Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2021
Tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
Mengingat :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN.
BAB I
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Pasal 1
(1) | Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
|
(2) | Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
|
(3) | Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Undang-Undang ini mengatur kebijakan strategis yang meliputi:
|
BAB II
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Pasal 2
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999), diubah sebagai berikut:
1. | Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 2 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), Pasal 2 ayat (5) dihapus, serta ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (10), sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan ayat (4) Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 13 diubah, di antara ayat (3a) dan ayat (4) Pasal 13 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3b) dan ayat (3c) sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan ayat (1) Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan ayat (9) dan ayat (10) Pasal 25 diubah, dan penjelasan ayat (7) Pasal 25 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan ayat (4a), ayat (5c), dan ayat (5d) Pasal 27 diubah, di antara ayat (5d) dan ayat (6) Pasal 27 disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (5e), ayat (5f), dan ayat (5g), serta penjelasan ayat (5a) Pasal 27 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 27B dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27C
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan ayat (3a) Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32A
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan ayat (3) Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan ayat (2) Pasal 43A diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), serta penjelasan ayat (1) Pasal 43A diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal sehingga Pasal 43A berbunyi sebagai berikut: Pasal 43A
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 44A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44A
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan ayat (2) Pasal 44B diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 44B disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (2c), dan Pasal 44B ayat (3) dihapus sehingga Pasal 44B berbunyi sebagai berikut: Pasal 44B
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Di antara Pasal 44B dan Pasal 45 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 44C dan Pasal 44D, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44C
Pasal 44D
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IXA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IXA | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Di antara Pasal 44D dan Pasal 45 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 44E sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44E
|
BAB III
PAJAK PENGHASILAN
Pasal 3
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893), diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan ayat (1), ayat (1a), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 4 diubah serta Pasal 4 ayat (1d) dihapus, sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan ayat (1) Pasal 6 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 7 diubah, di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 7 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), serta penjelasan ayat (2) Pasal 7 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan ayat (1) Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan ayat (7) Pasal 11 diubah, di antara ayat (6) dan ayat (7) Pasal 11 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (6a), serta Pasal 11 ayat (11) dihapus sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan ayat (1a) Pasal 11A diubah dan di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 11A disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 11A berbunyi sebagai berikut: Pasal 11A
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (2b), dan ayat (3) Pasal 17 diubah, Pasal 17 ayat (2a) dihapus, di antara ayat (2d) dan ayat (3) Pasal 17 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2e), serta penjelasan ayat (5) dan ayat (6) Pasal 17 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan ayat (1) Pasal 18 diubah, Pasal 18 ayat (3e) dihapus, penjelasan Pasal 18 ditambahkan, dan penjelasan ayat (3) Pasal 18 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 32A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32A
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Di antara BAB VII dan BAB VIII disisipkan 1 (satu) bab yakni BAB VIIA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIIA | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Di antara Pasal 32B dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32C
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
BAB IV
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Pasal 4
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069), sebagai berikut:
1. | Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 4A diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 7 diubah, ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (4), serta penjelasan ayat (2) Pasal 7 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 8A ayat (2) dihapus, ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3) Pasal 8A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan ayat (5), ayat (6), dan ayat (8) huruf f dan huruf g Pasal 9 diubah, Pasal 9 ayat (4d), ayat (7), ayat (7a), ayat (7b), ayat (8) huruf c, dan ayat (13) dihapus, serta penjelasan Pasal 9 ayat (4) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 16B diubah serta di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 16B disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), sehingga Pasal 16B berbunyi sebagai berikut: Pasal 16B
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Di antara BAB VA dan BAB VI disisipkan 1 (satu) bab yakni BAB VB sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VB | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 16F dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16G sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16G
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. |
BAB V
PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA WAJIB PAJAK
Pasal 5
(1) | Wajib Pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud. | ||||||||||||||||||||||||||
(2) | Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai harta dikurangi nilai utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. | ||||||||||||||||||||||||||
(3) | Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. | ||||||||||||||||||||||||||
(4) | Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015. | ||||||||||||||||||||||||||
(5) | Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. | ||||||||||||||||||||||||||
(6) | Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. | ||||||||||||||||||||||||||
(7) | Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan sebesar:
| ||||||||||||||||||||||||||
(8) | Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan. | ||||||||||||||||||||||||||
(9) | Nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditentukan berdasarkan:
sesuai kondisi dan keadaan harta pada akhir Tahun Pajak terakhir. | ||||||||||||||||||||||||||
(10) | Dalam hal tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b sampai dengan huruf e, nilai harta ditentukan berdasarkan nilai dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik. |
Pasal 6
(1) | Wajib Pajak mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022. | ||||||||||||||
(2) | Surat pemberitahuan pengungkapan harta harus dilampiri dengan:
| ||||||||||||||
(3) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan terhadap penyampaian surat pemberitahuan pengungkapan harta oleh Wajib Pajak. | ||||||||||||||
(4) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dengan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan atau membatalkan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||||||||||
(5) | Wajib Pajak yang telah memperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. | ||||||||||||||
(6) | Data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak. | ||||||||||||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan harta bersih diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 7
(1) | Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d wajib mengalihkan harta dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2022. | ||||||||||||||||||||
(2) | Wajib Pajak yang menyatakan menginvestasikan harta bersih pada:
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf e wajib menginvestasikan harta bersih dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2023. | ||||||||||||||||||||
(3) | Investasi harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan paling singkat 5 (lima) tahun sejak diinvestasikan. | ||||||||||||||||||||
(4) | Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan/atau menginvestasikan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, atas bagian harta bersih yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak 2022 dan berlaku ketentuan:
| ||||||||||||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 8
(1) | Wajib Pajak orang pribadi dapat mengungkapkan harta bersih yang:
kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai harta dikurangi nilai utang. |
(3) | Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi pada Tahun Pajak 2020. |
(4) | Wajib Pajak orang pribadi yang dapat mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
|
Pasal 9
(1) | Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar:
| ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan berdasarkan:
|
Pasal 10
(1) | Wajib Pajak orang pribadi mengungkapkan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) melalui surat pemberitahuan pengungkapan harta dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022. | ||||||||||||||||||||||||||
(2) | Wajib Pajak yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||||
(3) | Surat pemberitahuan pengungkapan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
| ||||||||||||||||||||||||||
(4) | Pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2020 yang disampaikan setelah Undang-Undang ini diundangkan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta, dianggap tidak disampaikan. | ||||||||||||||||||||||||||
(5) | Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020 sampai dengan Undang-Undang ini diundangkan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
| ||||||||||||||||||||||||||
(6) | Direktur Jenderal Pajak memberikan surat keterangan terhadap penyampaian surat pemberitahuan pengungkapan harta oleh Wajib Pajak orang pribadi. | ||||||||||||||||||||||||||
(7) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat ketidaksesuaian antara harta bersih yang diungkapkan dengan keadaan yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan atau membatalkan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). | ||||||||||||||||||||||||||
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengungkapan harta bersih diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 11
(1) | Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang telah memperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6), berlaku ketentuan:
| ||||||||
(2) | Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi lain mengenai harta yang belum atau kurang diungkapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b:
|
Pasal 12
(1) | Wajib Pajak orang pribadi yang menyatakan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf d wajib mengalihkan harta dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2022. | ||||||||||||||||||||
(2) | Wajib Pajak orang pribadi yang menyatakan menginvestasikan harta bersih pada:
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf e wajib menginvestasikan harta bersih dimaksud paling lambat tanggal 30 September 2023. | ||||||||||||||||||||
(3) | Investasi harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan paling singkat 5 (lima) tahun sejak diinvestasikan. | ||||||||||||||||||||
(4) | Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan/atau menginvestasikan harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d, atas bagian harta bersih yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diperlakukan sebagai penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak 2022 dan berlaku ketentuan:
| ||||||||||||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
BAB VI
PAJAK KARBON
Pasal 13
(1) | Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. |
(2) | Pengenaan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
|
(3) | Peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat:
|
(4) | Kebijakan peta jalan pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. |
(5) | Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. |
(6) | Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. |
(7) | Saat terutang pajak karbon ditentukan:
|
(8) | Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. |
(9) | Dalam hal harga karbon di pasar karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (8) lebih rendah dari Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. |
(10) | Ketentuan mengenai:
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. |
(11) | Ketentuan mengenai penambahan objek pajak yang dikenai pajak karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. |
(12) | Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. |
(13) | Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon, pengimbangan emisi karbon, dan/atau mekanisme lain sesuai peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dapat diberikan:
|
(14) | Ketentuan mengenai:
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
(15) | Ketentuan mengenai:
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. |
(16) | Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan terkait pajak karbon dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. |
BAB VII
CUKAI
Pasal 14
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
| ||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 40A dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 40B, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40B
| ||||||||||||||||||
|
| ||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64
|
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang berkaitan dengan pengungkapan harta bersih, dinyatakan tidak berlaku sepanjang pengungkapan dilakukan sejak tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 30 Juni 2022 sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 17
(1) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022. |
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022, yang pertama kali dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan tarif Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. |
Pasal 18
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 19
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
| Disahkan di Jakarta |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2021
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 246
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2021
TENTANG
HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN
I. | UMUM | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah pengaturan perpajakan menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban setiap pihak yang terlibat. Huruf b yang dimaksud dengan “asas kesederhanaan” adalah pengaturan perpajakan harus dapat memberikan kemudahan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajibannya. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas efisiensi” adalah pengaturan perpajakan harus berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah pengaturan perpajakan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah pengaturan perpajakan bermanfaat bagi kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat, khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas kepentingan nasional” adalah pelaksanaan perpajakan mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Angka 1 Pasal 2 Ayat (1) Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Ayat (1a) Cukup jelas. Ayat (2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ayat (3) Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat (2), sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Ayat (4) Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ayat (4a) Ayat ini mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005. Ayat (5) Dihapus Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Penggunaan nomor induk kependudukan sebagai identitas Wajib Pajak orang pribadi memerlukan pengintegrasian basis data kependudukan dengan basis data perpajakan yang digunakan sebagai pembentuk profil Wajib Pajak, serta dapat digunakan oleh Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakannya. Angka 2 Pasal 8 Ayat (1) Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan “mulai melakukan tindakan pemeriksaan” adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Ayat (1a) Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (2b) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (3a) Cukup jelas. Ayat (4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk Tahun Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Masa Pajak yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (5a) Cukup jelas. Ayat (6) Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib Pajak atas kompensasi kerugian. Contoh 1:
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2020 dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 6 Januari 2023 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp70.000.000,00.
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp50.000.000,00 (Rp200.000.000,00 – Rp150.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 – Rp70.000.000,00).
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2020 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6 Januari 2023 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp250.000.000,00.
Angka 3
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administratif dari suatu ketetapan pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administratif berupa bunga atau kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.
Ayat (3a) Cukup jelas. Ayat (3b) Cukup jelas. Ayat (3c) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dihapus. Ayat (6) Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 14
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dihapus. Ayat (5a) Cukup jelas. Ayat (5b) Cukup jelas. Ayat (5c) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 20A Ayat (1) Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk melakukan kerja sama untuk pelaksanaan bantuan penagihan pajak kepada pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra. Ayat (2) Dalam pelaksanaan kerja sama bantuan penagihan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan kegiatan bantuan penagihan pajak kepada otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra. Pelaksanaan bantuan penagihan pajak tersebut meliputi pemberian bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak kepada otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra. Ayat (3) Penerapan prinsip resiprokal dalam ayat ini dimaksudkan Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan bantuan penagihan pajak kepada pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra sepanjang pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra tersebut juga memberikan bantuan penagihan pajak yang setara kepada Pemerintah Indonesia. Misalnya, tindakan penagihan pajak akan dilakukan sampai dengan memberitahukan Surat Paksa dalam hal negara mitra atau yurisdiksi mitra melakukan bantuan tindakan penagihan pajak sampai dengan memberitahukan Surat Paksa atau tindakan yang dapat dipersamakan dengan itu. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional” adalah perjanjian bilateral atau multilateral yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional, yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah mengikatkan dirinya dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra mengenai kerja sama atas hal yang berkaitan dengan bantuan penagihan pajak. Termasuk dalam perjanjian internasional di antaranya konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan (convention on mutual administrative assistance in tax matters). Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Yang dimaksud dengan “nilai klaim pajak” adalah nilai uang yang dimintakan bantuan penagihan pajak oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memuat antara lain nilai pokok pajak yang masih harus dibayar, sanksi administrasi, dan biaya penagihan yang dikenakan oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra. Huruf b Identitas penanggung pajak paling kurang memuat nama, nomor identitas, dan alamat penanggung pajak. Ayat (8) Klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra merupakan dasar penagihan pajak yang akan dilakukan tindakan penagihan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau yurisdiksi mitra. Ayat (9) Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra ditampung dalam rekening pemerintah lainnya yang terpisah dari rekening kas negara atau modul penerimaan negara sebelum dikirimkan ke negara mitra atau yurisdiksi mitra. Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra bukan merupakan Penerimaan Negara sehingga tidak dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara karena tidak termasuk dalam ranah keuangan negara. Angka 6 Pasal 25 Ayat (1) Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Contoh: Ayat (2) Yang dimaksud dengan “alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan” adalah alasan-alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan. Ayat (3) Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya. Ayat (3a) Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan. Ayat (4) Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan. Ayat (5) Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud. Ayat (6) Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut. Ayat (7) Ayat ini mengatur bahwa jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen). Ayat (10) Cukup jelas.
Angka 7 Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dihapus. Ayat (4a) Cukup jelas. Ayat (5) Dihapus. Ayat (5a) Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan. Ayat (5b) Cukup jelas. Ayat (5c) Cukup jelas. Ayat (5d) Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat ini. Ayat (5e) Cukup jelas. Ayat (5f) Dalam hal terhadap Putusan Banding diajukan permohonan peninjauan kembali oleh Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak dan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak bertambah, terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Ayat (5g) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Angka 8 Pasal 27C Ayat (1) Yang dimaksud dengan “prosedur persetujuan bersama” atau “mutual agreement procedure” adalah prosedur administratif yang diatur dalam persetujuan penghindaran pajak berganda untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Agar prosedur persetujuan bersama dapat secara efektif mendorong Wajib Pajak untuk mendapatkan keadilan dan mengeliminasi pemajakan berganda, perlu diatur interaksinya dalam hal prosedur persetujuan bersama dilaksanakan bersamaan dengan proses penyelesaian sengketa domestik, khususnya pengajuan banding dan peninjauan kembali. Ayat ini menegaskan bahwa dalam hal putusan banding atau peninjauan kembali telah diucapkan terlebih dahulu sebelum dicapainya persetujuan bersama namun sengketa yang diajukan prosedur persetujuan bersama tidak diputus dalam putusan banding atau peninjauan kembali, perundingan dalam rangka prosedur persetujuan bersama dilanjutkan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Angka 9 Pasal 32 Ayat (1) Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut. Ayat (2) Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang. Ayat (3) Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Ayat (3a) Untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan, seorang kuasa yang ditunjuk oleh Wajib Pajak harus memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Kompetensi tertentu antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan. Oleh karena itu kuasa dapat dilakukan oleh konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Ayat (4) Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.
Angka 10 Pasal 32A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Untuk meningkatkan realisasi potensi perpajakan serta untuk mengoptimalkan pengenaan pajak, dapat diterapkan skema pemotongan dan/atau pemungutan pajak (withholding tax) melalui penunjukan pemotong dan/atau pemungut pajak, yaitu pihak lain. Ayat (3) Pengaturan mengenai penetapan, penagihan, upaya hukum, dan pengenaan sanksi terhadap Wajib Pajak sesuai Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa berlaku juga terhadap pihak lain, termasuk subjek pajak yang berada di luar wilayah hukum Indonesia. Ayat (4) Penyelenggara sistem elektronik merupakan penyelenggara sistem elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Angka 11 Pasal 34 Ayat (1) Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
Ayat (2) Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (2a) Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.
Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:
Ayat (3) Kerja sama yang dimaksud dalam ayat ini merupakan pemberian atau pertukaran data dan/atau informasi antara Direktorat Jenderal Pajak dan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain untuk kepentingan negara dalam rangka menghimpun penerimaan negara maupun penerimaan daerah atau menjalankan administrasi pemerintahan yang baik serta mendukung kebijakan pemerintah. Ayat (4) Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang. Ayat (5) Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
Angka 12 Pasal 40 Penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan daluwarsa 10 (sepuluh) tahun dari sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum, dan Hakim.
Angka 13 Pasal 43A Ayat (1) Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen dan/atau kegiatan lain yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau tidak ditindaklanjuti. Ayat (1a) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Angka 14 Pasal 44 Ayat (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Penyitaan untuk tujuan pemulihan kerugian pada pendapatan negara dapat dilakukan terhadap barang bergerak ataupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, danf atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Penyitaan dilakukan oleh penyidik dengan ketentuan sesuai dengan hukum acara pidana, antara lain:
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Angka 15 Pasal 44A Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas. Huruf d Penghentian penyidikan demi hukum adalah alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, antara lain karena terhadap perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya (nebis in idem), tersangka meninggal dunia, atau karena daluwarsa sebagaimana dimaksud dalam pasal 40.
Angka 16 Pasal 44B Ayat (1) Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan. Ayat (2) Dalam hal proses penyidikan telah menetapkan tersangka yang lebih dari 1 (satu) orang atau badan, maka setiap tersangka juga memiliki hak untuk mengajukan permohonan penghentian penyidikan untuk dirinya sendiri.
Ayat (2a) Mengingat penanganan perkara pidana di bidang perpajakan lebih mengedepankan pemulihan kerugian pada pendapatan negara daripada pemidanaan, kesempatan terdakwa untuk melunasi jumlah kerugian pada pendapatan negara; jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar; jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak; jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan pajak yang dilakukan, sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya ditambah sanksi administratif berupa denda diperluas sampai dengan tahap persidangan. Ayat (2b) Yang dimaksud dengan “dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara” adalah perkara pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan tetap dituntut dinyatakan bersalah tetapi tanpa disertai penjatuhan pidana penjara untuk terdakwa orang. Sementara itu, pidana denda, baik untuk terdakwa orang maupun badan tetap dijatuhkan sebesar jumlah yang telah dilunasi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan jumlah pelunasan tersebut diperhitungkan sebagai pidana denda. Ayat (2c) Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tersangka, atau terdakwa sampai tahap persidangan tidak melunasi jumlah kerugian pada pendapatan negara; jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar; jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak; jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan pajak yang dilakukan, sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya ditambah sanksi administratif berupa denda, terhadap terdakwa tetap dituntut bersalah dengan penjatuhan pidana penjara bagi terdakwa orang dan pidana denda bagi terdakwa orang ataupun badan, tetapi pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan terhadap terdakwa. Ayat (3) Dihapus.
Angka 17 Pasal 44C Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Lamanya pidana penjara sebagai subsider pidana denda sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Pasal 44D Cukup jelas.
Angka 18 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 44E Cukup jelas.
Pasal 3 Angka 1 Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Huruf a Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah objek pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang pada hakikatnya merupakan penghasilan. Huruf b Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, serta kegiatan seperti hadiah undian tabungan dan hadiah dari pertandingan olahraga.
Huruf c Cukup jelas. Huruf d Apabila Wajib Pajak menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan, selisih harga tersebut merupakan keuntungan. Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dan pemegang sahamnya, harga jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah harga pasar.
Misalnya, PT S memiliki sebuah mobil yang digunakan dalam kegiatan usahanya dengan nilai sisa buku sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Mobil tersebut dijual dengan harga Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dengan demikian, keuntungan PT S yang diperoleh karena penjualan mobil tersebut adalah Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). Apabila mobil tersebut dijual kepada salah seorang pemegang sahamnya dengan harga Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), nilai jual mobil tersebut tetap dihitung berdasarkan harga pasar sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Selisih sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) merupakan keuntungan bagi PT S dan bagi pemegang saham yang membeli mobil tersebut selisih sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) merupakan penghasilan.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual berdasarkan harga pasar dan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Demikian juga selisih lebih antara harga pasar dan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang.
Huruf g Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi.
Dalam praktik sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Apabila terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dan tingkat bunga yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlakukan sebagai dividen tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan. Huruf h
Huruf i Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta bergerak atau harta tak bergerak, misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, dan sewa gudang. Huruf j Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
Huruf k Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Huruf l Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Huruf m Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 merupakan penghasilan. Huruf n Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan. Huruf q Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-Undang ini. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas.
Ayat (1a) Cukup jelas. Ayat (1b) Cukup jelas. Ayat (1c) Cukup jelas. Ayat (1d) Dihapus. Ayat (2) Sesuai dengan ketentuan pada ayat (1), penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan objek pajak. Berdasarkan pertimbangan antara lain:
atas penghasilan-penghasilan tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Ayat (3) Huruf a Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat, infak, dan sedekah yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang direrima oleh penerima sumbangan yang berhak diperlakukan sama seperti bantuan atau sumbangan. Yang dimaksud dengan “zakat” adalah zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai zakat.
Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan merupakan objek pajak. Huruf d Daerah tertentu merupakan daerah yang memenuhi kriteria antara lain daerah terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral. Huruf e Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, bukan merupakan objek pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja. Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari peserta pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya. Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan oleh karena itu iuran tersebut dikecualikan sebagai objek pajak. Huruf h Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak dalam hal ini adalah penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu. Penanaman modal oleh dana pensiun dimaksudkan untuk pengembangan dan merupakan dana untuk pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Huruf i Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan ini yang merupakan himpunan para anggotanya dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu, bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima oleh para anggota badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan “perusahaan modal ventura” adalah suatu perusahaan yang kegiatan usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha) dalam bentuk penyertaan modal untuk suatu jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha tidak termasuk sebagai objek pajak, dengan syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan saham perusahaan tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa lebih tersebut diterima atau diperoleh. Huruf n Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kepada Wajib Pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada Wajib Pajak atau anggota masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam atau tertimpa musibah. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas.
Angka 2 Pasal 6 Ayat (1) Beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan bunga, dan biaya rutin pengolahan limbah, sedangkan pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Di samping itu, apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena selisih kurs, kerugian tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Huruf a Biaya yang dimaksud pada ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran.
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp200.000.000,00 = Rp150.000.000,00. Huruf b Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Huruf c Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak atau belum disahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Huruf d Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang menurut tujuan semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Huruf e Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia. Huruf f Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan. Huruf g Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain. Huruf h Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan “biaya pembangunan infrastruktur sosial” adalah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015, sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016. Ayat (3) Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Angka 3 Pasal 7 Ayat (1) Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak. Di samping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Ayat (2) Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (3) Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengubah besarnya:
setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya. Angka 4 Pasal 9 Ayat (1) Pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Huruf a Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini. Huruf b Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya. Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Premi untuk asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan objek pajak. Huruf e Dihapus. Huruf f Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, berdasarkan ketentuan ini jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Huruf i Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Huruf j Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Angka 5 Pasal 11 Ayat (1) dan ayat (2) Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan cara mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta berwujud melalui penyusutan. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata. Yang dimaksud dengan “pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali” adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya, sedangkan biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat asas. Dalam hal Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Ayat (3)
Ayat (4) Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Untuk memberikan kepastian hukum bagi Wajib pajak dalam melakukan penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun. Ayat (6a) Cukup jelas. Ayat (7) Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang usaha tertentu, seperti perkebunan tanaman keras, kehutanan, dan peternakan, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam bidang usaha tertentu tersebut. Ayat (8) dan ayat (9) Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenai pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut. Ayat (10) Menyimpang dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8), dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan. Ayat (11) Dihapus
Angka 6 Pasal 11A Ayat (1) Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi dengan metode:
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak- hak tersebut diamortisasi sekaligus.
Ayat (1a)
Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk saat dimulainya amortisasi. Ayat (2)
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi. Ayat (5) Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun. Ayat (6) Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran. Ayat (7) Contoh: PT X mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000,00. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 (dua ratus juta) barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 (seratus juta) barel, PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga sebesar Rp300.000.000,00. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
Dengan demikian jumlah nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000,00 dibebankan sebagai kerugian dan jumlah sebesar Rp300.000.000,00 dibukukan sebagai penghasilan Ayat (8) Cukup jelas. Angka 7 Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Huruf b Contoh penghitungan pajak yang terutang untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap:
Ayat (2)
Perubahan tarif akan diberlakukan secara nasional dimulai per 1 Januari, diumumkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tarif baru itu berlaku efektif.
Ayat (2a) Dihapus. Ayat (2b) Cukup jelas. Ayat (2c) Cukup jelas. Ayat (2d) Cukup jelas. Ayat (2e) Cukup jelas. Ayat (3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tersebut akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian, antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ayat (4) Contoh:
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Contoh:
Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun Pajak (3 bulan) ((3 x 30) : 360) x Rp119.248.000,00= Rp29.812.000,00 Ayat (7) Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Angka 8 Pasal 18 Pemerintah berwenang mencegah praktik penghindaran pajak sebagai upaya yang dilakukan Wajib Pajak untuk mengurangi, menghindari, atau menunda pembayaran pajak yang seharusnya terutang yang bertentangan dengan maksud dan tujuan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Salah satu cara penghindaran pajak adalah dengan melakukan transaksi yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang bertentangan dengan prinsip substance over form, yaitu pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya.
Ayat (1) Dalam menentukan batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk tujuan perpajakan digunakan metode yang lazim diterapkan di dunia internasional, misalnya melalui metode penentuan tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio), melalui persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan dengan pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya pinjaman, pajak, depresiasi dan amortisasi (earnings before interest, taxes, depreciation, and amortization) atau melalui metode lainnya.
Ayat (2) Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen.
Contoh:
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Wajib Pajak melakukan penghindaran pajak dengan cara, antara lain melaporkan penghasilan kurang dari semestinya, melaporkan biaya melebihi dari semestinya, melaporkan laba usaha yang terlalu kecil dibandingkan kinerja keuangan Wajib Pajak lainnya dalam bidang usaha yang sejenis, atau melaporkan rugi usaha secara tidak wajar meskipun Wajib Pajak telah melakukan penjualan secara komersial selama 5 (lima) tahun.
Terhadap Wajib Pajak yang melaporkan laba usaha yang terlalu kecil dibandingkan kinerja keuangan Wajib Pajak lainnya dalam bidang usaha yang sejenis atau melaporkan rugi usaha secara tidak wajar meskipun Wajib Pajak telah melakukan penjualan secara komersial selama 5 (lima) tahun, dapat diterapkan pembandingan kinerja keuangan dengan Wajib Pajak dalam kegiatan usaha yang sejenis (benchmarking) dalam rangka penghitungan pajak yang seharusnya terutang.
Kesepakatan harga transfer (Advance pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya. Ayat (3b) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penghindaran pajak oleh Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu perusahaan Wajib Pajak dalam negeri melalui perusahaan luar negeri yang didirikan khusus untuk tujuan tersebut (special purpose company). Ayat (3c) Contoh:
Ayat (3d) Cukup jelas. Ayat (3e) Dihapus. Ayat (4) Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan. Huruf a Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.
Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Huruf b
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah saudara. Yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Angka 9 Pasal 32A Dalam rangka meningkatkan hubungan ekonomi, khususnya di bidang perpajakan, dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra dan seiring dengan perkembangan lanskap perpajakan internasional yang dinamis, pemerintah Indonesia diberikan kewenangan untuk membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra secara bilateral maupun multilateral melalui perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis) untuk penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan pergeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerjasama perpajakan lainnya. Huruf a Yang dimaksud dengan “pajak berganda” adalah pengenaan pajak yang dilakukan oleh dua atau lebih negara atau yurisdiksi atas penghasilan yang sama yang diperoleh/diterima oleh subjek pajak yang sama dan atas penghasilan yang sama yang diperoleh/diterima oleh subjek pajak yang berbeda. Huruf b Yang dimaksud dengan “penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba” adalah strategi perencanaan pajak yang bertujuan memanfaatkan interaksi ketentuan pajak antarnegara/yurisdiksi yang berbeda, yang salah satu caranya adalah dengan memindahkan laba ke negara atau yurisdiksi yang tidak mengenakan pajak atau mengenakan pajak dengan tarif rendah dan yang tidak ada atau kecil kontribusi kegiatan substansi ekonominya dengan tujuan untuk tidak membayar pajak di negara atau yurisdiksi manapun atau mengurangi pajak yang terutang.
Yang dimaksud dengan “pertukaran informasi perpajakan” adalah pertukaran informasi yang berkaitan dengan perpajakan antarnegara/yurisdiksi sebagai pelaksanaan perjanjian internasional. Huruf d Yang dimaksud dengan “bantuan penagihan pajak” adalah fasilitas bantuan penagihan pajak yang terdapat di dalam perjanjian yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra secara resiprokal untuk melakukan penagihan atas utang pajak yang diadministrasikan oleh Direktur Jenderal pajak atau otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra. Huruf e Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. Angka 11 Pasal 32C Cukup jelas.
Pasal 4A
Ayat (1)
Dihapus
Ayat (2)
Huruf a
Dihapus.
Huruf b
Dihapus.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Dihapus.
Huruf b
Dihapus.
Huruf c
Dihapus.
Huruf d
Dihapus.
Huruf e
Dihapus.
Huruf f Jasa keagamaan meliputi:
Huruf g
Dihapus.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Dihapus.
Huruf j
Dihapus.
Huruf k
Dihapus.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Dihapus.
Huruf p
Dihapus.
Huruf q
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, atas ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk dikonsumsi di luar Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
Ayat (3)
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif Pajak Pertambahan Nilai dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen).
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 3
Pasal 8A
Ayat (1) Contoh:
Ayat (2)
Dihapus.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 9
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak. Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Untuk keperluan mengkreditkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pajak Masukan yang dimaksud pada ayat ini adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Masa Pajak Mei 2023
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2023. Masa Pajak Juni 2023
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2023.
Ayat (4a)
Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) dikompensasikan pada Masa Pajak berikutnya.
Termasuk dalam pengertian akhir tahun buku dalam ketentuan ini adalah Masa Pajak saat Wajib Pajak melakukan pengakhiran usaha (bubar).
Ayat (4b)
Cukup jelas.
Ayat (4c)
Cukup jelas.
Ayat (4d)
Dihapus.
Ayat (4e)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
Ayat (4f)
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, sanksi kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (5) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya tidak diterapkan walaupun pada tahap sebelumnya sudah diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
Sebaliknya, sanksi administrasi yang dikenakan sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “penyerahan yang terutang pajak” adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Terdapat dua perlakuan Pajak Masukan atas penyerahan yang terutang pajak yaitu dapat dikreditkan atau tidak dapat dikreditkan.
Yang dimaksud dengan “penyerahan yang tidak terutang pajak” adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B. Pajak Masukan atas penyerahan yang tidak terutang pajak tidak dapat dikreditkan.
Pengusaha Kena Pajak melakukan beberapa macam penyerahan, yaitu:
Jumlah Pajak Keluaran yang harus dipungut sebesar Rp3.400.000,00 (tiga juta empat ratus ribu rupiah)
Jumlah Pajak Masukan yang telah dibayar sebesar Rp2.800.000,00 (dua juta delapan ratus ribu rupiah).
Ayat (6) Dalam hal Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak dan Pajak Masukannya dapat dikreditkan tidak dapat diketahui dengan pasti, cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman pengkreditan Pajak Masukan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Jumlah Pajak Keluaran yang harus dipungut sebesar Rp4.600.000,00 (empat juta enam ratus ribu rupiah). Ayat (6a)
Cukup jelas.
Ayat (6b)
Dihapus.
Ayat (6c)
Cukup jelas.
Ayat (6d)
Cukup jelas.
Ayat (6e)
Cukup jelas.
Ayat (6f)
Cukup jelas.
Ayat (6g)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dihapus.
Ayat (7a)
Dihapus.
Ayat (7b)
Dihapus.
Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Akan tetapi, untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Huruf a
Dihapus.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Huruf c Dihapus.
Huruf d
Dihapus.
Huruf e
Dihapus.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Dihapus.
Huruf i
Dihapus.
Huruf j
Dihapus.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (9a)
Cukup jelas.
Ayat (9b)
Cukup jelas.
Ayat (9c)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Dihapus.
Ayat (11)
Dihapus.
Ayat (12) Dihapus. Ayat (13) Dihapus. Ayat (14) Cukup jelas.
Angka 5 Pasal 9A Ayat (1) Dalam rangka memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan, Menteri Keuangan dapat menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan disetor oleh:
Ayat (2) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 16B Ayat (1)
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Ayat (1a)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas. Huruf j Kemudahan perpajakan yang diberikan untuk tujuan mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional diberikan dengan sangat selektif dan terbatas, serta mempertimbangkan dampaknya terhadap penerimaan negara. Barang Kena Pajak tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, antara lain:
Ayat (2) Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan. Dengan demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut. Ayat (3) Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan. Angka 7 Cukup jelas.
Angka 8 Pasal 16G Huruf a Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain diberlakukan untuk menjamin kepastian hukum dalam hal Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sebagai Dasar Pengenaan Pajak sukar ditetapkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas.
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta” yakni Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan pemeriksaan dalam rangka menghitung Pajak Penghasilan terkait data dan/atau informasi mengenai harta tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud “kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam” merupakan kegiatan pengolahan bahan baku sumber daya alam menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang menambah nilai bahan baku sumber daya alam tersebut. Contohnya: pengolahan bijih emas menjadi emas murni. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas.
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “surat pemberitahuan pengungkapan harta” adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk mengungkapkan paling sedikit identitas Wajib Pajak, harta, utang, harta bersih serta penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan terutang yang bersifat final. Ayat (2) Bukti pembayaran Pajak Penghasilan berupa Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak dan telah mendapatkan validasi dari pihak penerima pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Tindak pidana yang diatur dalam pasal ini meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan ayat ini hanya memuat pokok pajak yang kurang dibayar dan tidak memuat sanksi administratif, mengingat besaran tarif atas tambahan Pajak Penghasilan dianggap termasuk sanksi administratif. Contoh:
Dalam hal Tuan A sampai dengan tanggal 30 September 2023 hanya menginvestasikan 40% (empat puluh persen) bagian harta yang diungkapkan pada tanggal 10 Januari 2022 ke dalam instrumen surat berharga negara, maka Tuan A dengan kehendak sendiri dapat mengungkapkan bagian harta yang tidak diinvestasikan tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak serta menyetorkan sendiri tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan perhitungan sebagai berikut:
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “utang” adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan perolehan harta. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Ketentuan sebagaimana diatur pada ayat ini meliputi kewajiban Pajak Penghasilan, pemotongan dan/atau pemungutan pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai atas orang pribadi yang bersangkutan dan tidak termasuk kewajiban Wajib Pajak orang pribadi sebagai wakil atau kuasa.
Cukup jelas.
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ketentuan mencabut permohonan sebagaimana diatur dalam huruf ini meliputi permohonan yang berkaitan dengan Pajak Penghasilan, pemotongan dan/atau pemungutan pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai atas orang pribadi yang bersangkutan untuk Tahun Pajak 2016, Tahun Pajak 2017, Tahun Pajak 2018, Tahun Pajak 2019, dan/atau Tahun Pajak 2020. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Termasuk dalam ketentuan ini yakni bagi Wajib Pajak orang pribadi yang baru memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak pada tahun 2022 dan belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas.
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Tindak pidana yang diatur dalam pasal ini meliputi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan tindak pidana lain. Ayat (2) Contoh:
Adapun jumlah bulan dalam pengenaan sanksi administratif tersebut dihitung sejak berakhirnya Tahun Pajak 2022 yakni tanggal 1 Januari 2023 sampai dengan saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yakni 4 Februari 2023, sehingga berjumlah 1 (satu) bulan 4 (empat) hari, dengan bagian bulan dihitung penuh menjadi 2 (dua) bulan. Asumsi Menteri Keuangan menetapkan tarif sanksi administratif berupa bunga berdasarkan Pasal 13 ayat (2) untuk bulan Januari 2023 sebesar 1% (satu persen).
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh:
Dalam hal Tuan B dengan kehendak sendiri mengungkapkan kepada Direktorat Jenderal Pajak mengenai bagian harta bersih yang tidak diinvestasikan tersebut serta menyetorkan sendiri tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final, perhitungan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagai berikut:
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (1) Berbagai instrumen dapat diambil untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC), di antaranya adalah menggunakan instrumen nilai ekonomi karbon (NEK) yang terdiri dari instrumen perdagangan maupun nonperdagangan. Instrumen nonperdagangan di antaranya adalah pengenaan pajak karbon.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Peta jalan (road map) pajak karbon memuat sebagai berikut:
Pengenaan pajak karbon dilaksanakan sebagai berikut:
Penerapan pajak karbon mengutamakan pengaturan atas subjek pajak Badan. Tarif pajak karbon akan dibuat lebih tinggi daripada atau sama dengan harga karbon di pasar karbon domestik. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “barang yang mengandung karbon” yakni barang yang termasuk tapi tidak terbatas pada bahan bakar fosil yang menyebabkan emisi karbon. Ayat (6) Perhitungan pajak karbon terutang atas keseluruhan nilai pembelian barang yang mengandung karbon atau aktifitas yang menghasilkan emisi karbon mempertimbangkan nilai faktor emisi yang ditetapkan oleh kementerian dan/atau badan/lembaga yang memiliki kompetensi dan kewenangan melakukan pengukuran nilai faktor emisi. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Karbon dioksida ekuivalen (CO2e) merupakan representasi emisi gas rumah kaca antara lain senyawa karbon dioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), dan metana (CH4). Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (11) Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (12) Yang dimaksud dengan “pengendalian perubahan iklim” adalah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Ayat (13) Yang dimaksud dengan “perdagangan emisi karbon” yakni mekanisme transaksi antara pelaku usaha dan/atau kegiatan yang memiliki emisi melebihi batas atas emisi yang ditentukan. Ayat (14) Cukup jelas. Ayat (15) Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Ayat (16) Cukup jelas.
Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “etil alkohol atau etanol” adalah barang cair, jernih, dan tidak berwarna, merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH, yang diperoleh baik secara peragian dan/atau penyulingan maupun secara sintesa kimiawi. Huruf b Yang dimaksud dengan “minuman yang mengandung etil alkohol” adalah semua barang cair yang lazim disebut minuman yang mengandung etil alkohol yang dihasilkan dengan cara peragian, penyulingan, atau cara lainnya, antara lain bir, shandy, anggur, gin, whisky, dan yang sejenis. Huruf c Yang dimaksud dengan “sigaret” adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Angka 2 Pasal 40B Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penelitian dugaan pelanggaran” adalah segala upaya yang dilakukan oleh pejabat Bea dan Cukai terhadap orang, tempat, barang, dan sarana pengangkut seperti meminta keterangan dari pihak-pihak terkait, memeriksa barang, memeriksa tempat/bangunan, memeriksa sarana pengangkut, memeriksa pembukuan dan pencatatan, dan/atau tindakan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka mencari dan mengumpulkan bahan dan keterangan untuk menentukan terjadi atau tidaknya pelanggaran di bidang cukai baik administratif maupun pidana. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hal ini dimaksudkan agar pendekatan penegakan hukum di bidang cukai bersifat restorative justice yaitu pendekatan penegakan hukum yang lebih mengutamakan pemulihan hak-hak atau kondisi korban, dimana dalam tindak pidana di bidang cukai yang berperan sebagai korban adalah negara, karena negara kehilangan haknya yaitu penerimaan negara di bidang cukai. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan barang-barang lain disini adalah barang-barang selain barang kena cukai yang tersangkut dalam tindak pidana yang terjadi, seperti sarana pengangkut, peralatan komunikasi, media atau tempat penyimpanan, serta dokumen dan surat. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali dari nilai cukai yang seharusnya dibayar dinilai cukup untuk memberikan penjeraan dan merupakan wujud keseimbangan antara restorative justice dengan fiscal recovery. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Bagi perkara yang sudah dilimpahkan ke pengadilan, pembayaran sanksi administratif berupa denda atas penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pertimbangan bagi penuntut umum untuk menyusun dakwaan tanpa disertai dengan penjatuhan pidana badan.
Ayat (5) Pembayaran sanksi administratif berupa denda yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa yang belum memenuhi jumlah sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), akan diperhitungan sebagai pembayaran atas pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim, sedangkan kekurangannya akan dibebankan kepada terdakwa. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan “barang-barang lain” adalah barang selain barang kena cukai yang tersangkut dalam tindak pidana yang terjadi yang telah dilakukan penyitaan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, seperti sarana pengangkut, peralatan komunikasi, media atau tempat penyimpanan, serta dokumen dan surat. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6736
Kategori : KUP, PPh, PPN
Transformasi Digital dalam Dunia Perpajakan Indonesia sedang memasuki era baru dalam pengelolaan pajak dengan hadirnya… Read More
Revolusi Perpajakan menuju Era Digital Pernahkah Anda merasa kewalahan dengan berbagai formulir dan prosedur yang… Read More
Revolusi Perpajakan di Indonesia Indonesia tengah memasuki era baru dalam pengelolaan pajak dengan hadirnya Coretax.… Read More
Coretax: Revolusi Perpajakan Indonesia, Lapor Pajak Jadi Lebih Mudah dan Cepat! Indonesia Menuju Era Perpajakan… Read More
Coretax Converter: Memudahkan Migrasi Data dan Pelaporan Pajak di Era Modern Transformasi digital di bidang… Read More
RUU KUP dan Implementasi Core Tax System: Modernisasi Sistem Perpajakan Indonesia Reformasi perpajakan terus bergulir… Read More