Bimo Wijaya dalam Sidang Pleno Perkara Nomor 11/PUU-XXIII/2025
25 Juni 2025, dalam Sidang Pleno Perkara Nomor 11/PUU-XXIII/2025 – Dirjen Pajak pilihan Prabowo, Bimo Wijayanto, menjelaskan bahwa tarif rata-rata PPN di negara anggota OECD berada pada kisaran 19 persen, sementara di negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan) rata-ratanya sekitar 17 persen. Sehingga menurut Bimo, pemerintah masih memiliki ruang untuk meningkatkan tarif PPN tersebut.
Walaupun pemerintah masih punya ruang untuk menaikkan tarif PPN, kabar terbaru justru menegaskan bahwa tidak akan ada kenaikan maupun pajak baru. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang baru saja dilantik menggantikan Sri Mulyani Indrawati, menegaskan bahwa Indonesia tidak memerlukan jenis pajak baru. Pernyataan ini selaras dengan penegasan Sri Mulyani sebelumnya, bahwa pada tahun 2026 tidak akan ada kenaikan tarif maupun pungutan pajak baru. Hal ini tetap berlaku meskipun target penerimaan negara dalam RAPBN 2026 ditetapkan meningkat 9,8 persen menjadi Rp3.147,7 triliun.
Tahun 2026, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp2.357,7 triliun, naik 13,5 persen dari tahun sebelumnya. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah mendorong strategi peningkatan kepatuhan pajak. Sudah seharusnya DJP berkomitmen memastikan kelompok masyarakat mampu tetap membayar pajak dengan mudah, sementara kelompok kecil dan tidak mampu tetap terlindungi melalui berbagai insentif.
Contohnya, pelaku UMKM dengan omzet hingga Rp 500 juta per tahun dibebaskan dari PPh. Sementara itu, UMKM beromzet Rp 500 juta sampai Rp 4,8 miliar hanya dikenakan PPh final 0,5 persen, jauh lebih rendah dibandingkan tarif PPh badan umum sebesar 22 persen. Selain itu, insentif juga berlaku bagi sektor prioritas seperti pendidikan dan kesehatan, serta untuk masyarakat dengan penghasilan tahunan di bawah Rp 60 juta yang tetap bebas dari PPh.
Tidak adanya pajak baru maupun kenaikan tarif sejalan dengan tidak dilakukannya revisi terhadap UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 dan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009. Artinya, pengelompokan pajak sebagai dasar pengenaan dan besar tarifnya masih tetap sama seperti aturan sebelumnya.
Sebagai contoh, pajak yang langsung ditanggung wajib pajak, seperti PPh, masih menggunakan tarif progresif. Sementara itu, rencana penerapan tarif PPN sebesar 12% tidak berlaku secara menyeluruh, melainkan hanya dikenakan pada barang dan jasa mewah mulai 1 Januari 2025. Dengan demikian, kenaikan tarif PPN dari 11% ke 12% tidak berlaku untuk semua objek, melainkan difokuskan pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Sumber :
https://infobanknews.com/bos-pajak-tarif-ppn-ri-masih-rendah-dibanding-negara-lain/
https://www.pajak.go.id/id/artikel/tak-ada-kenaikan-dan-pungutan-pajak-baru-pada-2026