Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2001
Tentang
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
- bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
- bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;
- bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;
- bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus;
- bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri;
- bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua;
- bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;
- bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
- bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;
- bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;
- bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan k dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undang-undang;
Mengingat :
- Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 21 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 28;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000;
- Undang-undang Nomor 1/Pnps/1962 tentang Pembentukan Propinsi Irian Barat;
- Undang-undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2907);
- Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
- Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
- Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882);
- Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
- Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 4012);
- Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
- Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua;
- Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri;
- Pemerintah Daerah Provinsi Papua adalah Gubernur beserta perangkat lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Papua;
- Gubernur Provinsi Papua, selanjutnya disebut Gubernur, adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggung jawab penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Papua dan sebagai wakil Pemerintah di Provinsi Papua;
- Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut DPRP, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Papua sebagai badan legislatif Daerah Provinsi Papua;
- Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini;
- Lambang Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera Daerah dan lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan;
- Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang ini;
- Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;
- Distrik, yang dahulu dikenal dengan Kecamatan, adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota;
- Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah Kabupaten/Kota;
- Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah sekumpulan orang yang membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur di dalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui oleh warga setempat untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Kampung;
- Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
- Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun;
- Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;
- Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi;
- Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;
- Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
- Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua;
- Penduduk Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut Penduduk, adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
BABII
LAMBANG-LAMBANG
Pasal 2
(1) |
Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan. |
(2) |
Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. |
(3) |
Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. |
BAB III
PEMBAGIAN DAERAH
Pasal 3
(1) |
Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing sebagai Daerah Otonom. |
(2) |
Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. |
(3) |
Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain. |
(4) |
Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Kabupaten/Kota, ditetapkan dengan undang-undang atas usul Provinsi Papua. |
(5) |
Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Distrik atau Kampung atau |
(6) |
Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi. |
BAB IV
BAB IV KEWENANGAN DAERAH
Pasal 4
(1) |
Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(2) |
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, Provinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan Undang-undang ini. |
(3) |
Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Perdasus atau Perdasi. |
(4) |
Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup kewenangan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. |
(5) |
Selain kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), Daerah Kabupaten dan Daerah Kota memiliki kewenangan berdasarkan Undang-undang ini yang diatur lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi. |
(6) |
Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(7) |
Provinsi Papua dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(8) |
Gubernur berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi Papua. |
(9) |
Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Perdasus. |
BABV
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) |
Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. |
(2) |
Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. |
(3) |
MRP dan DPRP berkedudukan di ibu kota Provinsi. |
(4) |
Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah Provinsi lainnya. |
(5) |
Di Kabupaten/Kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan legislatif serta Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif. |
(6) |
Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya. |
(7) |
Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dapat disebut dengan nama lain. |
Bagian Kedua
Badan Legislatif
Pasal 6
(1) |
Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP. |
(2) |
DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP dilaksanakan sesuai dengan peraturan |
(4) |
Jumlah anggota DPRP adalah 1. (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. |
(5) |
Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab, keanggotaan, pimpinan dan alat kelengkapan DPRP diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(6) |
Kedudukan keuangan DPRP diatur dengan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 7
(1) |
DPRP mempunyai tugas dan wewenang:
|
||||||||
(2) |
Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 8
(1) |
DPRP mempunyai hak:
|
(2) |
Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 9
(1) |
Setiap anggota DPRP mempunyai hak:
|
(2) |
Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 10
(1) |
DPRP mempunyai kewajiban:
|
(2) |
Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Ketiga
Badan Eksekutif
Pasal 11
(1) |
Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang disebut Gubernur. |
(2) |
Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur. |
(3) |
Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 12
Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
- orang asli Papua;
- beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
- berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara;
- berumur sekurang-kurangnya 30 tahun;
- sehat jasmani dan rohani;
- setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
- tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik; dan
- tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.
Pasal 13
Persyaratan dan tata cara persiapan, pelaksanaan pemilihan, serta pengangkatan dan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Gubernur mempunyai kewajiban:
- memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
- mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta memajukan demokrasi;
- menghormati kedaulatan rakyat;
- menegakkan dan melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan;
- meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;
- mencerdaskan kehidupan rakyat Papua;
- memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
- mengajukan Rancangan Perdasus, dan menetapkannya sebagai Perdasus bersama-sama dengan DPRP setelah mendapatkan pertimbangan dan persetujuan MRP;
- mengajukan Rancangan Perdasi dan menetapkannya sebagai Perdasi bersama-sama dengan
- menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pembangun-an sesuai dengan Pola Dasar Pembangunan Provinsi Papua secara bersih, jujur, dan bertanggung jawab.
Pasal 15
(1) |
Tugas dan wewenang Gubernur selaku wakil Pemerintah adalah:
|
(2) |
Pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan. |
Pasal 16
Wakil Gubernur mempunyai tugas:
- membantu Gubernur dalam melaksanakan kewajibannya;
- membantu mengoordinasikan kegiatan instansi pemerintahan di Provinsi; dan
- melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Gubernur.
Pasal 17
(1) |
Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan berikutnya. |
(2) |
Dalam hal Gubernur berhalangan tetap, jabatan Gubernur dijabat oleh Wakil Gubernur sampai habis masa jabatannya. |
(3) |
Dalam hal Wakil Gubernur berhalangan tetap, jabatan Wakil Gubernur tidak diisi sampai habis masa jabatannya. |
(4) |
Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap, maka DPRP menunjuk seorang pejabat pemerintah Provinsi yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas Gubernur sampai terpilih Gubernur yang baru. |
(5) |
Selama penunjukan tersebut pada ayat (4) belum dilakukan, Sekretaris Daerah menjalankan tugas Gubernur untuk sementara waktu. |
(6) |
Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), DPRP menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan. |
Pasal 18
(1) |
Dalam menjalankan kewajiban selaku Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Provinsi, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRP. |
(2) |
Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. |
(4) |
Tata cara pertanggungjawaban Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. |
(5) |
Gubernur mengoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah di Provinsi Papua sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). |
(6) |
Gubernur, bersama-sama dengan aparat Pemerintah yang ditempatkan di daerah atau aparat Provinsi, melaksanakan kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). |
(7) |
Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
Bagian Keempat
Majelis Rakyat Papua
Pasal 19
(1) |
MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. |
(2) |
Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun. |
(3) |
Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perdasus. |
(4) |
Kedudukan keuangan MRP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
Pasal 20
(1) |
MRP mempunyai tugas dan wewenang:
|
(2) |
Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus. |
Pasal 21
(1) |
MRP mempunyai hak:
|
(2) |
Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. |
Pasal 22
(1) |
Setiap anggota MRP mempunyai hak:
|
(2) |
Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP, dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. |
Pasal 23
(1) |
MRP mempunyai kewajiban:
|
(2) |
Tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. |
Pasal 24
(1) |
Pemilihan anggota MRP dilakukan oleh anggota masyarakat adat, masyarakat agama, dan masyarakat perempuan. |
(2) |
Tata cara pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perdasi berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
Pasal 25
(1) |
Hasil pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh pengesahan. |
(2) |
Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri. |
(3) |
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
BAB VI
PERANGKAT DAN KEPEGAWAIAN
Pasal 26
(1) |
Perangkat Provinsi Papua terdiri atas Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi, dan lembaga teknis |
(2) |
Perangkat MRP dan DPRP dibentuk sesuai dengan kebutuhan. |
(3) |
Pengaturan tentang ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 27
(1) |
Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(2) |
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat. |
(3) |
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Perdasi. |
BAB VII
PARTAI POLITIK
Pasal 28
(1) |
Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. |
(2) |
Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan |
(3) |
Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan |
(4) |
Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya masing-masing. |
BAB VIII
PERATURAN DAERAH KHUSUS, PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN
KEPUTUSAN GUBERNUR
Pasal 29
(1) |
Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan persetujuan MRP. |
(2) |
Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur. |
(3) |
Tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi. |
(4) |
Tata cara pembuatan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 30
(1) |
Pelaksanaan Perdasus dan Perdasi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. |
(2) |
Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perdasus, dan Perdasi. |
Pasal 31
(1) |
Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur, diundangkan dengan |
(2) |
Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi. |
(3) |
Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disosialisasikan oleh Pemerintah Provinsi. |
Pasal 32
(1) |
Dalam rangka meningkatkan efektivitas pembentukan dan pelaksanaan hukum di Provinsi Papua, dapat dibentuk Komisi Hukum Ad Hoc. |
(2) |
Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang fungsi, tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaannya diatur dengan Perdasi. |
BAB IX
KEUANGAN
Pasal 33
(1) |
Penyelenggaraan tugas Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. |
(2) |
Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. |
Pasal 34
(1) |
Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(2) |
Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(3) |
Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus
|
Pasal 35
(1) |
Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah. |
(2) |
Provinsi Papua dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. |
(3) |
Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP. |
(4) |
Pinjaman dari sumber luar negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. |
(5) |
Total kumulatif pinjaman yang dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) besarnya tidak melebihi persentase tertentu dari jumlah penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(6) |
Ketentuan mengenai pelaksanaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini diatur dengan Perdasi. |
Pasal 36
(1) |
Perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua ditetapkan dengan Perdasi. |
(2) |
Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi. |
(3) |
Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi, perubahan dan perhitungannya serta pertanggungjawaban dan pengawasannya diatur dengan Perdasi. |
Pasal 37
Data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari Provinsi Papua disampaikan kepada Pemerintah Provinsi dan DPRP setiap tahun anggaran.
BAB X
PEREKONOMIAN
Pasal 38
(1) |
Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. |
(2) |
Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus. |
Pasal 39
Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dilaksanakan di Provinsi Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien, dan kompetitif.
Pasal 40
(1) |
Perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati. |
(2) |
Perizinan dan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan cacat hukum, merugikan hak hidup masyarakat atau bertentangan dengan ketentuan Undang-undang ini, wajib ditinjau kembali, dengan tidak mengurangi kewajiban hukum yang dibebankan pada pemegang izin atau perjanjian yang bersangkutan. |
Pasal 41
(1) |
Pemerintah Provinsi Papua dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan-perusahaan swasta yang berdomisili dan beroperasi di wilayah Provinsi Papua. |
(2) |
Tata cara penyertaan modal pemerintah Provinsi Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi. |
Pasal 42
(1) |
Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat. |
(2) |
Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. |
(3) |
Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat. |
(4) |
Pemberian kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya. |
BAB XI
PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT
Pasal 43
(1) |
Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. |
(2) |
Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. |
(3) |
Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. |
(4) |
Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya. |
(5) |
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan. |
Pasal 44
Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan intelektual orang asli Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XII
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 45
(1) |
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. |
(2) |
Untuk melaksanakan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 46
(1) |
Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi |
(2) |
Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(3) |
Susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan Komisi |
Pasal 47
Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.
BAB XIII
KEPOLISIAN DAERAH PROVINSI PAPUA
Pasal 48
(1) |
Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(2) |
Kebijakan mengenai keamanan di Provinsi Papua dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua kepada Gubernur. |
(3) |
Hal-hal mengenai tugas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang ketertiban dan ketenteraman masyarakat, termasuk pembiayaan yang diakibatkannya, diatur lebih lanjut dengan Perdasi. |
(4) |
Pelaksanaan tugas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipertanggungjawabkan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua kepada Gubernur. |
(5) |
Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua. |
(6) |
Pemberhentian Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(7) |
Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Provinsi Papua dalam pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
Pasal 49
(1) |
Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua. |
(2) |
Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk penugasan di Provinsi Papua. |
(3) |
Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Provinsi Papua dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(4) |
Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Provinsi Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan. |
(5) |
Dalam hal penempatan baru atau relokasi satuan kepolisian di Provinsi Papua, Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur. |
BAB XIV
KEKUASAAN PERADILAN
Pasal 50
(1) |
Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(2) |
Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. |
Pasal 51
(1) |
Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. |
(2) |
Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. |
(3) |
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. |
(4) |
Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang bersangkutan. |
(5) |
Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. |
(6) |
Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap. |
(7) |
Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(8) |
Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan. |
Pasal 52
(1) |
Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan Republik Indonesia. |
(2) |
Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur. |
(3) |
Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia. |
BAB XV
KEAGAMAAN
Pasal 53
(1) |
Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. |
(2) |
Setiap penduduk Provinsi Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Provinsi Papua dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
Pasal 54
Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban:
- menjamin kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
- menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;
- mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan
- memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
Pasal 55
(1) |
Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh Pemerintah dalam rangka pembangunan keagamaan di Provinsi Papua dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat. |
(2) |
Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua. |
BAB XVI
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pasal 56
(1) |
Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. |
(2) |
Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan Pemerintah Provinsi. |
(3) |
Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya. |
(4) |
Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi Papua. |
(5) |
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan. |
(6) |
Pelaksanan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)ditetapkan dengan Perdasi. |
Pasal 57
(1) |
Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua. |
(2) |
Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan. |
(3) |
Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan pembiayaan. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Perdasi. |
Pasal 58
(1) |
Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua. |
(2) |
Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan. |
(3) |
Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan. |
BAB XVII
KESEHATAN
Pasal 59
(1) |
Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk. |
(2) |
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mencegah dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk. |
(3) |
Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan beban masyarakat serendah-rendahnya. |
(4) |
Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan. |
(5) |
Ketentuan mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan keikutsertaan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, serta dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi. |
Pasal 60
(1) |
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan. |
(2) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasi. |
BAB XVIII
KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN
Pasal 61
(1) |
Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua. |
(2) |
Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan. |
(3) |
Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur. |
(4) |
Penempatan penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perdasi. |
Pasal 62
(1) |
Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta bebas memilih dan/atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya. |
(2) |
Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya. |
(3) |
Dalam hal mendapatkan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di bidang peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua. |
(4) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi. |
BAB XIX
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
DAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 63
Pembangunan di Provinsi Papua dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah.
Pasal 64
(1) |
Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk. |
(2) |
Untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting, Pemerintah Provinsi berkewajiban mengelola kawasan lindung. |
(3) |
Pemerintah Provinsi wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. |
(4) |
Di Provinsi Papua dapat dibentuk lembaga independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan. |
(5) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi. |
BAB XX
SOSIAL
Pasal 65
(1) |
Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial. |
(2) |
Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat. |
(3) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi; |
Pasal 66
(1) |
Pemerintah Provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi Papua. |
(2) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus. |
BAB XXI
PENGAWASAN
Pasal 67
(1) |
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggungjawab, dilakukan pengawasan hukum, pengawasan politik, dan pengawasan sosial. |
(2) |
Pelaksanaan pengawasan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus. |
Pasal 68
(1) |
Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi melalui pemberian pedoman, pelatihan, dan supervisi. |
(2) |
Pemerintah berwenang melakukan pengawasan represif terhadap Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur. |
(3) |
Pemerintah berwenang melakukan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(4) |
Pemerintah dapat melimpahkan wewenang kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota. |
BAB XXII
KERJA SAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 69
(1) |
Provinsi Papua dapat mengadakan perjanjian kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dengan Provinsi lain di Indonesia sesuai dengan kebutuhan. |
(2) |
Perselisihan diantara para pihak yang mengadakan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselesaikan sesuai dengan pilihan hukum yang diperjanjikan. |
Pasal 70
(1) |
Perselisihan antara Kabupaten/Kota di dalam Provinsi Papua, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi Pemerintah Provinsi. |
(2) |
Perselisihan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi Pemerintah. |
BAB XXIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 71
(1) |
Gubernur, Wakil Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD Kabupaten, Walikota, Wakil Walikota, dan DPRD Kota di Wilayah Provinsi Papua yang telah diangkat sebelum Undang-undang ini disahkan, tetap menjalankan tugas sampai berakhir masa jabatannya. |
(2) |
Semua kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan perundang-undangan tetap berlaku hingga ditetapkan lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini. |
Pasal 72
(1) |
Gubernur dan DPRP untuk pertama kalinya menyusun syarat dan jumlah anggota serta tata cara pemilihan anggota MRP untuk diusulkan kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan Pemerintah. |
(2) |
Pemerintah menyelesaikan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah usulan diterima. |
Pasal 73
Dalam rangka melaksanakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, Pemerintah Provinsi Papua berhak menerima dan mengelola sumber daya meliputi pembiayaan, personil, peralatan, termasuk dokumennya (P3D) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
Semua peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Papua sepanjang tidak diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 75
Peraturan pelaksanaan yang dimaksud Undang-undang Otonomi Khusus ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan.
BAB XXIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 76
Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
Pasal 77
Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
Pelaksanaan Undang-undang ini dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang-undang ini berlaku.
Pasal 79
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 135
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2001
TENTANG
OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA
I. |
UMUM
|
|
|
II. |
PASAL DEMI PASAL Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1) Kewenangan tertentu di bidang lain yang dimaksud dalam Undang-undang ini adalah kewenangan Pemerintah yang meliputi: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, kewenangan pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Dalam rangka percepatan pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, Provinsi Papua dapat menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan berbagai lembaga/badan di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan tersebut memungkinkan Provinsi Papua memiliki lembaga atau badan yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi atau swasta, yang bertujuan memajukan pendidikan, meningkatkan investasi, dan mengembangkan pariwisata di Provinsi Papua.
Ayat (8) Koordinasi yang dilakukan oleh Gubernur dengan Pemerintah adalah dalam hal pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pelaksanaan operasi militer selain perang di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (9) Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1) Huruf a Proses pengajuan bakal calon, pemilihan, pengesahan dan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sesudah DPRP menetapkan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, para bakal calon tersebut diajukan kepada MRP untuk memperoleh pertimbangan dan persetujuan yang selanjutnya dijadikan dasar bagi DPRP untuk kemudian ditetapkan menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur. Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Perjanjian atau kerja sama yang dimaksud di sini mencakup perjanjian atau kerja sama dengan pihak ketiga baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua. Huruf e Yang dimaksud dengan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaian aspirasi dan pengaduan dalam Undang-undang ini adalah tugas MRP untuk melakukan berbagai upaya penyelesaian dalam membantu pihak-pihak pengadu. Huruf f Termasuk di dalamnya adalah pertimbangan MRP kepada DPRD Kabupaten/Kota dalam hal penentuan bakal calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
Ayat (2) Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) Rekrutmen politik dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua tidak dimaksudkan untuk mengurangi sifat terbuka partai politik bagi setiap warga negara Republik Indonesia. Ayat (4) Permintaan pertimbangan kepada MRP tidak berarti mengurangi kemandirian partai politik dalam hal seleksi dan rekrutmen politik.
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1) Pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc dimaksudkan untuk membantu Gubernur, DPRP, dan MRP dalam menyiapkan rancangan Perdasus dan Perdasi sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-undang ini. Ayat (2) Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Angka 1) Sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Angka 2) Sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Angka 3) Sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Huruf b Angka 1) Sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Angka 2) Sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Angka 3) Sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Angka 4) Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota dari penerimaan sumber daya alam sektor pertambangan minyak bumi sebesar 15% ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan tambahan penerimaan (setelah dikurangi pajak) sebesar 55% adalah dalam rangka Otonomi Khusus. Angka 5) Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota dari penerimaan sumber daya alam sektor pertambangan gas alam sebesar 30% ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan tambahan penerimaan (setelah dikurangi pajak) sebesar 40% adalah dalam rangka Otonomi Khusus. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Pembangunan infrastruktur dimaksudkan agar sekurang-kurangnya dalam 25 (dua puluh lima) tahun seluruh kota-kota Provinsi, Kabupaten/Kota, Distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas, sehingga Provinsi Papua dapat melakukan aktivitas ekonominya secara baik dan menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional dan global. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Ayat (10) Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan di Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban mengalokasikan sebagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua yang diperoleh dari hasil eksploitasi sumber daya alam Papua untuk ditabung dalam bentuk dana abadi, yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan di masa mendatang.
Yang dimaksud dengan pengolahan lanjutan dalam Undang-undang ini adalah pengolahan bahan baku yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya alam Papua misalnya: sektor migas, pertambangan umum, kehutanan, perikanan laut, serta hasil-hasil pertanian pada umumnya. Pengolahan lanjutan ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari sumber-sumber tersebut yang berdampak positif bagi penerimaan Provinsi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pemanfaatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemanfaatan lainnya. Usaha pengolahan lanjutan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat di Papua dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien, dan kompetitif. Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam dimaksud dalam Pasal ini dapat dilaksanakan di Provinsi Papua apabila memenuhi prinsip-prinsip ekonomi tersebut. Hal ini mengandung arti bahwa apabila pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam tersebut belum memenuhi prinsip-prinsip ekonomi, pengolahan lanjutan tersebut dapat dilaksanakan di wilayah lain untuk tetap memanfaatkan peluang investasi yang ada bagi kesejahteraan masyarakat Papua, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Dalam rangka mendorong peningkatan investasi di wilayah Provinsi Papua, Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua wajib membuat kebijakan yang kondusif.
Ayat (1) Untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi dunia usaha, maka perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah dilakukan sebelum Undang-undang ini ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masing-masing perizinan atau perjanjian kerja sama dimaksud. Yang dimaksud dengan “dilakukan” dalam ayat ini diartikan “dikeluarkan”. Ayat (2) Cacat hukum dan/atau merugikan hak-hak hidup masyarakat serta bertentangan dengan Undang-undang ini harus dibuktikan dan dinyatakan dalam putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan dimaksud memuat pernyataan mengenai salah satu pertimbangan hukum keputusannya, bahwa perizinan atau perjanjian yang bersangkutan cacat hukum atau merugikan hak hidup masyarakat. Suatu perjanjian yang oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan cacat hukum dapat dilakukan peninjauan kembali melalui perumusan ulang tentang apa yang harus diperjanjikan sepanjang memberikan keuntungan kepada masyarakat dan bahkan mengenai hal-hal yang seharusnya diperjanjikan lagi demi kepentingan yang berkelanjutan. Adapun mengenai akibat hukum karena pembatalan perjanjian itu dapat disomasi untuk perumusan ulang hal-hal yang diperjanjikan sehingga pelaksanaan putusan tidak lagi dilakukan secara konvensional tetapi diubah menjadi materi muatan perjanjian. Apabila kedua belah pihak bersepakat, maka suatu perizinan atau perjanjian kerja sama dapat diubah, diperbaiki, atau diakhiri.
Ayat (1) Penyertaan modal yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan swasta yang berdomisili dan beroperasi di Provinsi Papua dilakukan melalui penilaian secara saksama tentang keuntungan atau kerugian yang dapat ditimbulkan dengan berpedoman pada mekanisme pasar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Pemberian kesempatan berusaha sebagai upaya pemberdayaan masyarakat adat dapat berupa penyertaan modal dalam bentuk penilaian terhadap berbagai hak yang melekat pada masyarakat adat tertentu, antara lain berupa hak ulayat.
Ayat (1) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat ini juga merupakan kewajiban Pemerintah yang dilaksanakan oleh Gubernur selaku wakil Pemerintah. Pemberdayaan hak-hak tersebut meliputi pembinaan dan pengembangan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup baik lahiriah maupun batiniah warga masyarakat hukum adat. Ayat (2) Yang dimaksud dengan hak-hak masyarakat adat meliputi hak bersama warga masyarakat seperti yang dikenal dengan sebutan hak ulayat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat. Ayat (3) Hak ulayat adalah hak bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat tertentu, bukan perseorangan, dan juga bukan penguasa adat, meskipun banyak di antara mereka yang menjabat secara turun temurun. Penguasa adat adalah pelaksana hak ulayat yang bertindak sebagai petugas masyarakat hukum adatnya dalam mengelola hak ulayat di wilayahnya. Hak ulayat diatur oleh hukum adat tertentu dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kenyataannya dewasa ini keberadaan hak ulayat berbagai masyarakat hukum adat tersebut beragam, sehubungan dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat hukum adatnya sendiri baik karena pengaruh intern maupun lingkungannya. Hak ulayat diakui oleh hukum tanah nasional, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tetapi hak ulayat yang sudah tidak ada tidak akan dihidupkan kembali. Sehubungan dengan itu, demi adanya kepastian mengenai masih adanya hak ulayat di lingkungan masyarakat adat tertentu, yang dibuktikan oleh: (1) masih adanya sekelompok warga masyarakat yang merasa terikat oleh tatanan hukum adat tertentu sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum yang merupakan suatu masyarakat hukum adat; (2) masih adanya suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hukum dan penghidupan sehari-hari para warga masyarakat hukum adat tersebut; dan (3) masih adanya penguasa adat yang melaksanakan ketentuan hukum hak ulayatnya. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan dalam ayat ini mencakup pula pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap pihak-pihak yang telah memperoleh hak atas tanah bekas hak ulayat secara sah menurut tata cara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan karenanya tidak dapat digugat kembali oleh ahli warisnya demi kepastian hukum. Ayat (4) Musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan mendahului penerbitan surat izin perolehan dan pemberian hak oleh instansi yang berwenang. Kesepakatan hasil musyawarah tersebut merupakan syarat bagi penerbitan surat izin dan keputusan pemberian hak yang bersangkutan. Hal yang sama berlaku juga terhadap perolehan tanah hak perorangan para warga masyarakat hukum adat, tidak cukup dengan persetujuan penguasa adatnya. Pemanfaatan hak-hak adat untuk kepentingan pemerintah dan/atau swasta dilakukan melalui musyawarah antara masyarakat adat dengan pihak yang memerlukan, harus disertai dengan pemberian ganti rugi dalam bentuk uang tunai, tanah pengganti, pemukiman kembali, sebagai pemegang saham, atau bentuk lain yang disepakati bersama. Ayat (5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota sebagai instansi yang paling mengetahui hal-ihwal sengketa yang terjadi di wilayahnya berkewajiban melakukan mediasi aktif dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang timbul di antara masyarakat hukum adat atau warganya dengan pihak luar. Sengketa antara para warga masyarakat hukum adat sendiri diselesaikan melalui peradilan adat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
Hak kekayaan intelektual orang asli Papua berupa hak cipta mencakup hak-hak dalam bidang kesenian yang terdiri dari seni suara, tari, ukir, pahat, lukis, anyam, tata busana dan rancangan bangunan tradisional serta jenis-jenis seni lainnya, maupun hak-hak yang terkait dengan sistem pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat asli Papua, misalnya obat-obatan tradisional dan yang sejenisnya. Perlindungan ini meliputi juga perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual anggota masyarakat lainnya di Provinsi Papua.
Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas
Huruf b Langkah-langkah rekonsiliasi mencakup pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat dan dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa. Ayat (3) Dalam usulan Gubernur untuk keanggotaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dapat berasal dari DPRP dan MRP serta komponen lain.
Kata memberdayakan bermakna meningkatkan keberdayaan.
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kebijakan yang perlu dikoordinasikan kepada Gubernur Provinsi Papua adalah kebijakan keamanan yang mencakup aspek ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang penuh memberhentikan Kepala Kepolisian Provinsi Papua tanpa meminta persetujuan Gubernur Provinsi Papua dan dalam hal-hal tertentu Gubernur Papua dapat memberi pertimbangan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memberhentikan Kepala Kepolisian Provinsi Papua. Ayat (7) Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1) Pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan, membutuhkan pelayanan hukum secara khusus. Dalam hal demikian dan untuk mempercepat perolehan kepastian hukum, khususnya terhadap perkara kasasi, Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan kebijakan khusus bagi penyelesaian perkara kasasi dari Provinsi Papua. Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (1) Dalam ayat ini secara tegas diakui keberadaan dalam hukum nasional, lembaga peradilan dan pengadilan adat yang sudah ada di Provinsi Papua, sebagai lembaga peradilan perdamaian antara para warga masyarakat hukum adat di lingkungan masyarakat hukum adat yang ada. Ayat (2) Pengadilan adat bukan badan peradilan negara, melainkan lembaga peradilan masyarakat hukum adat. Berdasarkan kenyataan yang ada, susunannya diatur menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat setempat dan memeriksa serta mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana adat berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hal itu antara lain mengenai susunan pengadilannya, siapa yang bertugas memeriksa dan mengadili sengketa dan perkara yang bersangkutan, tata cara pemeriksaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaannya. Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya. Hal itu termasuk kewenangan di lingkungan peradilan negara. Dengan diakuinya peradilan adat dalam Undang-undang ini, akan banyak sengketa perdata dan perkara pidana di antara warga masyarakat hukum adat di Provinsi Papua yang secara tuntas dapat diselesaikan sendiri oleh warga yang bersangkutan tanpa melibatkan pengadilan di lingkungan peradilan negara. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas
Ayat (6) Putusan pengadilan adat merupakan putusan yang final dan berkekuatan hukum tetap dalam hal para pihak yang bersengketa atau yang berperkara menerimanya. Putusan yang bersangkutan juga dapat membebaskan pelaku dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku. Pernyataan persetujuan pelaksanaan putusan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. Jika pernyataan persetujuan pelaksanaan putusan telah diperoleh maka kejaksaaan tidak dapat melakukan penyidikan dan penuntutan. Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak memberikan pernyataan persetujuan pelaksanaan putusan, maka kepolisian dan kejaksaan dapat melakukan penyidikan dan penuntutan. Dalam hal ini putusan pengadilan adat yang bersangkutan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam memutuskan perkara yang diajukan. Dalam ayat ini dibuka kemungkinan pemeriksaan ulang dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau berperkara berkeberatan atas putusannya dan mengajukan sengketa atau perkaranya kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang.
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Persetujuan yang diberikan oleh Gubernur kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, tidak mencampuri teknis kepegawaian. Ayat (3) Jaksa Agung berwenang penuh memberhentikan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Papua tanpa meminta persetujuan Gubernur dan dalam hal-hal tertentu Gubernur Provinsi Papua dapat memberi pertimbangan kepada Jaksa Agung untuk memberhentikan Kepala Kejaksaan Tinggi.
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1) Khusus terhadap lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi yang memiliki otonomi perguruan tinggi, tanggung jawab Pemerintah Provinsi dalam ikut membiayai penyelenggaraan pendidikan merupakan perwujudan dari upaya pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia, baik pada aspek jumlah maupun mutu, bagi pembangunan di Provinsi Papua. Ayat (2) Pemerintah memiliki tanggung jawab utama dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, sehingga berkewajiban untuk menetapkan kebijakan-kebijakan umum pendidikan yang berlaku secara nasional dengan standar pendidikan yang sama, yang antara lain tercermin dalam kurikulum inti dan standar mutu. Dengan demikian ada pengakuan yang sama terhadap hasil pendidikan yang diselenggarakan di semua wilayah, termasuk di Provinsi Papua, yang memungkinkan terjadinya keluwesan dan kebebasan para peserta didik dari lembaga pendidikan di Papua berpindah dan mengikuti pendidikan yang diminati di provinsi lain. Mengingat kondisi sosial budaya, potensi ekonomi, dan keinginan anggota masyarakat yang beragam di Papua, selain kurikulum inti, dikembangkan pula kurikulum institusional dengan standar lokal yang berlaku di Provinsi Papua, baik pada jalur sekolah maupun pada jalur luar sekolah, sehingga hasil pendidikan yang dicapai relevan dengan kebutuhan. Ayat (3) Dengan pendidikan yang bermutu dimaksudkan bahwa pendidikan di Provinsi Papua harus dilaksanakan secara baik dan bertanggung jawab sehingga menghasilkan lulusan yang memiliki derajat mutu yang sama dengan pendidikan yang dilaksanakan di provinsi lain. Mengingat masih rendahnya mutu sumber daya manusia Papua dan pentingnya mengejar kemajuan di bidang pendidikan, maka pemerintah daerah berkewajiban membiayai seluruh atau sebagian biaya pendidikan bagi putra putri asli Papua pada semua jenjang pendidikan. Ayat (4) Pendidikan di Provinsi Papua telah lama diselenggarakan oleh Lembaga Keagamaan antara lain Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK), Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Gereja-gereja Injili (YPPGI), Yayasan Pendidikan Advent (YPA), Yayasan Pendidikan Islam (Yapis), dan yayasan lainnya yang didirikan oleh masyarakat. Jumlah sekolah yang dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan swasta ini cukup banyak dan tersebar hingga ke daerah-daerah yang terpencil, sehingga peranan mereka dalam bidang pendidikan tetap dihormati dan terus ditingkatkan, sedangkan dunia usaha, terutama yang berskala besar, didorong untuk menyelenggarakan pendidikan yang berpedoman pada kebijakan nasional dengan biaya dari perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada jenjang pendidikan dasar di samping bahasa Indonesia.
Ayat (1) Pelayanan kesehatan yang berkualitas dilaksanakan secara merata dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat di pelosok Provinsi Papua. Ayat (2) Penyakit-penyakit endemis yang dimaksud pada ayat ini meliputi antara lain penyakit malaria dan TBC. Ayat (3) Yang dimaksud dengan beban masyarakat serendah-rendahnya adalah biaya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi termasuk pembebasan biaya pelayanan bagi mereka yang tidak mampu. Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (5) Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Kebijakan kependudukan yang dimaksud dalam ayat ini adalah pemberian fasilitas khusus dalam bentuk kebijakan afirmatif termasuk dalam hal migrasi untuk kurun waktu tertentu agar penduduk asli Papua dapat mengembangkan kemampuan dan meningkatkan partisipasi secara optimal dalam waktu secepat-cepatnya. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pengutamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan bagi orang asli Papua merupakan suatu langkah afirmatif dalam rangka pemberdayaan di bidang ketenagakerjaan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat adalah lembaga swadaya masyarakat yang keberadaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas
Ayat (1) Kewajiban Pemerintah Provinsi dimaksud tidak menghilangkan kewajiban Pemerintah, Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyandang masalah sosial yang dimaksud meliputi antara lain:
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (1) Suku yang terabaikan adalah kelompok masyarakat asli Papua yang mendiami wilayah tertentu yang belum tersentuh oleh pembangunan. Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pengawasan sosial adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan tugas MRP, DPRP, Gubernur dan perangkatnya dalam bentuk petisi, kritik, protes, saran dan usul, yang diatur lebih lanjut dalam Perdasus.
Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pemerintah Provinsi Papua menyampaikan Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah ditetapkan. Dalam rangka melakukan pengawasan represif, Pemerintah dapat membatalkan Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum masyarakat Papua. Keputusan pembatalan tersebut diberitahukan kepada Pemerintah Provinsi disertai dengan alasan-alasannya. Dalam hal Pemerintah Provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan tersebut, Pemerintah Provinsi dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Apabila Mahkamah Agung membenarkan gugatan tersebut, maka Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur tetap berlaku. Selama belum ada keputusan Mahkamah Agung terhadap gugatan tersebut, maka Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur tersebut ditangguhkan. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya gugatan tersebut oleh Mahkamah Agung tidak diperoleh keputusan, maka Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur tersebut diberlakukan kembali.
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4151
Kategori : Lainnya