanan secara individual lembaga. Potensi permasalahan Bank di antaranya ditandai dengan:
Ayat (2) Langkah antisipatif yang dapat dilakukan Otoritas Jasa Keuangan termasuk meminta kepada Bank untuk melakukan tindakan perbaikan segera (prompt corrective actions) dan/atau memerintahkan Bank untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor perbankan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian Konsumen, masyarakat, dan sektor perbankan (cease and desist order), serta menetapkan status pengawasan Bank. Bagi Bank Indonesia, hasil pemeriksaan ini dapat dijadikan dasar untuk mengantisipasi kemungkinan permohonan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, termasuk memastikan daftar aset Bank sudah valid saat dijadikan agunan dalam permohonan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah. Bagi Lembaga Penjamin Simpanan, hasil pemeriksaan ini dapat dijadikan dasar untuk mengantisipasi kemungkinan penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank serta kemungkinan kegagalan Bank yang tiba-tiba. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 16A Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Penetapan status pengawasan Bank dalam ketentuan ini dapat berasal dari perubahan status Bank dalam pengawasan normal menjadi Bank dalam penyehatan atau Bank dalam penyehatan menjadi Bank dalam resolusi atau sebaliknya (vice versa), ketika Bank memenuhi kriteria tertentu.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Dalam menetapkan ketentuan mengenai kriteria penetapan status pengawasan Bank, Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan rekomendasi forum koordinasi.
Suatu Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila kondisi usaha Bank semakin memburuk, di antaranya ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan Bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.
Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pemberitahuan tertulis Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan Bank Indonesia disertai informasi terkini tindakan pengawasan yang telah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank.
Cukup jelas.
Huruf a Angka 1 Cukup jelas.
Langkah penyehatan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya menerbitkan perintah tertulis, menempatkan pengelola statuter, dan/atau melalui mekanisme lain berdasarkan undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Uji tuntas dan penjajakan kepada Bank lain yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dilakukan dalam rangka persiapan resolusi Bank.
Huruf a Perintah Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank dimaksudkan untuk menjaga kondisi keuangan Bank sehingga pada saat akan dilakukan penanganan Bank tidak terjadi perubahan secara material. Perintah Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank dimaksudkan untuk melancarkan proses pengalihan aset dan/atau kewajiban Bank. Huruf b Dukungan tersebut dimaksudkan agar penyelesaian transaksi pengalihan aset dan/atau kewajiban Bank dapat dilakukan secepat mungkin dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan melakukan tindakan resolusi.
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “pengelola statuter” adalah orang perseorangan atau badan hukum yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan untuk melaksanakan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan.
Cukup jelas.
Perhitungan tingkat permodalan dapat ditambahkan dengan tambahan modal penyangga (buffer).
Huruf a Cukup jelas.
Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan “nasabah” adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
Cukup jelas.
Ayat (1) Pemberitahuan penetapan Bank dalam resolusi disampaikan Otoritas Jasa Keuangan secara tertulis kepada Bank dan Lembaga Penjamin Simpanan, untuk menegaskan bahwa Otoritas Jasa Keuangan telah menetapkan Bank dalam resolusi, dan sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan segala hak dan wewenang rapat umum pemegang saham, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank dimaksud beralih kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Huruf a Yang dimaksud dengan “permodalan minimum” adalah permodalan minimum yang disarankan untuk menjaga prinsip kehati-hatian (prudential) dalam menjalankan kegiatan usaha Bank. Penetapan Bank sebagai Bank dalam resolusi terjadi ketika penurunan persentase di bawah permodalan minimum dan/atau giro wajib minimum pada periode Bank dalam penyehatan belum berakhir. Yang dimaksud dengan “giro wajib minimum” adalah giro wajib minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan mengenai giro wajib minimum. Huruf b Yang dimaksud dengan “permasalahan likuiditas mendasar” adalah:
Huruf c Cukup jelas.
Cukup jelas.
Dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan menyerahkan penetapan Bank Sistemik sebagai Bank dalam resolusi kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan dilakukan koordinasi langkah yang harus dilakukan oleh Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan wewenang masing-masing, untuk mendukung tindakan resolusi Lembaga Penjamin Simpanan kepada Bank Sistemik.
Cukup jelas.
Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 17 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 18 Kecukupan modal di antaranya mencakup bantalan cadangan permodalan (capital conservation buffer). Kecukupan likuiditas di antaranya mencakup rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio) dan rasio pendanaan yang stabil (net stable funding ratio). Angka 7 Pasal 18A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “rencana aksi pemulihan” (recovery plan) adalah rencana untuk mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di Bank Sistemik.
Penerapan dari rencana aksi pemulihan dilakukan untuk mengatasi permasalahan keuangan Bank Sistemik yang terjadi baik pada saat status pengawasan normal maupun saat status pengawasan Bank dalam penyehatan. Jenis kewajiban tertentu di antaranya mencakup simpanan milik PSP dan/atau instrumen jenis kewajiban tertentu yang dapat dikonversi menjadi modal.
Tambahan kapasitas permodalan (capital surcharge) bagi Bank Sistemik termasuk instrumen jenis kewajiban tertentu yang dapat dikonversi menjadi modal.
Cukup jelas.
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “rencana resolusi” (resolution plan) adalah rencana tindakan resolusi Bank Sistemik yang disusun secara komprehensif, yang berisi antara lain rincian karakteristik bank dan strategi tindakan resolusi yang diutamakan (preferred) untuk Bank Sistemik tersebut, dalam rangka menjaga keberlangsungan fungsi ekonomi penting (critical economic functions) Bank tanpa menyebabkan gangguan pada Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam penyusunan rencana resolusi tersebut, Lembaga Penjamin Simpanan menyiapkan panduan penyusunan rencana resolusi untuk Bank Sistemik. Berdasarkan panduan tersebut, Bank Sistemik menyusun konsep awal yang akan ditindaklanjuti oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Rencana resolusi merupakan salah satu alat bantu bagi Lembaga Penjamin Simpanan ketika akan mengambil keputusan saat tindakan resolusi kepada Bank Sistemik dan tidak bersifat mengikat bagi Lembaga Penjamin Simpanan.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan “uji resolvabilitas” (resolvability assessment) adalah tindakan pengujian Lembaga Penjamin Simpanan terhadap kelayakan dan kredibilitas atas rencana resolusi Bank Sistemik yang telah disetujui Lembaga Penjamin Simpanan dan strategi dalam menghilangkan potensi hambatan yang mungkin ada pada saat implementasi tindakan resolusi Bank Sistemik. Uji resolvabilitas dilakukan utamanya untuk melihat dampak kegagalan Bank Sistemik terhadap Sistem Keuangan dan perekonomian secara keseluruhan. Uji resolvabilitas oleh Lembaga Penjamin Simpanan kepada Bank Sistemik dilakukan sewaktu-waktu, baik pada saat Bank Sistemik dalam status pengawasan normal maupun dalam status Bank dalam penyehatan.
Tindakan perbaikan di antaranya mencakup pemutakhiran rencana resolusi yang telah disetujui Lembaga Penjamin Simpanan dan melakukan langkah antisipatif untuk menghilangkan atau meminimalkan potensi hambatan tersebut.
Hasil koordinasi antara Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas Jasa Keuangan dituangkan dalam bentuk tertulis.
Materi muatan dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan di antaranya mengatur mengenai tata cara penyusunan rencana resolusi bagi Bank Sistemik termasuk kewajiban pemutakhiran rencana resolusi oleh Bank Sistemik dan mekanisme penilaian rencana resolusi oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Angka 8 Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas.
Langkah penyehatan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan di antaranya menerbitkan perintah tertulis dan/atau melalui mekanisme lain berdasarkan undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
Cukup jelas.
Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kesulitan likuiditas” adalah kesulitan likuiditas jangka pendek yang disebabkan oleh arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan arus dana keluar (mismatch) sehingga bank umum tidak dapat memenuhi kewajiban giro wajib minimum.
Cukup jelas.
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penilaian dilakukan untuk memastikan Bank mempunyai agunan yang cukup, Apabila pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia sepenuhnya berhak mencairkan agunan yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan Bank maka ketentuan tata cara pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah disusun agar dapat diterapkan. Angka 12 Pasal 20A Cukup jelas. Angka 13 Pasal 20B Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Materi muatan dalam Peraturan Pemerintah di antaranya mencakup pengajuan penempatan dana, total penempatan dana, dan koordinasi antara Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.
Ayat (1) Cukup jelas.
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terkait dengan pemantauan harian terhadap riwayat sistem pembayaran Bank.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas. Angka 14 Cukup jelas. Angka 15 Pasal 21 Dihapus. Angka 16 Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Fungsi dan layanan Bank Sistemik, terutama yang berpotensi menimbulkan dampak sistemik, perlu dipertahankan kesinambungannya dengan mengalihkan kepada Bank lain dengan cara yang saksama dan dalam waktu sesingkat singkatnya. Untuk itu, Lembaga Penjamin Simpanan perlu memiliki wewenang untuk mengalihkan kewajiban Bank yang melekat pada fungsi dan layanan tersebut, termasuk simpanan nasabah dan pinjaman antar-Bank, tanpa menunggu persetujuan dari pihak yang memiliki kepentingan atas kewajiban tersebut. Pihak lain di antaranya mencakup organ perusahaan seperti dewan komisaris dan rapat umum pemegang saham. Jumlah kewajiban Bank Sistemik yang dialihkan sebesar saldo kewajiban Bank yang berupa simpanan dan pinjaman yang diterima dari Bank lain yang tercatat pada pembukuan Bank pada saat dialihkan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Wewenang lain yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan dan diperlukan untuk menerapkan cara penanganan melalui pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik kepada Bank penerima atau kepada Bank Perantara antara lain wewenang untuk melikuidasi Bank.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas. Angka 17 Pasal 25 Ayat (1) Pada dasarnya satu Bank Perantara digunakan untuk menerima pengalihan aset dan kewajiban dari satu Bank Sistemik. Dalam kondisi tertentu, satu Bank Perantara dapat digunakan Lembaga Penjamin Simpanan untuk menerima pengalihan aset dan kewajiban lebih dari satu Bank Sistemik.
Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, atau badan hukum, baik badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing. Dengan ketentuan ini, Lembaga Penjamin Simpanan sebagai badan hukum menjadi pendiri dan satu satunya pemegang saham Bank Perantara. Pengecualian ini dimaksudkan agar Lembaga Penjamin Simpanan menguasai sepenuhnya pengoperasian Bank Perantara.
Cukup jelas.
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemenuhan persyaratan dapat menggunakan surat pernyataan dari Lembaga Penjamin Simpanan bahwa persyaratan tersebut akan dipenuhi dengan menggunakan data dan/atau dokumen Bank Sistemik yang akan dialihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajibannya.
Cukup jelas.
Uji kemampuan dan kepatutan bagi anggota dewan komisaris dan direksi Bank Perantara memperhatikan kebutuhan untuk beroperasinya Bank Perantara dalam waktu segera. Anggota dewan komisaris dan direksi Bank Perantara dinyatakan memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan apabila yang bersangkutan tidak tercantum dalam daftar kredit macet dan daftar tidak lulus. Pada saat Bank Perantara dijual oleh Lembaga Penjamin Simpanan, anggota dewan komisaris dan direksi Bank harus telah memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan yang berlaku umum.
Persetujuan sementara bagi calon anggota dewan komisaris dan calon direksi Bank Perantara tidak mengurangi penilaian kemampuan dan kompetensi yang bersangkutan dalam menjalankan tindakan, tugas, dan fungsi sebagai anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi.
Bank Indonesia memberikan konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait kegiatan dalam operasi moneter, sistem pembayaran Bank Indonesia, dan penyelenggara jasa sistem pembayaran setelah Lembaga Penjamin Simpanan melengkapi dokumen sesuai ketentuan Bank Indonesia.
Bank Perantara yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank dalam resolusi akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain, sehingga kewajiban penyediaan modal minimum dan modal inti minimum belum berlaku sepanjang Bank Perantara masih dalam penanganan Lembaga Penjamin Simpanan sampai dengan jangka waktu tertentu. Bank Perantara dikecualikan dari penetapan status pengawasan sebagai Bank dalam penyehatan.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas. Angka 18 Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan “terbuka” adalah dapat diikuti oleh setiap calon investor yang memenuhi persyaratan. Yang dimaksud dengan “transparan” adalah proses penjualan dan pengalihan dapat diakses oleh publik.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas. Angka 19 Pasal 27 Dihapus. Angka 20 Pasal 28 Cukup jelas. Angka 21 Pasal 28A Cukup jelas. Angka 22 Pasal 29A Yang dimaksud dengan “mutatis mutandis” adalah ketentuan mengenai rasio kecukupan modal, kewajiban penyusunan rencana aksi pemulihan, kewajiban penyusunan rencana resolusi, dan penilaian rencana resolusi, dengan perubahan kecil atau yang perlu untuk disesuaikan, berlaku juga untuk Bank selain Bank Sistemik. Contoh: Penggantian frasa “Bank Sistemik” dalam Pasal 18 menjadi frasa “Bank selain Bank Sistemik”. Angka 23 Cukup jelas. Angka 24 Pasal 30 Yang dimaksud dengan “mutatis mutandis” adalah ketentuan mengenai pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah kepada Bank Sistemik dan penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank, dengan perubahan kecil atau yang perlu untuk disesuaikan, berlaku juga untuk Bank selain Bank Sistemik. Contoh: Penggantian frasa “Bank Sistemik” dalam Pasal 20 menjadi frasa “Bank selain Bank Sistemik”. Angka 25 Pasal 31 Cukup jelas. Angka 26 Cukup jelas. Angka 27 Pasal 31A Cukup jelas. Angka 28 Pasal 36A Ayat (1) Kondisi krisis termasuk kondisi krisis yang berdampak terhadap penurunan kinerja sektor keuangan maupun Krisis Sistem Keuangan. Untuk itu, Bank Indonesia perlu memiliki kewenangan extraordinary untuk melakukan penanganan dan pemulihan akibat kondisi krisis dimaksud. Huruf a Kewenangan Bank Indonesia membeli Surat Berharga Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan Sistem Keuangan yang membahayakan perekonomian nasional merupakan pengecualian dari ketentuan larangan pembelian surat utang negara untuk diri sendiri di pasar primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang ini. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1) Kondisi krisis termasuk kondisi krisis yang berdampak terhadap penurunan kinerja sektor keuangan maupun Krisis Sistem Keuangan. Untuk itu, Pemerintah perlu memiliki kewenangan extraordinary untuk melakukan penanganan dan pemulihan akibat kondisi krisis dimaksud.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1) Kebijakan penanganan permasalahan perekonomian nasional termasuk program pemulihan ekonomi nasional. Yang dimaksud dengan “simpanan milik Pemerintah” adalah penempatan dana yang dilakukan oleh Pemerintah pada Bank.
Cukup jelas. Angka 29 Pasal 41 Ayat (1) Huruf a Berdasarkan undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaga Penjamin Simpanan memiliki wewenang mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang rapat umum pemegang saham Bank. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Penjualan atau pengalihan kekayaan Bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan diikuti dengan beralihnya hak kebendaan kepada pembeli. Dengan demikian, pembeli memperoleh kepastian hukum beralihnya hak atas kekayaan tersebut. Penjualan atau pengalihan dapat dilakukan secara langsung atau melalui penawaran umum untuk memperoleh harga terbaik. Huruf e Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah orang perseorangan, badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta, dan/atau badan hukum lainnya. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Ketentuan ini menegaskan bahwa penyertaan modal sementara oleh Lembaga Penjamin Simpanan dapat dilakukan secara langsung melalui penyetoran modal dan/atau melalui konversi tagihan Lembaga Penjamin Simpanan terhadap Bank menjadi saham. Mengingat kekhususan penyertaan modal sementara oleh Lembaga Penjamin Simpanan, pelaksanaannya dikecualikan dari ketentuan dan prosedur penambahan modal yang berlaku bagi Bank yang sahamnya tercatat di bursa efek. Huruf h Dalam rangka memperbaiki struktur permodalan dan/atau kewajiban Bank, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang melakukan konversi kewajiban Bank kepada kreditur tertentu menjadi modal. Mengingat kekhususan konversi kewajiban menjadi modal tersebut, pelaksanaannya dikecualikan dari ketentuan dan prosedur penambahan modal yang berlaku bagi Bank yang sahamnya tercatat di bursa efek. Huruf i Menurut ketentuan ini, atas piutang Bank terhadap pihak ketiga, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan tindakan penagihan piutang dengan penerbitan surat paksa, dengan berdasarkan pada catatan utang debitur yang bersangkutan pada Bank dalam Program Restrukturisasi Perbankan. Surat paksa ini memuat irah-irah dengan frasa “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal tindakan penagihan piutang tidak diindahkan oleh debitur, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan penyitaan atas kekayaan debitur dan selanjutnya dapat melakukan pelelangan atas kekayaan debitur dalam rangka pengembalian piutang dimaksud. Harta debitur yang tidak dapat disita meliputi perlengkapan rumah tangga, buku, dan peralatan kerja untuk kelangsungan hidup debitur. Walaupun Lembaga Penjamin Simpanan diberi wewenang untuk melakukan penagihan paksa, tata cara pelaksanaannya tetap memperhatikan aspek kepastian hukum dan keadilan. Huruf j Pengosongan atas tanah dan/atau bangunan milik atau yang menjadi hak Bank dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan bukti kepemilikan dan/atau bukti hak di antaranya mencakup hak jaminan yang dipegang Bank sebagai kreditur, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf k Untuk memperoleh keterangan dimaksud, Lembaga Penjamin Simpanan dapat meminta bantuan aparat penegak hukum yang berwenang. Yang dimaksud dengan “pihak manapun” adalah pihak terafiliasi dan pihak lain yang terlibat atau patut diduga terlibat, termasuk badan hukum yang dimiliki oleh Bank atau pihak terafiliasi. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pelaksanaan kewenangan penyelenggaraan Program Restrukturisasi Perbankan yang dikecualikan di antaranya mengenai persetujuan rapat umum pemegang saham, pengajuan keberatan oleh kreditur, pembelian kembali saham Bank dalam tindakan korporasi Bank, serta penggabungan, pengambilalihan, dan peleburan Bank.
Cukup jelas. Angka 30 Pasal 42A Cukup jelas. Angka 31 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 46A Cukup jelas.
Cukup jelas. Angka 33 Pasal 47A Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 278 Pasal 16 Ayat (1) Untuk memudahkan dalam melaksanakan Pembiayaan Ekspor Nasional, LPEI dapat ikut serta sebagai peserta dalam sistem pembayaran nasional. Untuk itu, LPEI tunduk pada ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “sistem pembayaran nasional” adalah sistem pembayaran sebagaimana diatur dalam undang undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia. Yang dimaksud dengan “sistem pembayaran internasional” adalah sistem pembayaran yang lazim dilakukan untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran antarbank atau lembaga keuangan antarnegara.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 280 Cukup jelas. Pasal 281 Cukup jelas. Pasal 282 Cukup jelas. Pasal 283 Cukup jelas. Pasal 284 Cukup jelas. Pasal 285 Cukup jelas. Pasal 286 Cukup jelas. Pasal 287 Cukup jelas. Pasal 288 Cukup jelas. Pasal 289 Cukup jelas. Pasal 290 Cukup jelas. Pasal 291 Cukup jelas. Pasal 292 Cukup jelas. Pasal 293 Cukup jelas. Pasal 294 Cukup jelas. Pasal 295 Cukup jelas. Pasal 296 Cukup jelas. Pasal 297 Cukup jelas. Pasal 298 Cukup jelas. Pasal 299 Cukup jelas. Pasal 300 Cukup Jelas.
Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 303 Cukup jelas. Pasal 304 Cukup jelas. Pasal 305 Cukup jelas. Pasal 306 Cukup jelas. Pasal 307 Insentif perpajakan diprioritaskan kepada program tertentu atau jasa keuangan dan kepada lembaga keuangan yang masih memerlukan penguatan, pendalaman, dan/atau pengembangan. Sebagai contoh jasa keuangan yang diselenggarakan oleh perbankan syariah yang masih memerlukan dukungan sehingga memiliki level of playing field dengan perbankan konvensional dan/atau program pensiun untuk mendorong akumulasi sumber pembiayaan jangka panjang.
Cukup jelas. Pasal 309 Cukup jelas. Pasal 310 Cukup jelas. Pasal 311 Cukup jelas. Pasal 312 Peralihan tugas pengaturan dan pengawasan otoritas sektor keuangan mencakup kepada:
Pasal 313 Cukup jelas. Pasal 314 Cukup jelas. Pasal 315 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan WK, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ayat (2) Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 317 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Contoh: Dalam hal masa tugas Peserta RUA dimulai sejak tanggal 27 Mei 2022 sampai dengan 26 Mei 2027 maka berdasarkan ketentuan ini, masa tugas Peserta RUA tersebut akan berakhir pada tanggal 26 Mei 2027. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 319 Cukup jelas. Pasal 320 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini memberi kemungkinan bagi Dana Pensiun yang telah mendapat pengesahan Otoritas Jasa Keuangan dengan sebelum Undang-Undang ini diundangkan untuk melanjutkan pembayaran uang secara sekaligus bagi Peserta sebelum 20 April 1992 sepanjang telah diatur dalam Peraturan Dana Pensiun, sampai dengan berakhirnya pembayaran seluruh hak Peserta tersebut. Ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam menyelesaikan seluruh kewajiban dimaksud, Dana Pensiun dilarang untuk mengubah rumus manfaat bagi kelompok Peserta dimaksud. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan relaksasi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162.
Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 323 Yang dimaksud dengan “kriteria tertentu” adalah PUSK yang memiliki keterbatasan di antaranya mencakup kemampuan permodalan sebagaimana diatur lebih lanjut dengan peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Pasal 324 Cukup jelas. Pasal 325 Cukup jelas. Pasal 326 Cukup jelas. Pasal 327 Cukup jelas. Pasal 328 Cukup jelas. Pasal 329 Cukup jelas. Pasal 330 Cukup jelas. Pasal 331 Cukup jelas. Pasal 332 Cukup jelas. Pasal 333 Cukup jelas. Pasal 334 Cukup jelas. Pasal 335 Ayat (1) Dengan adanya ketentuan ini, masa jabatan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang membidangi edukasi dan Pelindungan Konsumen periode tahun 2022-2027 ditambah 1 (satu) tahun, sehingga yang semula 5 (lima) tahun menjadi 6 (enam) tahun. Ayat (2) Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 337 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 338 Cukup jelas. Pasal 339 Cukup jelas. Pasal 340 Cukup jelas. Pasal 341 Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6845
Kategori : Lainnya