Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2004
Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
- bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat, yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;
- bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
- bahwa Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
Mengingat :
- Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 77; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344);
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 8; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4358);
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 9; Tambahan Lembaran Negara Nomor 4359);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 77; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
4. |
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
5. |
Ketentuan Pasal 9 substansi tetap, penjelasan pasal dihapus sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal demi Pasal angka 5. |
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
6. |
Diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan satu pasal baru yakni Pasal 9A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
7. |
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
8. |
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
9. |
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
10. |
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
12. |
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
13. |
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
14. |
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
15. |
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
16. |
Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
18. |
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
19. |
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
20. |
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
21. |
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
22. |
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
23. |
Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
24. |
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
25. |
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
26. |
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
27. |
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
28. |
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
29. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
30. |
Di antara Pasal 39 dan Bagian Ketiga Sekretaris disisipkan Bagian Kedua baru yakni Bagian Kedua A Jurusita yang berisi 5 (lima) pasal yakni Pasal 39A, Pasal 39B, Pasal 39C, Pasal 39D, dan Pasal 39E sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kedua A
Pasal 39B
Pasal 39C
Pasal 39D
Pasal 39E
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
31. |
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
32. |
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
33. |
Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
34. |
Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
35. |
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
36. |
Ketentuan Pasal 116 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 116
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
37. |
Ketentuan Pasal 118 dihapus. |
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
38. |
Di antara Pasal 143 dan Bab VII Ketentuan Penutup disisipkan satu pasal baru yakni Pasal 143A, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 143A
|
||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||
39. |
Penjelasan Umum yang menyebut “Pemerintah” dan “Departemen Kehakiman” diganti menjadi “Ketua Mahkamah Agung.” |
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 35
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2004
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986
TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA
UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh perundang- undangan di bidang kekuasaan kehakiman. Pembentukan atau perubahan perundang-undangan tersebut dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman yang telah dilakukan adalah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Sehubungan dengan hal tersebut telah diubah pula Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan perubahan. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari kebijakan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut :
- syarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara;
- batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim;
- pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;
- pengaturan pengawasan terhadap hakim;
- penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak ketiga dalam suatu sengketa;
- adanya sanksi terhadap pejabat karena tidak dilaksanakannya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk menyesuaikan terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
II. |
PASAL DEMI PASAL Pasal 2 Pasal ini mengatur pembatasan terhadap pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang termasuk dalam ruang lingkup kompetensi mengadili dari Peradilan Tata Usaha Negara. Pembatasan ini diadakan oleh karena ada beberapa jenis Keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini.
Huruf a Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata, misalnya keputusan yang menyangkut masalah jual beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
Huruf b Yang dimaksud dengan “pengaturan yang bersifat umum” adalah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
Huruf c Yang dimaksud dengan “Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan” adalah keputusan untuk dapat berlaku masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain. Dalam kerangka pengawasan adminstratif yang bersifat preventif dan keseragaman kebijaksanaan seringkali peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara diperlukan persetujuan instansi atasan terlebih dahulu. Adakalanya peraturan dasar menentukan bahwa persetujuan instansi lain itu diperlukan karena instansi lain tersebut akan terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh keputusan itu. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan akan tetapi sudah menimbulkan kerugian dapat digugat di Pengadilan Negeri.
Huruf d Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, misalnya dalam perkara lalu lintas, dimana terdakwa dipidana dengan suatu pidana bersyarat, yang mewajibkannya memikul biaya perawatan si korban selama dirawat di rumah sakit. Karena kewajiban itu merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka Jaksa yang menurut Pasal 14 huruf d Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditunjuk mengawasi dipenuhi atau tidaknya syarat yang dijatuhkan dalam pidana itu, lalu mengeluarkan perintah kepada terpidana agar segera mengirimkan bukti pembayaran biaya perawatan tersebut kepadanya.
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana misalnya kalau Penuntut Umum mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap tersangka.
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana ialah umpamanya perintah jaksa untuk melakukan penyitaan barang-barang terdakwa dalam perkara tindak pidana ekonomi.
Penilaian dari segi penerapan hukumnya terhadap ketiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat dilakukan hanya oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
Huruf e Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud pada huruf ini umpamanya:
Huruf f Cukup jelas.
Huruf g Cukup jelas.
Pasal 4 Yang dimaksud dengan “rakyat pencari keadilan” adalah setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing, dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 6 Ayat (1) Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara berada di ibukota Kabupaten/Kota, yang daerah hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 9A Yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah deferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya pengadilan pajak.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengawasan umum” adalah meliputi pengawasan melekat (built-in control) yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Yang dimaksud dengan “lulus eksaminasi” dalam ketentuan ini adalah penilaian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang bersangkutan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Pemberhentian dengan hormat Hakim Pengadilan atas permintaan sendiri mencakup pengertian pengunduran diri dengan alasan Hakim yang bersangkutan tidak berhasil menegakkan hukum dalam lingkungan rumah tangganya sendiri. Pada hakekatnya situasi, kondisi, suasana, dan keteraturan hidup rumah tangga setiap Hakim Pengadilan merupakan salah satu faktor yang penting peranannya dalam usaha membantu meningkatkan citra dan wibawa seorang Hakim.
Huruf b Yang dimaksud dengan “sakit jasmani atau rohani terus menerus” adalah sakit yang menyebabkan yang bersangkutan ternyata tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Yang dimaksud dengan “tidak cakap” adalah misalnya yang bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar dalam menjalankan tugasnya.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “tindak pidana kejahatan” adalah tindak pidana yang ancaman pidananya paling singkat 1 (satu) tahun.
Huruf b Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” adalah apabila hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim.
Huruf c Yang dimaksud dengan “tugas pekerjaannya” adalah semua tugas yang dibebankan kepada yang bersangkutan.
Huruf d Cukup jelas.
Huruf e Cukup jelas.
Ayat (2) Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan untuk membela diri.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Pemberhentian sementara dalam ketentuan ini terhitung sejak tanggal ditetapkan keputusan pemberhentian sementara.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 28 Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c Cukup jelas.
Huruf d Yang dimaksud dengan “sarjana muda hukum” termasuk mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan hukum sederajat dengan sarjana muda dan dianggap cakap untuk jabatan itu.
Huruf e Cukup jelas.
Huruf f Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Angka 26 Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 Ketentuan ini berlaku juga bagi Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
Angka 28 Pasal 37 Cukup jelas.
Angka 29 Pasal 38 Cukup jelas.
Angka 30 Pasal 39A Dalam hal tenaga Jurusita di Pengadilan Tata Usaha Negara kurang memadai, maka pelaksanaan tugas Jurusita dibantu oleh Panitera Pengganti.
Pasal 39B Cukup jelas.
Pasal 39C Cukup jelas.
Pasal 39D Cukup jelas.
Pasal 39E Cukup jelas.
Angka 31 Pasal 42 Cukup jelas.
Angka 32 Pasal 44 Cukup jelas.
Angka 33 Pasal 45 Cukup jelas.
Angka 34 Pasal 46 Cukup jelas.
Angka 35 Pasal 53 Ayat (1) Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4, maka hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Ayat (2) Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah meliputi asas:
Pasal 116 Ayat (1) Meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan Panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang waktu 14 (empat belas) hari dihitung sejak saat putusan Pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa” dalam ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar putusan pada saat memutuskan mengabulkan gugatan penggugat.
Ayat (5) Cukup jelas.
Angka 37 Pasal 118 Cukup jelas.
Angka 38 Pasal 143A Cukup jelas.
Angka 39 Cukup jelas. |
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4380.
Kategori : Lainnya